Badai Kredit Macet Menerpa Industri Fintech P2P Lending

Rabu, 03 Januari 2024 | 20:47 WIB
Badai Kredit Macet Menerpa Industri Fintech P2P Lending
[ILUSTRASI. Sejumlah fintech peer to peer (P2P) lending dihadapkan pada permasalahan kredit macet membengkak]
Reporter: Ferry Saputra | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah fintech peer to peer (P2P) lending dihadapkan pada permasalahan kredit macet membengkak. Terpantau, sejumlah fintech P2P lending memiliki TWP90 di atas 5%. Artinya, masyarakat gemar utang sehingga menyebabkan angka kredit macet fintech lending membengkak.

Mengenai hal itu, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyebut terdapat sejumlah faktor yang dapat memengaruhi peningkatan kredit macet fintech lending tersebut.

"Sejumlah faktornya, seperti perilaku peminjam, regulasi yang ada, serta model bisnis dari platform fintech P2P lending itu sendiri," ucap Sekretaris Jenderal AFPI Tiar Karbala kepada Kontan.co.id, Rabu (3/1).

Baca Juga: Kredit Macet Sejumlah Fintech Lending di Atas 5%, Ini Kata Pengamat

Untuk ke depannya, Tiar menyebut AFPI sedang aktif mempertimbangkan langkah-langkah guna memperkuat pengawasan dalam industri fintech P2P lending. Selain itu, AFPI juga mendorong seluruh anggota untuk secara aktif memberikan edukasi keuangan kepada peminjam, membantu mereka memahami secara lebih baik tentang tanggung jawab finansial, dan terus menyempurnakan proses persyaratan peminjaman untuk memastikan keberlangsungan yang lebih baik dalam pemberian pinjaman. 

"Upaya yang dilakukan diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih seimbang bagi para peminjam dan platform fintech, serta mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan dalam industri fintech lending," ungkap Tiar.

Sementara itu, Pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda berpendapat meningkatnya kredit macet sejumlah fintech lending tak terlepas dari kelonggaran dan kemudahan administrasi.

"Saya melihat kelonggaran dan kemudahan administrasi dalam penyaluran fintech P2P lending sudah menjadi boomerang dalam penyaluran kredit. Di satu sisi, bagus untuk mempercepat inklusi keuangan, tetapi harus diiringi juga dengan scoring yang lebih valid," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Rabu (3/1).

Menurut Nailul, tanpa sistem scoring yang valid, ancaman tingginya kredit macet fintech P2P lending kemungkinan masih akan membayangi ke depannya. Terlebih, untuk bisnis yang targetnya UMKM pertanian. Dia menyampaikan selama ini perbankan ragu untuk menggenjot sektor pertanian karena risikonya cukup tinggi. Namun, kata Nailul, beberapa fintech P2P lending malah menargetkan sektor tersebut. 

"Sudah ada platform fintech yang mengincar sektor pertanian, kemudian fintech tersebut malah tutup. Jadi, saya merasa tinggal menunggu waktu saja bagi yang lain jika tidak dibenahi sistemnya," katanya.

Nailul menambahkan sebenarnya dirinya sudah pernah mengingatkan permasalahan tersebut di akhir tahun lalu. Dia pada saat itu mengkhawatirkan kualitas kredit borrower usia muda. 

Jadi, kata dia, data sepanjang 2022 sudah ada tren peningkatan gagal bayar untuk borrower usia muda dengan rata-rata pinjaman macet mencapai Rp 2,5 juta. Hal itu sangat terkait dengan pendapatan pemuda di Indonesia yang rata-rata hanya Rp 2 juta per bulan. Oleh karena itu, Nailul berpendapat bisa jadi lebih besar utang dibandingkan pendapatan mereka dan hal itu yang berbahaya.

"Saya sudah menyampaikan bisa menjadi boom kredit macet ketika sistem scoring dan administrasinya dibiarkan seperti saat ini," ujarnya.

Nailul pun menyebut tak dapat dipungkiri bahwa kredit macet bisa saja akan meningkat terus jika tidak ada pembenahan, terutama dari sisi scoring-nya.

