Berita Market

Simak Penghuni LQ45 yang Masih Memupuk Laba

Jumat, 05 April 2019 | 19:31 WIB
Simak Penghuni LQ45 yang Masih Memupuk Laba

Reporter: Dupla Kartini | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kendati tahun lalu penuh tantangan, mayoritas emiten penghuni indeks LQ45 mampu menorehkan rapor biru. Sebanyak 35 dari 43 perusahaan penghuni LQ45 yang telah merilis laporan kinerja 2018, berhasil memupuk keuntungan. Hanya tujuh emiten yang laba bersihnya turun, sedangkan satu emiten merugi.

PT Tjiwi Kimia Tbk (TKIM)  menorehkan pertumbuhan laba paling moncer sebesar 667%. Pendapatan emiten grup Sinarmas ini sejatinya hanya naik 4,35%. Lonjakan laba didapat dari keuntungan anak usahanya, PT OKI Pulp & Paper Mils  yang mencapai US$ 230,19 juta. Kontribusi entitas usaha itu naik 365% dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, tahun lalu, TKIM mendapat untung selisih kurs US$ 24,72 juta, dari sebelumnya rugi kurs.

Performa PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) tak kalah ciamik. Produsen emas ini mencetak lonjakan laba sebesar 542%. Keuntungan meroket sejalan pertumbuhan bisnis. Pendapatannya menanjak 99%, sedangkan beban usahanya hanya naik 55,7% alias lebih efisien.

Emiten lain, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) bahkan berhasil membalikkan rapornya. Dari sebelumnya merah alis merugi pada 2017, produsen nikel ini mampu mencetak rapor biru dengan mengantongi laba bersih US$ 60,51 juta pada 2018.

Perbaikan kinerja INCO sejalan peningkatan pendapatan sebesar 23,45%. Di sisi lain, ongkos produksi lebih efisien, tercermin dari kenaikan biaya pokok pendapatan hanya 8%. Selain itu, beban usaha stabil.

Tapi, tak semua pertumbuhan laba emiten LQ45 bersumber dari peningkatan bisnis. Misalnya, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) mencetak kenaikan laba bersih 30%, padahal pendapatanbta hanya naik tipis 1,45%. Rapor produsen barang konsumer ini tertolong terutama karena adanya pemasukan dari penjualan hak distribusi produk Spreads senilai Rp 2,66 triliun.

Kinerja loyo

Tak semua anggota indeks LQ45 bernasib baik. PT XL Axiata Tbk (EXCL) bahkan merugi pada tahun lalu. Perusahaan halo-halo ini membukukan rugi bersih Rp 3,29 triliun. Padahal, tahun sebelumnya, emiten ini masih mampu mencetak laba Rp 375 miliar.

Performa bisnis EXCL stagnan terlihat dari pendapatan yang hanya naik 0,27%. Sementara bebannya meningkat melebihi perolehan pendapatan. Dus, perusahaan membukukan kerugian usaha, yang berujung pada rugi bersih pada akhir 2018. Terlebih, ada kerugian kurs dari pos pembiayaan yang melonjak sampai 838%. Ini tak terlepas dari pelemahan nilai tukar rupiah pada tahun lalu.

Meski tak sampai merugi, sejumlah emiten menghadapi penurunan laba. Tengok saja, PT Indika Energy Tbk (INDY) dan PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) yang labanya merosot lebih dari 50%.

Sejatinya, pendapatan INDY  naik signifikan lebih dari 100% pada tahun lalu. Sekalipun diikuti peningkatan beban pokok, laba kotor pun masih bertumbuh. Sayangnya, laba tergerus lantaran beban penjualan dan beban keuangan membengkak.

Penurunan laba jadi lebih tajam, sebab beban pajak melonjak. Apalagi, tahun ini, tidak ada tambahan keuntungan dari pos lainnya seperti yang terjadi tahun 2017. Saat itu, INDY mengantongi keuntungan dari hasil penilaian kembali aset alias revaluasi senilai US$ 384 juta.

BSDE juga bernasib kurang baik. Pendapatan emiten properti ini merosot 35,93%. Maklum, penjualan properti dan lahan lesu pada 2018 lalu.  Performanya kian berat, sebab beban bunga naik sampai 66% menjadi Rp 912,7 miliar.

Franky Rivan, Analis Kresna Sekuritas mengatakan, BSDE pada 2017 membukukan hasil penjualan lahan yang signifikan. “Sedangkan tahun lalu permintaan lesu, sehingga pendapatan turun drastis,” ujar dia.

Selektif emiten

Emiten LQ45 yang mencetak kinerja moncer di 2018, tak berarti labanya akan melesat tahun ini. Kondisi makroekonomi domestik memang cukup stabil. Tapi, masih ada tantangan perubahan kebijakan di domestik maupun global, yang bisa memengaruhi kinerja emiten.

Menurut Franky, tahun ini, sektor properti belum bullish. Bahkan, PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) yang labanya naik double digit pada tahun lalu,  pertumbuhan labanya diperkirakan melambat tahun ini. “Hold sektor properti,” saran dia.

Jadi, investor harus selektif  memilih emiten dengan menimbang fundamental dan prospek industrinya. Berikut saham anggota LQ45 pilihan para analis.

