Mencari Likuiditas Membiayai Ambisi 3 Juta Rumah

Sabtu, 30 November 2024 | 06:30 WIB
Mencari Likuiditas Membiayai Ambisi 3 Juta Rumah
[ILUSTRASI. Dari kiri: Direktur Utama Bank Tabungan Negara Nixon LP Napitupulu, Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait duduk bersama membahas beragam solusi pencapaian Program 3 Juta Rumah di Jakarta (8/11/2024). P]
Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ambisi pemerintahan Prabowo untuk membangun 3 juta rumah per tahun bagi masyarakat berpendapatan rendah (MBR) memiliki tantangan berat. Tantangan utamanya adalah terkait likuiditas perbankan dan juga ketersediaan dana pemerintah.  

Oleh karena itu, diperlukan sinergi dukungan lintas kementerian, perbankan, pengembang dan regulator untuk mewujudkan program disebut memiliki tujuan ahir untuk mengentaskan kemiskinan tersebut. 

Kementerian Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PKP) telah mengajukan menaikkan kuota rumah subsidi dengan skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) menjadi 800.000 unit pada tahun 2025. Angka itu meningkat dari 220.000 pada tahun 2024. 

Menteri PKP Maruarar Sirait mengatakan, rencana peningkatan kuota FLPP dilakukan untuk memecahkan masalah keterbatasan kuota di saat permintaan konsumen masih tinggi. Namun, penambahan kuota tersebut belum mendapat lampu hijau dari Kementerian Keuangan (kemenkeu).

“Program yang selama ini disukai oleh semua stakeholder perumahan adalah FLPP, tapi masalahnya kuotanya terbatas. Padahal, kredit macetnya kecil sekali. Sebetulnya program yang paling bagus adalah melakukan sesuatu yang semuanya senang. FLPP ini adalah program yang berhasil, dan kalau ada program dari zaman sebelumnya yang bagus, tidak apa-apa kita teruskan,” tutur Maruarar dalam Dialog Interaktif Program 3 Juta Rumah, Jumat (29/11).

Baca Juga: Kuota FLPP Bakal Naik Jadi 800.000 Rumah, BTN Soroti Kondisi Likuiditas Bank

Berdasarkan rencana Kementerian PKP, skema pembagian porsi pembiayaan FLPP tahun 2025 akan diubah menjadi 50% dari pemerintah dan 50% dari likuiditas perbankan. Tujuannya tidak membebani keuangan negara. Tenor kredit rumah subsidi FLPP juga akan diperpanjang menjadi 30 tahun agar angsuran menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat. 

Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, Kemenkeu telah menerima usulan rencana peningkatan kuota FLPP dan akan didiskusikan dalam pembahasan RAPBN tahun 2025. 

Selain itu,  kata dia, Kemenkeu juga mendukung adanya sumber pendanaan alternatif untuk bisa mendukung pembiayaan jika skema pembiayaan diubah. “Untuk bisa merancang ulang FLPP, kita perlu menyesuaikan aturan-aturan yang ada dan penambahan kuota akan masuk ke pembahasan tahun depan karena ada hitungan berapa belanja, penerimaan, dan lain-lain,” jelas Suahasil.

Persoalan Likuiditas

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo menegaskan bahwa penyediaan rumah bersubsidi didorong terus meningkat. Ia menyebut bahwa penyediaan 800.000 unit rumah subsidi membutuhkan pendanaan sekitar Rp 150 triliun.

Menurut kajian Kementerian PKP, jika  menggunakan skema FLPP baru, maka pemerintah akan menyiapkan anggaran sekitar Rp 70 triliun- Rp 72 triliun. Sedangkan perbankan akan menyiapkan likuidiyas sebesar Rp 80 triliun. 

Baca Juga: KPR Subsidi Tetap Jadi Penopang Pertumbuhan Kredit BTN Per Kuartal III/2024

“Kebutuhan likuiditas BTN untuk mendukung ini sangat besar. Oleh karena itu, kami mendorong agar BRI juga bisa masuk mendanai program tiga juta rumah ini,” kata pria yang akrab di sapa Tiko itu. 