Oleh karena itu, Nailul mendorong agar fintech lending memiliki sistem scoring dan sistem berbasis komunitas yang kuat sehingga bisa menjadi kontrol peminjam. Dia bilang risiko yang tinggi harus diminimalisir sehingga lender juga tidak kehilangan uangnya. 

"Penggunaan data lainnya, seperti keikutsertaan dalam komunitas atau data historis perbankan dirasa bisa menjadi data pembanding yang bisa digunakan," ujarnya.

Seperti diketahui, berdasarkan data terakhir OJK, tingkat kredit macet fintech peer to peer lending mengalami kenaikan. Adapun TWP90 mencapai 2,89% pada Oktober 2023, sedangkan pada September 2023 mencapai 2,82%.

Dana Lender Belum Dibayarkan

Berdasarkan pantauan Kontan.co.id, sejumlah fintech lending memiliki TWP90 di atas 5%, di antaranya Danamas sebesar 9,91%, Investree sebesar 12,58%, Maucash sebesar 5,73%, TaniFund kredit macetnya mencapai 63,93% atau TKB90 hanya 36,07%, hingga iGrow memiliki TKB90 sebesar 53,44% atau kredit macetnya 45,56%.

Salah satu lender Investree Febry Christoper membeberkan sampai saat ini pendanaan yang diberikan kepada perusahaan tersebut sama sekali belum dibayarkan. 

"Belum ada, hanya ada 1 borrower pada Desember 2023 pernah melakukan cicilan dari pokok pinjaman Rp 35 juta dan yang baru dibayar Rp 2,45 juta saja. Adapun dari aplikasi bunganya sudah hilang begitu saja dan tidak diberitahukan alasan bunganya hilang setelah telat 600 hari kalender lebih," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Rabu (3/1).

Febry menyatakan sampai saat ini pendanaan yang telat dibayarkan sekitar Rp 155 juta. Dia menambahkan kurang lebih hampir 2 tahun belakangan semua pendanaan masih belum jelas kapan dibayar maupun asuransi yang dijanjikan akan di-cover juga masih simpang siur. 

"Kalau dilihat ulang term and condition dahulu setelah 90 lebih hari kalender pendanaan telat itu akan di-cover asuransi, tetapi belakangan teman-teman yang mengalami telat juga masih banyak yang dijanjikan cair asuransinya. Hal itu berbeda dengan influencer, Feli, tiba-tiba cair semua dan perbedaan perlakuan itu sudah saya protes ke Investree," katanya.

Febry juga mengungkapkan tangkapan layar balasan Investree terkait keluhan gagal bayar tersebut kepada Kontan.co.id. Terlihat, tim Investree hanya berjanji dan mengulang-ulang pernyataan terkait pengembalian dana Febry.

Salah satu e-mail balasan Investree kepada Febry menyampaikan bahwa pihak Investree telah melakukan penagihan kepada PT SPM yang menjadi borrower agar melakukan pembayaran cicilan yang telah disampaikan sebelumnya. 

"Namun, karena kondisi perusahaan belum optimal, perusahaan belum bisa membayarkan sepenuhnya dan baru bisa membayar cicilan lebih kecil pada 30 November 2023 dari nominal cicilan sebelumnya. Adapun rencana pembayaran pada Desember 2023, tim Investree menekan kepada direksi PT SPM untuk membayarkan tunggakan dengan optimal dan mengoptimalkan pembayaran dari segala sumber yang tersedia," tulis tim Investree dalam e-mail tersebut.

Tim Investree juga menyampaikan kepada Febry untuk menunggu pemberitahuan selanjutnya terkait proses penagihan terhadap borrower. Disebutkan Investree juga akan memberikan upaya terbaik dalam proses penagihan serta melakukan pemantauan secara intensif untuk memastikan pendanaan Febry dapat segera terbayarkan.

Febry mengatakan dirinya juga telah melaporkan permasalahan itu kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tetapi hasilnya masih nihil. Dia juga menyebut sudah ratusan lender coba melapor hal itu, tetap masih nihil hasil pengembalian.

