Berita Bisnis

Rupiah Menguat, Kinerja Sejumlah Emiten Mengilap

Senin, 03 Desember 2018 | 12:07 WIB
Rupiah Menguat, Kinerja Sejumlah Emiten Mengilap

ILUSTRASI. Mi instan Pop Mie

Reporter: Dimas Andi | Editor: Narita Indrastiti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah terus-menerus melemah sejak awal tahun, rupiah kembali perkasa di hadapan dollar Amerika Serikat (AS). Sentimen ini lantas menjadi angin segar bagi emiten-emiten yang beban keuangannya terpengaruh pergerakan kurs rupiah.

Sebagai catatan, kurs spot rupiah bertengger di level Rp 14.302 per dollar AS pada Jumat (30/11) lalu. Artinya, sepanjang November rupiah berhasil menguat 5,93% terhadap the greenback.
 
Salah satu emiten yang cukup diuntungkan oleh penguatan mata uang Garuda ini adalah PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF). Analis Ciptadana Sekuritas Asia Stella Amelinda menilai, sentimen tersebut bakal mengurangi beban impor dan utang perusahaan konsumer ini dalam waktu dekat.
 
INDF sendiri memiliki beban impor gandum yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan di segmen Bogasari. "Makanya, ketika rupiah melemah, biaya impor INDF menjadi lebih mahal, sehingga beban keuangan perusahaan meningkat 67,9% (yoy) di kuartal tiga lalu," ungkap dia, Jumat (30/11).
 
Nah, dengan adanya penguatan rupiah, diharapkan margin EBITDA milik INDF di segmen Bogasari bisa membaik, sekaligus menutupi potensi perlambatan kinerja di segmen agribisnis. Segmen tersebut masih dalam tekanan mengingat harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) tengah berada dalam tren penurunan.
 
Selain INDF, emiten sektor ritel juga kecipratan untung. Misalnya PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) yang mengimpor sekitar 50% barang yang dijual di gerai-gerai perusahaan ini.
 
Analis NH Korindo Sekuritas Michael Tjahjadi menilai, posisi rupiah yang kembal ke bawah Rp 15.000 menjadi cerminan harga produk MAPI tidak akan naik dalam waktu dekat. Hal ini bisa menjadi insentif tersendiri bagi para pelanggan gerai emiten ritel tersebut. "Penguatan rupiah juga dapat dimanfaatkan MAPI untuk mempercepat ekspansi atau penambahan gerainya," tambah dia.
 
Sebenarnya, selama rupiah ambruk, MAPI menjadi salah satu emiten yang cukup tahan banting. Sebab, emiten ini menerapkan strategi pemberlakuan harga baru pada tiap produk anyar yang dijualnya.
 
Tambahan lagi, emiten ini menyasar konsumen kelas menengah ke atas yang tidak terlalu merasakan efek kenaikan harga jual produk. Dengan demikian, depresiasi rupiah yang sempat terjadi beberapa waktu lalu tidak berdampak signifikan bagi MAPI.
 
Prospek MAPI dianggap cukup cerah, mengingat tingkat inflasi Indonesia yang masih terjaga di kisaran 3%, sehingga berdampak positif bagi daya beli konsumen. Michael pun memasang rekomendasi beli bagi saham MAPI, dengan target harga sebesar Rp 945 per saham.
 
Utang obligasi
 
Efek tren penguatan rupiah juga turut mempengaruh emiten di sektor poultry. Ambil contoh PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk.
 
Analis RHB Sekuritas Michael Wilson Setjoadi berpendapat, penguatan rupiah akan mengurangi tekanan biaya impor emiten berkode JPFA tersebut yang mencapai 40% dari total beban penjualan. Beban JPFA kian berkurang mengingat harga kedelai dunia masih dalam tren turun, di tengah sentimen perang dagang antara AS dan China.
 
Pergerakan rupiah yang stabil juga akan mengurangi beban utang JPFA. Emiten ini disebut masih memiliki utang dalam bentuk obligasi sebesar US$ 250 juta.
 
Kinerja JPFA pun dinilai berpotensi melaju mengingat harga ayam umur sehari atau day old chicken (DOC) masih bisa meningkat seiring terbatasnya pasokan. "Secara musiman, kinerja keuangan kuartal IV emiten seperti JPFA selalu lebih tinggi ketimbang kuartal sebelumnya," kata Michael. Dia merekomendasikan beli JPFA dengan target harga Rp 3.000 per saham.
 
Tak ketinggalan, PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) juga merasakan efek positif dari tren penguatan rupiah. Vice President Research Department Indosurya Bersinar Sekuritas William Surya Wijaya menuturkan, bahan baku produksi KLBF yang diimpor dari luar negeri bisa mencapai 90%.
 
Meski begitu, saat rupiah melemah belakangan ini, KLBF bisa menjaga kinerja keuangan tetap stabil. "Bisnis yang dijalankan KLBF memungkinkan emiten menentukan kenaikan harga produk tanpa ada batasan," ujar William. Sekadar info, manajemen KLBF telah menaikkan harga produk sekitar 2%–3% pada semester satu lalu.

Ini Artikel Spesial

Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan atau membeli artikel ini.

Sudah berlangganan? Masuk

Berlangganan

Berlangganan Hanya dengan 20rb/bulan Anda bisa mendapatkan berita serta analisis ekonomi, bisnis, dan investasi pilihan

Rp 20.000

Kontan Digital Premium Access

Business Insight, Epaper Harian + Tabloid, Arsip Epaper 30 Hari

Rp 120.000

Berlangganan dengan Google

Gratis uji coba 7 hari pertama. Anda dapat menggunakan akun Google sebagai metode pembayaran.

Terbaru