Reporter: Yuwono Triatmodjo | Editor: Yuwono triatmojo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Merger Gojek dengan Tokopedia (GoTo) telah melahirkan decacorn kebanggaan bagi bangsa ini dengan valuasi disebut-sebut mencapai US$ 17 miliar atau setara Rp 198,80 triliun (kurs Rp 14.200 per dollar AS). Meski kini, mayoritas kepemilikan saham GoTo dimiliki asing, berkisar 86,37%, namun diyakini pengamat, pengendalian GoTo tetap berada di tangan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yakni para pendirinya, yaitu Nadiem Anwar Makarim dan kawan-kawan.
Hal tersebut ditegaskan Garibaldi Thohir, Komisaris Utama PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek). Pria yang akrab disapa Boy Thohir tersebut menyatakan, hak suara (voting rights) para pendiri perusahaan teknologi tersebut, masih menjadi mayoritas.
"Kalau di Gojek kayaknya begitu. Tetapi Saya cuma dengar-dengar saja, yang tahu pasti BOD (Board of Directors)," tulis Boy Thohir dalam pesan singkatnya kepada KONTAN, Kamis (10/6).
Baca Juga: GoTo Menguasai 93,52% Saham Tokopedia
Apa yang dinyatakan Boy Thohir, mengenai pengendalian perusahaan oleh para pendiri, memang sudah jamak terjadi di dunia internasional. Maka tidak heran, bila kelak terbukti baik Nadiem Anwar Makarim dan Kevin Aluwi sebagai pendiri Gojek, serta William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison selaku pendiri Tokopedia, masih memiliki gabungan hak suara mayoritas di GoTo.
Mengutip tulisan kr-asia.com, Rabu (9/6), disebutkan bahwa Anthony Tan sebagai pendiri Grab, menguasai hingga 60,4% suara di perusahaan ride hailing asal Malaysia yang kini berkantor pusat di Singapura itu. Padahal, Anthony Tan kini hanya memiliki 2,2% saham Grab.
Anthony Tan tidak sendirian. Banyak pendiri perusahaan teknologi juga mendapatkan hak suara yang besar, agar perusahaan tetap dapat berkembang sesuai gagasan awal sejak didirikan. Berikut ini daftar hak suara para pendiri perusahaan teknologi dunia.
Nama | Jabatan | Perusahaan | Hak Suara/Voting Power |
Anthony Tan | co-founder dan CEO | Grab | 60,4% (sejak Maret 2021) |
Cheng Wei | founder dan CEO | DIDI | 49,19% (sejak Mei 2021) |
Travis Kalanick | co-founder dan mantan CEO | UBER | 16% (sejak Agustus 2017) |
Jack Ma | co-founder dan mantan CEO | Ant Group | 50,5% (sejak Agustus 2020) |
Forrest Li | founder dan CEO | SEA | 38,8% (sejak Maret 2020) |
Richard Liu | founder dan CEO | JD.com | 78,7% (sejak Februari 2020) |
Mark Zuckerberg | co-founder dan CEO | 53% (sejak April 2021) | |
Adam Neumann | co-founder dan mantan CEO | Wework | 50% (sejak Agustus 2019) |
Larry Page dan Sergey Brin | co-founders | 51,6% (sejak April 2021) |
Sumber: KrAsia bersumber dari website perusahaan, laporan dan bahan promosi
Peneliti Senior Bidang Ekonomi di PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Poltak Hotradero menyatakan, penguasaan perusahaan berdasarkan hak suara sudah jamak terjadi di AS dan ditiru oleh banyak perusahaan di negara lain.
Pengembangan perusahaan teknologi sangat bergantung pada hal teknis, semisal pengetahuan mengenai data base, pengolahan data, menjaring data dan lain sebagainya. "Banyak private equity tidak menguasai hal teknis itu, meski mereka tahu soal bisnisnya," terang Poltak kepada KONTAN.
Di Silicon Valley, lanjut Poltak, dulu memang banyak private equity yang menjadi founder dari perusahaan-perusahaan teknologi, atau dengan kata lain mereka merupakan veteran di bidang teknologi. Namun perlu diingat, dunia informasi dan teknologi berkembang sangat cepat.
Sehingga mengenai cara mengurus dan strategi ke depan pertumbuhannya seperti apa, pengelolaan data, para private equity tersebut akan menyerahkannya kepada pendiri (founder).
"Supaya fair, agar sama-sama tanggung renteng, founder masih memiliki hak suara mayoritas," ujar Poltak.
Para private equity tersebut, lanjut Poltak, juga tidak ingin kena sabotase. Sabotase dalam pengertian, founder yang merasa sudah tidak dihargai lagi, maka dia akan keluar dan membuat perusahaan sejenis yang bisa lebih hebat kemudian hari.
"Maka persentase hak suara dengan persentase kepemilikan saham, itu merupakan dua hal yang berbeda. Dan ini merupakan jalan tengah, untuk mengamankan kepentingan masing-masing," tegas Poltak. Para pendiri ingin visinya tetap utuh sampai kemudian hari kelak. Sedangkan di sisi lain, investor ingin uangnya berkembang di suatu bisnis yang memang sangat baru dan dinamis, namun risiko bisa terkelola dengan baik.
Poltak menambahkan, para private equity tersebut memiliki penyandang dana semisal dana pensiun, yang menginginkan stabilitas. Hal terpenting lainnya, lanjut Poltak, bahwa UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) telah mengatur multiple class shares yang memunculkan komposisi hak suara yang berbeda.
Pasal 53 UUPT menjabarkan persoalan multiple class shares tersebut. Pasal 53 ayat 3 menetapkan dalam hal terdapat lebih dari 1 klasifikasi saham, maka anggaran dasar menetapkan salah satu di antaranya sebagai saham biasa.
Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 84 ayat 1, bahwa setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan lain. Hal ini sejalan dengan kondisi perusahaan global, semisal Grab, bahwa Anthony Tan selaku pendiri Grab menguasai hingga 60,4% hak suara meski hanya memiliki 2,2% saham Grab.
"Jadi orang yang punya saham hanya 3%, tetapi dia bisa punya voting rights 20 kali lipat dari pemegang saham yang lain. Itu sudah dimungkinkan dalam UUPT kita dan diadopsi sudah cukup lama," pungkas Poltak.