"OJK sempat menanggapi, tetapi hanya dikembalikan oleh Investree untuk berdiskusi dengan lender. Jawabannya, saya disuruh sabar," katanya mengungkapkan balasan OJK.

Febry juga menyampaikan bahwa Investree sempat menanggapi laporan OJK tersebut. Akan tetapi, hanya disuruh untuk sabar menunggu upaya dari pihak Investree dalam penagihan.

Dia pun menyayangkan tak transparannya Investree dalam menginformasikan dana yang disalurkan kepada borrower. Dia pun menyebut ada 11 pendanaan yang disalurkan kepada borrower Investree.

"Logikanya, borrower kerja pinjam uang tidak progress, apakah tidak ada pemantauan dari internal Investree? Sampai loss begitu besar TKB90 di bawah 90%," ujarnya.

Febry pun mengatakan para lender juga sudah berniat untuk menempuh jalur hukum agar permasalahan tersebut bisa cepat terselesaikan.

Di sisi lain, lender fintech iGrow yang tengah menempuh jalur hukum menuntut haknya juga mengaku belum mendapatkan pengembalian dana dari perusahaan tersebut. Pengacara para lender iGrow yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Rifqi Zulham menyampaikan kliennya sama sekali belum mendapatkan haknya.

"Belum ada. Bahkan, proyek lender yang membeli asuransi, yang mana akan menjamin pengembalian kerugian para lender yang gagal bayar juga tidak ada yang cair," katanya.

Rifqi pun bersikukuh bahwa kliennya akan tetap menempuh jalur hukum sampai hak mereka bisa didapatkan sepenuhnya. Sebab, permasalahan tersebut sudah berlarut-larut tak terselesaikan.

Adapun Investree belum menanggapi pertanyaan yang disampaikan Kontan hingga berita ini diturunkan, sedangkan Danamas tidak berkenan untuk mengomentari permasalahan kredit macet tersebut. 

Aturan Baru OJK Diharapkan Jadi Obat

Melihat kondisi meningkatnya kredit macet sejumlah fintech P2P lending, Sekretaris Jenderal AFPI Tiar Karbala menyampaikan penguatan aturan yang baru-baru ini dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan dapat mengurangi risiko over leverage bagi calon peminjam yang cenderung meminjam dari banyak platform fintech secara bersamaan. 

Adapun OJK telah mengeluarkan berbagai aturan baru terkait fintech P2P lending yang tertuang dalam dalam SEOJK No.19/SEOJK.06/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI).

Baca Juga: Kenaikan Kredit Bermasalah UMKM Berlanjut, Bank Optimistis Bisa Jaga Rasio NPL

Tiar berpendapat aturan baru yang dikeluarkan OJK tersebut salah satunya bertujuan untuk membatasi jumlah pinjaman yang dapat diakses oleh individu. Dengan demikian, dapat mengurangi risiko gagal bayar dan kelebihan utang yang berpotensi terjadi. 

"Selain itu, pembatasan pinjaman yang tertuang dalam aturan itu juga berpotensi meningkatkan kualitas pinjaman dengan menarik peminjam yang lebih bertanggung jawab dan berkualitas karena peminjam harus lebih selektif dalam memilih platform untuk meminjam. Dengan demikian, diharapkan bahwa kualitas portofolio pinjaman dapat meningkat secara keseluruhan, menciptakan lingkungan yang lebih stabil bagi para peminjam dan platform fintech," katanya.

Sementara itu, Pengamat Nailul Huda tak memungkiri aturan baru dari OJK yang berlaku mulai tahun ini kemungkinan bisa menjadi obat dari permasalahan yang menerpa industri fintech peer to peer lending.

"Seharusnya bisa menjadi obat, tetapi kuncinya harus memperbaiki sistem credit scoring-nya juga," katanya.

Bagikan

Berita Terbaru

Perdagangan Sepi Ditinggal Pembeli Hingga Persiapan IDXCarbon ke Sektor Kehutanan
| Kamis, 31 Juli 2025 | 17:45 WIB

Perdagangan Sepi Ditinggal Pembeli Hingga Persiapan IDXCarbon ke Sektor Kehutanan

Sejak diluncurkan dua tahun yang lalu, tepatnya pada 26 September 2023, perdagangan bursa karbon di Indonesia masih saja sepi.