1. PT Astra International Tbk (ASII)

Sebagai penguasa pasar otomotif, ASII diperkirakan bisa memperbesar pangsa pasar. Di kuartal I-2019, emiten ini meluncurkan varian baru Toyota, yang berpotensi mendongkran penjualan.

Menurut Franky, dengan ekspektasi penjualan mobil nasional tahun ini tumbuh 3% year on year (yoy), maka penjualan ASII bakal ikut terkerek. Dus, laba bersih diestimasi mencapai Rp 23 triliun, naik 6% yoy.

Chris Apriliony, Analis Jasa Utama Capital Sekuritas, mengatakan, selain peluncuran produk baru, ASII akan diuntungkan seiring pembangunan jalan tol di sejumlah wilayah. Memang, ada tantangan dari sisi anak usaha sektor agribisnis. Pembatasan impor CPO di negara Eropa, bisa menekan keuntungan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).

Toh, Cris memperkirakan, ASII masih bisa meraih pertumbuhan laba sebesar 20%. Dia mematok target harga ASII Rp 10.000 hingga akhir 2018. Sedangkan Franky memasang target harga Rp 8.900. Kamis (4/4) harga AALI Rp 7.575 per saham.

2. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI)

Sektor perbankan masih berpotensi bagus, sebab suku bunga flat bahkan cenderung turun di akhir tahun. Nah, BBRI akan paling diuntungkan meski suku bunga turun. Sebab, sebagian besar kredit di bank ini menggunakan tingkat bunga  tetap. “Sehingga margin tetap bisa solid,” papar Henry Wibowo, Kepala Riset RHB Sekuritas.

Sebagai bank besar, likuiditasnya juga masih bagus. Artinya, BBRI bisa mengerek pertumbuhan kredit. Henry merekomendasi beli BBRI dengan target harga akhir tahun di Rp 4.750. Kamis (4/4), harganya ditutup di level Rp 4.220.

3. PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP)

Sektor konsumer paling stabil. Tahun ini, industri didukung daya beli yang membaik. Henry melihat belanja pemerintah sudah kembali fokus pada mass market. Dana desa dinaikkan, harga BBM stabil, kenaikan gaji ASN, hingga tunjangan hari raya bagi pensiunan. Ini jelas positif bagi sektor konsumer, seperti ICBP. Apalagi, emiten ini merajai pasar segmen mi.

Memang, ada dana cukup besar yang digelontorkan untuk membeli tanah. Tapi, kata Henry, tidak menggangu keuangan. ICBP Apalagi, lahan itu disiapkan untuk ekspansi pabrik di masa depan.Hitungan dia, ICBP masih bisa mencetak laba Rp 4,8 triliun, atau naik 5% yoy.

Dari sisi valuasi, saham ICBP masih murah setara price earning (PE) 25 kali, di bawah  PE industri FMCG yang mendekati 50 kali. Henry menargetkan harga ICBP tahun ini mencapai  Rp 12.300. Kamis (4/4), harganya masih di level Rp 9.050.

4. PT Aneka Tambang Tbk (ANTM)

Potensi laju harga komoditas termasuk emas dan nikel di tahun ini bakal menopang kinerja ANTM. Chris memperkirakan, harga emas sebagai safe haven sampai akhir tahun bullish karena ketidakpastian pasar.

Tahun lalu, peningkatan kinerja ANTM ini juga murni dari pertumbuhan penjualan. Dengan ekspektasi harga emas bullish, Chris memprediksi,  emiten ini masih bisa mencetak kenaikan pendapatan 100% dari tahun lalu. Terlebih jika ANTM jadi membeli saham perusahaan yang harus melakukan divestasi, seperti INCO.

Dia menyarankan beli saham ANTM dengan target hingga akhir tahun di Rp 1.500. Kamis (4/4), harganya di level Rp 915.

5. PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA)

Sebagai pemain utama di bisnis distributor gawai, ERAA sangat diuntungkan oleh tren peningkatan pengguna internet dan ponsel pintar. Apalagi, pemilik jaringan gerai Eraphone ini menjual beragam merek, termasuk ponsel buatan China, seperti Xiaomi.

Di Indonesia, penjualan ponsel Xiaomi tumbuh signifikan, sebab harganya lebih terjangkau. Mulai tahun ini, ERAA juga tak lagi mengimpor komponen serta membayar pihak ketiga untuk merakit Xiaomi. Eraphone akan menerima barang jadi. Artinya, perputaran keuangan akan lebih solid. Perkiraan Henry, laba bersih ERAA tahun ini masih bisa tumbuh 6%-10%.

Valuasi saham ini juga masih murah, dengan PE di bawah 10 kali. Dia menargetkan sampai akhir tahun ini, harga saham ERAA mencapai Rp 3.000.

Meski kinerja 2018 solid, tapi harga saham ERAA sudah turun 18,64% year to date. Analis Panin Sekuritas William Hartanto menilai, pergerakan saham tak seiring sejalan dengan fundamental. Saat ini, kata dia, ERAA memasuki masa jenuh. “Jadi potensi menurun masih besar,” ujar dia.

Kamis (4/4), saham ERAA ditutup di level Rp 1.785.   

Terbaru