KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah bergeming, bersikeras untuk tetap menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Protes menyeruak, menguap ditelan alasan menjalankan konstitusi Undang-Undang No 7/2021 Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
BU, alias butuh uang menjadi faktor yang paling kentara untuk memahami sempitnya ruang fiskal untuk membiayai pembangunan. Kapasitas anggaran yang terbatas menjadikan kenaikan tarif PPN sulit untuk ditunda. Apalagi, pemerintah baru berambisi mendongkrak pertumbuhan ekonomi bertahap hingga tumbuh 8% di 2029.
Menaikkan PPN menjadi cara paling mudah dilakukan, laiknya memetik buah yang tergantung (low hanging fruit). Pemerintah bisa langsung mengantongi kurang lebih Rp 75 triliun-Rp 80 triliun. Alih-alih cara lain seperti menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) progresif atau penerapan tambahan pajak penghasilan kelompok superkaya.
Semakin tinggi target pertumbuhan ekonomi, semakin besar jumlah pajak yang harus dikumpulkan. Namun, saat ini mesin-mesin ekonomi sedang butuh pelumas. Konsumsi masyarakat loyo, belanja pemerintah kurang tenaga, pun dengan investasi. Ketiga mesin ekonomi sedang tidak baik-baik saja.
Baca Juga: Teliti Belanja Perpajakan Agar Tepat Sasaran
Meski selalu menepis 'kondisi' itu, toh pemerintah menyerukan berhemat. Presiden Prabowo, lewat Kementerian Sekretariat Negara memperketat izin perjalanan dinas ke luar negeri pejabat negara baik pusat maupun daerah. Mereka harus minta izin jika harus ke luar negeri.
Sebelumnya, dalam surat edaran Menteri Keuangan Sri Mulyani, pemerintah juga memutuskan untuk mengerem biaya perjalanan dinas. Berlaku sejak November, anggarannya dipotong minimal 50%, hingga akhir tahun 2024.
Beban anggaran dinas selama empat tahun belakangan terus mendaki. Dari Rp 24 triliun di tahun 2020, menjadi Rp 28 triliun, bertambah lagi menjadi Rp 39 triliun, dan di 2023 sudah menjadi Rp 50 triliun. Melambung dua kali lipat dalam empat tahun terakhir.
Memangkas perjalanan dinas saja tak cukup, perbaikan tata kelola menjadi utama. Bukan cuma soal uang masuk dan keluar tapi juga perbaikan kebijakan. Aneka kebijakan pemerintah masih sarat kepentingan individu dan golongan. Mereka terus mempengaruhi kepemimpinan lewat jaringan politik, bisnis, hingga birokrasi. Jika ini terus terjadi, bangsa ini akan tersandera, gagal maju, tak bisa sejahtera karena ulah elit sendiri.