Berita *Global

Penjualan Obat Pertama Covid 19 Tidak Sesuai dengan Ekspektasi

Minggu, 18 Oktober 2020 | 16:50 WIB
Penjualan Obat Pertama Covid 19 Tidak Sesuai dengan Ekspektasi

ILUSTRASI. Obat antivirus Remdesivir

Reporter: Nathasya Elvira | Editor: Thomas Hadiwinata

KONTAN.CO.ID - NEW YORK (Reuters).  Investor yang mengejar keuntungan besar dari bisnis pengobatan untuk Covid-19 harus bersiap-siap menemukan kejutan saat membaca hasil kinerja terakhir Gilead Sciences Inc. Prediksi ini sejalan dengan penjualan remdesivir, obat antivirus pertama, yang tidak terjual sebanyak yang diharapkan. Penjualan remdesivir juga menghadapi masalah penggantian asuransi yang kompleks.

Pemegang saham Gilead kini tinggal berharap Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan pemerintah di negara-negara belahan bumi Utara lainnya, berinisiatif menimbun obat tersebut untuk mengantisipasi ancaman peningkatan kasus Covid 10 di musim dingin. Saat ini, remdesivir sedang dalam pengujian sebagai terapi eksperimental antibodi Covid-19.

Baca Juga: Kinerja bank di Amerika terus melaju, ini pendorongnya

Remdesivir merupakan standar perawatan untuk pasien Covid-19 dalam kondisi parah, yang dirawat di rumah sakit. Namun, banyak dokter tetap waspada untuk menggunakannya secara lebih luas. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan tentang perkiraan penjualan analis yang tinggi untuk obat yang pada akhirnya dapat dikalahkan oleh perawatan yang terbaru.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kamis (15/10), mengatakan, uji coba internasional terhadap terapi Covid-19 menemukan bahwa remdesivir tidak memiliki efek substansial pada pasien yang telah lama dirawat di rumah sakit atau memiliki peluang untuk bertahan hidup. Studi tersebut belum ditinjau para ahli dari luar.

Baca Juga: Wall Street: Kabar Pfizer Siap Rilis Vaksin Corona Mengerek Dow Jones dan S&P

Gilead, yang harga sahamnya kini terpangkas 22% dari harga saat remdesivir diterima Badan Pengawas Obat dan Makanan AS sebagai obat untuk menangani kondisi pasien darurat, Mei lalu, mengatakan, temuan organisasi itu "tidak konsisten dengan bukti yang lebih kuat."

Perusahaan berjuang untuk memenuhi permintaan awal dan memberikan sekitar 250.000 pelatihan pada awal pandemi, ketika remdesivir dinyatakan sebagai satu-satunya pengobatan yang terbukti mempersingkat masa inap di rumah sakit untuk pasien yang sakit parah.

Sejak itu, steroid dengan biaya rendah telah menunjukkan kemampuan untuk mengurangi risiko kematian pada pasien Covid-19 yang sakit parah. Dokter pun mempertanyakan nilai medis penggunaan remdesivir untuk pasien yang sakit dengan taraf sedang.

Menurut data Refinitiv, Wall Street memperkirakan penjualan  remdesivir mencapai  US$ 2,5 miliar di seluruh di dunia tahun ini. Namun, Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan (HHS) AS, yang mengawasi distribusi obat untuk kuartal kedua mengatakan, rumah sakit hanya membeli 32% dari 500.000 courses yang tersedia. Nilainya sekitar US$ 500 juta dengan harga US$ 3.120 per courses.

Baca Juga: Trump teken perintah eksekutif perawatan kesehatan AS, diprediksi tak berdampak besar

Pada Juli, Uni Eropa membeli 30.000 courses senilai US$ 74 juta. UE baru-baru ini mengontrak 500.000 courses remdesivir selama enam bulan ke depan. Namun, kesepakatan itu tidak mengharuskan pembelian.

Gilead menjual dan melisensikan remdesivir ke sebagian besar dunia, tetapi mereka berharap mendapatkan sebagian besar pendapatan dari AS dan Eropa.

