Berita Market

Sentimen Negatif Inverted Yield AS Dinilai Hanya Berdampak Sementara

Kamis, 28 Maret 2019 | 06:50 WIB
Sentimen Negatif Inverted Yield AS Dinilai Hanya Berdampak Sementara

Reporter: Aldo Fernando, Krisantus de Rosari Binsasi | Editor: Narita Indrastiti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Imbal hasil atau yield surat utang negara Amerika Serikat (AS) kembali menarik perhatian pasar. Akhir pekan lalu, yield US Treasury bertenor 10 tahun mendekati dan bersilangan dengan yield tenor 3 bulan, yang selama ini dianggap sebagai sinyal resesi ekonomi AS. Posisi ini masih bertahan hingga kemarin malam (27/3).

Pasar sempat panik dengan posisi inverted yield tersebut. Salah satu bursa acuan AS, Dow Jones, pada akhir pekan lalu merosot 1,77%. Sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengekor dengan penurunan 1,51% di awal pekan (35/3).

Tetapi, sinyal resesi tersebut mulai memudar. Indeks Dow Jones menguat tiga hari berturut-turut di pekan ini. "Respons pelaku pasar selalu berlebihan," kata Analis Panin Sekuritas William Hartanto.

Sedangkan penurunan IHSG, menurut dia, akibat pasar sudah jenuh beli. Menurut dia, efek yield bersilangan AS tak berdampak besar pada bursa Tanah Air.

Kembali rasional

Kepala Riset Reliance Sekuritas Lanjar Nafi menjelaskan, inverted yield di AS terjadi karena kenaikan permintaan obligasi tenor panjang. Hal ini menyusul perkiraan akan terjadi penurunan suku bunga untuk jangka waktu menengah hingga panjang.

Permintaan tersebut yang mendorong harga obligasi naik dan yield turun. Maklum, bank sentral AS Federal Reserve memberikan sinyal menahan suku bunga. Dus, yield obligasi jangka panjang jadi lebih rendah dari obligasi jangka pendek.

Tapi setelah investor kembali rasional, pasar rebound. "Indikator resesi bukan hanya terjadinya inversi tersebut. Ada data-data lain, misalnya inflasi, pengangguran, suku bunga," jelas Analis Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan.

Selain itu, bursa tak hanya terpengaruh pergerakan yield AS. Banyak faktor yang akan mempengaruhi, seperti kemajuan pembahasan Brexit, negosiasi AS-China dan pelambatan ekonomi global.

Terbaru