Tiko menyebut, BRI memiliki keunggulan dari segi jangkauan wilayah. Sehingga, bank yang dikenal spesialis kredit UMKM itu bisa membantu program tiga juta rumah di daerah-daerah yang tijdvak bisa di jangkau BTN.

Direktur Utama BTN Nixon L.P Napitupulu mengaku siap mendukung program 3 juta rumah itu. Tapi, ia menekankan penyediaan likuiditas memang menjadi tantangan bagi BTN dalam mendukung program tersebut, mengingat tenor KPR subsidi cukup panjang. 

Untuk memenuhi kebutuhan likuiditas, BTN berencana menerbitkan obligasi dan mencari pinjaman luar negeri, di samping menghimpun dana pihak ketiga (DPK).  “BTN berencana menerbitkan obligasi dan mencari pinjaman luar negeri sekitar Rp 10 triliun- Rp 15 triliun,” ungkap Nixon.

Namun, Nixon menekakan bahwa BTN butuh dukungan dari pemerintah untuk pemenuhan likuiditas tersebut. Salah satunya adalah agar obligasi yang akan diterbitkan mendapat penjaminan dari negara. Dengan begitu, biaya dana yang harus ditanggung BTN lebih murah, sehingga jumlah dana yang akan dihimpun bisa lebih besar. 

Baca Juga: Bank ICBC Indonesia Merelokasi Cabang di Area Pantai Indah Kapuk (PIK)

Menanggapi itu, Tiko menyampaikan bahwa Kementerian BUMN saat ini tengah berkoordinasi dengan Kemenkeu dan Bank Indonesia (BI) membahas beberaap skema yang bisa mendukung likuiditas perbankan dalam pembiayaan FLPP.  Salah satunya usulan skema khusus yang memungkinkan BTN bisa memiliki likuiditas jangka panjang. 

“BTN butuh pendanaan jangka panjang. Jadi, kami coba mengusulkan apakan BTN bisa menerbitkan obligasi hingga 15 tahun dan sebagainya. Ini tidak mudah, tapi kita akan coba cari skema lainnya,” tutur Tiko. Untuk memungkinkan penerbitan obligasi dengan tenor panjang tersebut maka perlu ada penjaminan dari pemerintah. 

Sementara, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae melihat likuiditas perbankan untuk merealisasikan program tiga juta rumah memadai. Ditambah, ekspektasi pertumbuhan ekonomi tahun depan yang lebih baik. 

Kendati begitu, OJK juga tetap memikirkan upaya-upaya lain dan menunggu langkah dari BI dalam mendukung likuiditas perbankan ini.. “Banyak yang bisa dilakukan, termasuk menunggu dari BI seperti apa untuk mendukung sektor-sektor termasuk perumahan ini dan bisa menambah likuiditas juga.” ujar Dian.

Siapkan KPR FLPP Tenor 30 Tahun

Skema lain yang terus didorong untuk mengatasi keterbatasan likuiditas perbankan adalah dengan mengoptimalkan manfaat layanan tambahan dari program Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan.

Tiko bilang, Kementerian akan mendorong pemanfaatan saldo JHT yang dimiliki oleh peserta BPJS Ketenagakerjaan bisa dijadikan sebagai uang muka pembelian rumah saat mengajukan KPR ke bank. 

“Bagusnya saldo JHT itu diberikan di virtual account agar BTN ataupun bank lain bisa menggunakannya sebagai uang muka. Sehingga para peserta JHT tidak perlu memberikan uang muka saat mengajukan KPR, tapi langsung dari saldo JHT. Jadi, kami akan mendorong kerja sama dengan BPJS," kata Tiko.

Kementerian BUMN bersama dengan Kemenkeu dan Kementerian PKP juga tengah membahas skema yang memungkikan KPR FLPP bisa diberikan dengan tenor hingga 30 tahun.  Hal itu ditujukan cicilan rumah bisa ditekan hingga di bawah Rp 1 juta untuk kalangan generasi Z.

Tiko mengatakan, idealnya cicilan KPR harus kalangan MBR, termasuk Gen Z, harus di bawah Rp 2 juta per bulan. Tapi, untuk daerah-daerah atau di luar kota-kota besar, cicilan KPR harsu bisa diarahkan di bawah Rp 1 juta. “Oleh karena itu, pembahasan skema FLPP 30 tahun lagi dikebut,” ujarnya.