Kepala Komersial Gilead, Johanna Mercier mengakui  tingkat rawat inap jauh lebih rendah dari perkiraan semula. “Banyak orang khawatir tentang pasokan dan ingin tetap menggunakan remdesivir untuk pasien dengan kasus terburuk,” ujarnya.

Baca Juga: Sembuh dari Covid-19, lansia 70 tahun terkejut dapat tagihan pengobatan Rp 15 miliar

Dalam sebuah wawancara, dia menolak untuk membahas ekspektasi penjualan Gilead, tetapi dia mengatakan beberapa kelebihan pasokan AS direndam oleh HHS untuk ditimbun, dan beberapa dialihkan ke Eropa.

Obat tersebut menyumbang sebagian kecil dari penjualan produk Gilead, yang berjumlah US$ 21,7 miliar pada tahun 2019. Namun, perusahaan tersebut menaikkan prospek 2020 pada Juli, sehingga menyiratkan penjualan remdesivir hingga US$ 3 miliar.

Otoritas kesehatan masyarakat mengatakan, pasien Covid-19 bukan kesulitan mendapatkan obat, namun asuransi kesehatan untuk perawatan rumah sakit di AS memiliki aturan yang rumit.

Sebagian besar perusahaan asuransi komersial serta Medicare, jaminan kesehatan yang dimiliki Pemerintah AS, akan membayar rumah sakit dengan tarif tetap per pasien untuk perawatan dan berdasarkan diagnosis. Menurut Spesialis Pengganti Biaya Kesehatan di Konsultan Manajemen ECG, Richard Trembowicz, sistim itu menciptakan insentif untuk "menghindari menahan orang di rumah sakit," dan membuat obat yang memperpendek masa inap.

Baca Juga: Kasus corona masih tinggi, begini efeknya ke IHSG hingga akhir Oktober 2020

Medicare pada bulan Maret menyetujui kenaikan nilai penggantian hingga 20% untuk biaya perawatan penyakit Covid-19 di rumah sakit. Tetapi tidak mengganti secara langsung untuk remdesivir yang harganya US$ 3.120 untuk courses selama lima hari, atau $ 2.340 untuk pembeli pemerintah.

Rumah sakit AS mengatakan, biaya tidak mempengaruhi keputusan klinis. “Harganya tidak cukup mahal. Kami berharap ini membuat pasien keluar dari rumah sakit lebih cepat,” kata Katherine Perez, Apoteker Penyakit Menular di Rumah Sakit Metodis Houston, menambahkan “Saya rasa datanya tidak mendukung penggunaannya pada infeksi yang lebih ringan.”

Namun, FDA pada Agustus memperluas otorisasi remdesivir untuk dimasukkan dalam tubuh pasien dengan penyakit yang tidak terlalu parah.

“Saya akan menggunakannya pada orang tua atau seseorang yang sedang menggunakan obat yang menekan sistem kekebalan. Tapi kecil kemungkinan saya menggunakan obat itu untuk pasien berumur 30-an yang kondisinya baik,” kata Dr. Rajesh Gandhi,salah satu dokter penyakit menular di Rumah Sakit Umum Massachusetts di Boston. 

Mercier dari Gilead mengatakan, menyimpan remdesivir hanya untuk pasien di taraf gawat, belum tentu merupakan penggunaan terbaik dari obat tersebut. Ia beralasan, obat jenis antivirus justru bekerja baik di awal infeksi, sebelum virus berkembang biak dan mengakibatkan kerusakan di tubuh.

Baca Juga: Tetap aman makan di restoran saat pandemi corona

Obat yang gagal sebagai pengobatan untuk Ebola itu dirancang untuk mencegah virus mereplikasi dan membebani sistem kekebalan induknya.

Sementara itu, Gilead bergerak maju dengan pengembangan remdesivir, termasuk menguji formulasi hirup untuk melihat apakah itu dapat membantu pasien yang tidak dirawat di rumah sakit.

Selanjutnya: Hati-hati, risiko kesehatan tetap membayangi orang yang sudah pulih dari Covid 19

 

Terbaru