Antikorupsi Melampaui Politisasi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kejaksaan Agung menetapkan Menkominfo Johnny G Plate menjadi tersangka kasus dugaan korupsi penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung 1, 2, 3, 4 dan 5 Bakti Kementerian Kominfo tahun 2020-2022.
Proyek pembangunan menara BTS bernilai Rp 10 triliun, menurut BPKP, menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 8 triliun.
Kasus korupsi yang menyeret politisi dengan harta kekayaan senilai Rp 191 miliar ini menambah daftar menteri era Jokowi yang pernah terlibat korupsi. Selain Plate, ada Menteri Sosial Juliari Batubara, Menteri Sosial Idrus Marham, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Kasus pembancakan uang negara di episentrum pemerintah tersebut jelas sangat menghina dan menistai publik. Presiden Jokowi sudah berkali-kali mengingatkan para menterinya agar jangan sekali-kali korupsi.
Kita masih ingat pada akhir 2020, Presiden sangat marah karena tidak sampai dua pekan, dua menterinya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni Menteri Sosial dan Menteri Kelautan dan Perikanan.
"Saya tidak akan melindungi yang terlibat korupsi, dan kita semua percaya KPK bekerja transparan, terbuka, bekerja secara baik, profesional dan pemerintah akan konsisten mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi," kata Presiden Jokowi, kala itu.
Kegeraman dan murka Presiden tersebut nampaknya seperti angin lalu. Hasrat korupsi alias memperkaya diri oknum pejabat di lingkaran kekuasaan terlalu besar untuk dikalahkan oleh pedang pemberantasan korupsi seorang Presiden di balik seruan moralnya.
Ini menjustifikasi pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD di Tanah Abang, Jakarta Pusat, (21/3/2023) yang mengatakan korupsi di negeri ini ada di mana-mana, di hutan, di udara, di Garuda (Indonesia), asuransi, koperasi, semuanya korupsi.
Publik tentu sedih karena anggaran proyek BTS yang dikorupsi itu adalah uang dan keringat dari rakyat Indonesia yang memimpikan bisa menikmati pelayanan internet secara cepat dan layak terutama di desa-desa.
Apalagi menurut data yang ada di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) tahun 2023, ada sebanyak 2.881 desa yang belum mempunyai akses internet.
Bahkan menurut Menkominfo Johnny G. Plate pada Oktober 2022, ada 12.548 desa dan kelurahan belum mendapatkan layanan internet alias blankspot. Tak hanya di wilayah 3T (terluar, terpencil dan terdepan), wilayah blankspot juga ada yang masuk kategori wilayah komersial.
Ini belum lagi kalau kita bicara tentang rangking kecepatan internet di Indonesia yang selalu menempati posisi buntut.
Meski dalam laporan Speedtest Global Index yang dirilis Ookla edisi Februari 2023, rangking kecepatan internet Indonesia mengalami peningkatan dari sebelumnya, tetapi masih saja tertinggal dibandingkan negara di Asia Tenggara.
Data tersebut sungguh miris di tengah mimpi Indonesia melakukan transformasi digital di berbagai bidang, termasuk di pemerintahan. Bahkan Kominfo menargetkan sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) bisa beroperasi secara penuh pada 2023.
Tidak itu saja, Indonesia ditargetkan akan mendominasi ekonomi internet Asia Tenggara pada tahun 2025.
Dengan adanya peristiwa rasuah itu, upaya pemerataan infrastruktur dan transformasi digital termasuk dalam rangka peningkatan ekonomi rakyat tentu akan semakin menemui jalan terjal.
Bukan politisasi
Di titik itu kita semestinya memahami bagaimana dampak masif dari ledakan korupsi para petinggi negeri ini yang doyan memperalat kebijakan untuk memperkaya diri dan kroninya.
Korupsi, lagi-lagi adalah kejahatan kemanusiaan. Ia membunuh masa depan dan impian rakyat tak berdosa, yang tak bisa memenuhi kebutuhan dasar, air bersih, listrik, makanan, rumah sakit, pendidikan (termasuk internet) (Azees, 2015:20).
Banyak orang tidak bisa menikmati hak hidupnya secara merdeka dan bermartabat karena dikorupsi oleh para pengambil atau penentu kebijakan.
Tidak jarang pula keputusan yang dibuat para elite dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi maupun politik (Stiglitz, 2002), sehingga nilai-nilai sensitivitas, keadilan, pemenuhan kepentingan publik dari kebijakan terdeprivasi oleh proses pembuatan kebijakan yang hierarkis ketimbang sekuensial.
Pembuatan kebijakan yang bersifat sekuensial selalu mempertimbangkan mekanisme yang sistematis dan legal.
Lain halnya kebijakan yang hierarkis, yang kadang mem-fait-accompli prosesnya dengan arahan-arahan lisan yang memuluskan proses kongkalikong di balik sebuah kebijakan (proyek) yang keuntungannya dipergunakan untuk memperkaya diri (Indriati, 2014).
Tidak sedikit yang menduga, kasus korupsi menara BTS ini bagian dari politisasi terkait kepentingan Pilpres 2024. Jika kita sepakat bahwa kasus korupsi adalah kejahatan extra-ordinary maka perang terhadap korupsi adalah keniscayaan tanpa memandang bulu.
Kejaksaan Agung sebagai institusi yang profesional dalam menetapkan tersangka kasus korupsi tentu telah bekerja sesuai prosedur hingga tiba pada keyakinan hukum berdasarkan alat bukti yang sahih.
Memang publik tidak bisa memisahkan kasus Menara BTS yang menimpa Plate dan posisinya sebagai petinggi partai yang kebetulan sedang ada dalam pusaran atau gejolak politik tingkat tinggi menuju 2024.
Namun kenyataannya, kasus tersebut sudah dibidik sejak Oktober 2022 oleh aparat ketika terendus adanya perbuatan melawan hukum berupa dugaan adanya pengondisian di balik perencanaan dan pelelangan proyek BTS tersebut yang kemudian menjerat tiga orang tersangka, salah satunya Direktur Utama Bakti Kominfo.
Kini isu utama yang harus dikawal adalah mengungkap aktor-aktor atau pemain-pemain lain di balik kasus tersebut untuk menegasi isu bahwa kasus tersebut adalah intervensi politik.
Maka sebuah keharusan bagi aparat penegak hukum di republik ini untuk mengusut pula berbagai kasus-kasus pembancakan uang rakyat yang (berpotensi) melibatkan para elite (politik) tanpa terkecuali. Ini demi keadilan sekaligus meyakinkan publik, bahwa negara konsisten memerangi korupsi pada semua lini dan aktor, melampaui politisasi.
Negara tidak boleh pandang bulu memenjarakan para pencuri uang rakyat. Karenanya, permusuhan bangsa terhadap korupsi harus menjadi napas bersama yang kekal. Jangan permisif atas korupsi secara "diam-diam" hanya karena "alasan" politisasi dan lain sebagainya.