Nixon  menilai rencana perpanjangan tenor ini untuk memudahkan masyarakat untuk mendapatkan kepemilikan rumah dengan cicilan yang terjangkau. 

Ia menambahkan, skema tenor 30 tahun yang dirancang akan memperpendek masa pemberian subsidi. “Rencananya masa berlaku subsidi hanya 10 tahun, selanjutnya naik bunga komersial. Tapi, naiknya pasti dicapping  agar tidak terlalu mahal. Skema ini yang masih dibahas,” kata Nixon. 

Kajian pemberlakuan masa subsidi 10 tahun berangkat dari pengalaman BTN selama ini. Nixon bilang, rata-rata nasabah KPR di BTN surah melakukan pelunasan KPR setelah jangka waktu 10-11 tahun. 

Selanjutnya: Jasnita Telekomindo (JAST) Mengincar Penjualan Rp 135 Miliar

Bagikan

Berita Terkait

Berita Terbaru

Mari Mengawal KPK
| Sabtu, 30 November 2024 | 08:15 WIB

Mari Mengawal KPK

Terpilihnya komisioner KPK tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik yang selalu mengitari lembaga ini.

Efek Ekonomi MBG
| Sabtu, 30 November 2024 | 08:00 WIB

Efek Ekonomi MBG

Jika program makan bergizi gratis (MBG) ini bermanfaat bisa dilanjutkan, namun jika banyak mudaratnya bisa dihentikan. 

Upah Tahun Depan Naik 6,5%
| Sabtu, 30 November 2024 | 07:48 WIB

Upah Tahun Depan Naik 6,5%

Kenaikan upah 6,5% akan menjadi sia-sia jika pajak pertambahan nilai (PPN) tetap naik 12% di tahun 2025 

Pemerintah Pastikan B40 Berlaku 1 Januari 2025
| Sabtu, 30 November 2024 | 07:39 WIB

Pemerintah Pastikan B40 Berlaku 1 Januari 2025

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut, implementasi B40 akan mengurangi emisi karbon

DPR Serahkan Keputusan Tarif PPN 12% ke Prabowo
| Sabtu, 30 November 2024 | 07:31 WIB

DPR Serahkan Keputusan Tarif PPN 12% ke Prabowo

Pemerintah belum secara resmi mengumumkan sikap terkait kebijakan tarif PPN 12% yang sedianya berlaku 1 

Jatah Makan Bergizi Gratis Rp 10.000 per Orang
| Sabtu, 30 November 2024 | 07:21 WIB

Jatah Makan Bergizi Gratis Rp 10.000 per Orang

Presiden Prabowo Subianto memangkas jatah alokasi Makan Bergizi Gratis dari Rp 15.000 menjadi Rp 10.000 per orang

Kebijakan BI Pro Stabilitas Sekaligus Pertumbuhan di 2025
| Sabtu, 30 November 2024 | 07:18 WIB

Kebijakan BI Pro Stabilitas Sekaligus Pertumbuhan di 2025

Ada lima tantangan global dan domestik yang akan dihadapi imbas dari kebijakan yang akan ditempuh Presiden AS

Dipicu Aksi Profit Taking, Rupiah Menguat Dalam Sepekan
| Sabtu, 30 November 2024 | 07:09 WIB

Dipicu Aksi Profit Taking, Rupiah Menguat Dalam Sepekan

Nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat di perdagangan pekan terakhir November 2024.

Harga Jual Eceran Rokok Tetap Naik Tahun Depan
| Sabtu, 30 November 2024 | 07:09 WIB

Harga Jual Eceran Rokok Tetap Naik Tahun Depan

Meski tarif cukai tetap, pemerintah akan menaikkan harga jual eceran (HJE) hasil tembakau pada tahun depan

Pemain Asuransi Jiwa Menjaga Asa
| Sabtu, 30 November 2024 | 07:05 WIB

Pemain Asuransi Jiwa Menjaga Asa

Industri asuransi jiwa masih menghadapi tantangan dari daya beli yang belum menunjukkan tanda pemulihan.

INDEKS BERITA

Terpopuler