Kinerja BKSL Diproyeksi Cemerlang Pasca Akusisi Perusahaan Asal Malaysia
| Kamis, 31 Juli 2025 | 15:11 WIB

Kinerja BKSL Diproyeksi Cemerlang Pasca Akusisi Perusahaan Asal Malaysia

Kinerja BKSL diproyeksi bakal moncer, seiring agresifitas pengembangan lahan pasca akuisisi lahan miliknya oleh anak usaha Genting Plantations.

Dolar AS Menguat Usai The Fed Tahan Suku Bunga, Simak Prediksi Rupiah
| Kamis, 31 Juli 2025 | 13:29 WIB

Dolar AS Menguat Usai The Fed Tahan Suku Bunga, Simak Prediksi Rupiah

Sikap hati-hati The Fed langsung berdampak ke pasar global, penguatan indeks dolar AS ke level 100 menekan rupiah mendekati Rp 16.500.

Investasi PMA dan PMDN Naik, Rasio Serapan Tenaga Kerja Malah Menyusut
| Kamis, 31 Juli 2025 | 10:35 WIB

Investasi PMA dan PMDN Naik, Rasio Serapan Tenaga Kerja Malah Menyusut

Kini tiap Rp 1 triliunnya hanya mampu menghasilkan lapangan kerja bagi 1.393,688 orang di kuartal II-2025.

MDI Ventures Terseret Kasus TaniHub, Amvesindo Ajak Perbaiki Celah Sistemik
| Kamis, 31 Juli 2025 | 09:29 WIB

MDI Ventures Terseret Kasus TaniHub, Amvesindo Ajak Perbaiki Celah Sistemik

Pada Mei 2021, MDI Ventures memimpin pendanaan seri B senilai US$ 65,5 juta atau Rp 942 miliar untuk TaniHub Group.

Profit 23,65% Setahun, Harga Emas Antam Hari Ini Ambrol (31 Juli 2025)
| Kamis, 31 Juli 2025 | 09:08 WIB

Profit 23,65% Setahun, Harga Emas Antam Hari Ini Ambrol (31 Juli 2025)

Harga emas batangan Antam 24 karat 31Juli 2025 di Logammulia.com Rp 1.901.000 per gram, harga buyback Rp 1.746.000 per gram.

Membedah Sentimen-Sentimen Utama yang Menekan Harga Komoditas Batubara dan Emitennya
| Kamis, 31 Juli 2025 | 08:28 WIB

Membedah Sentimen-Sentimen Utama yang Menekan Harga Komoditas Batubara dan Emitennya

Permintaan yang menurun dan pasokan yang masih berlimpah akan menahan harga batubara di bawah US$ 100 per ton.

Seiring Akuisisi Tambahan Kepemilikan Blok Corridor, Blackrock Akumulasi Saham MEDC
| Kamis, 31 Juli 2025 | 08:04 WIB

Seiring Akuisisi Tambahan Kepemilikan Blok Corridor, Blackrock Akumulasi Saham MEDC

Dari sisi produksi, akan ada tambahan sekitar 141 juta kaki kubik per hari (mmscfd) atau 24 mboepd sebagai efek akuisisi tersebut.

Pergerakan Kurs Rupiah Menanti Realisasi Belanja Pemerintah
| Kamis, 31 Juli 2025 | 07:02 WIB

Pergerakan Kurs Rupiah Menanti Realisasi Belanja Pemerintah

Langkah ini untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 5,2% pada 2025. Semester II-2025 menjadi penentu tercapainya target pertumbuhan ekonomi.

Dharma Satya (DSNG) Menikmati Lonjakan Harga CPO di Semester I
| Kamis, 31 Juli 2025 | 06:20 WIB

Dharma Satya (DSNG) Menikmati Lonjakan Harga CPO di Semester I

Manajemen DSNG memperkirakan harga CPO akan tetap bertahan karena permintaan masih cukup kuat, baik di dalam maupun luar1 negeri.

INDEKS BERITA

Terpopuler