Morgan Stanley Proyeksi Pasar Saham RI Menarik, Perhatikan Risiko dan Pilihan Saham

Kamis, 14 November 2024 | 09:19 WIB
Morgan Stanley Proyeksi Pasar Saham RI Menarik, Perhatikan Risiko dan Pilihan Saham
[ILUSTRASI. Karyawan menaiki tangga di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (19/6/2024). KONTAN/Cheppy A. Muchlis]
Reporter: Bidara Pink | Editor: Tedy Gumilar

 

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga riset Morgan Stanley, meneropong potensi investasi ke Asia untuk tiga tahun ke depan. Dalam riset yang diterima KONTAN pada awal pekan ini, para analis di Morgan Stanley mengungkapkan, pasarr Asia bisa dilirik para investor saham, termasuk Indonesia.

Ini seiring dengan progres pertumbuhan ekonomi yang cepat, hingga peredaran uang yang cepat. Sebab, Asia memiliki jumlah penduduk yang banyak dan bisa menjadi sumber daya bagi benua ini dalam menggerakkan perekonomian. 

Analis Morgan Stanley Jonathan Garner mengatakan, Asia memiliki prospek kapitalisasi market atau market capitalization (market cap) yang cukup apik. Pada tahun 2027, Garner dan timnya memperkirakan market cap Asia akan mencapai US$ 40,9 triliun pada tahun 2027.

Memang, Garner bilang perkiraan market cap pada tahun 2027 ini tak setinggi perkiraan sebelumnya, yang berada di kisaran US$ 55,5 triliun. 

Namun, bila menilik ke belakang, perkiraan market cap Asia pada tahun 2027 ini tumbuh lebih dari tiga kali lipat dari market cap pada tahun 2017 yang sebesar US$ 12 triliun. 

Garner turut menyoroti Indonesia. Sebagai bagian dari negara Asia, Garner bilang Indonesia memang merupakan pasar yang cukup kecil dalam regional ini. Hanya, kecil-kecil cabai rawit, Garner optimistis terhadap potensi perkembangan kapitalisasi pasar di Indonesia.

“Patut dicatat, kami berharap Indonesia akan mencatat market cap melampaui US$ 1 triliun dalam kapitalisasi pasar saham pada tahun 2027. Tumbuh lebih dari dua kali lipat dari kapitalisasi sejak tahun 2017,” tulis Garner dalam riset tersebut, dikutip Rabu (13/11). 

Analis Morgan Stanley Nick Lord kemudian menyarankan, para investor saham bisa untuk menanamkan modal ke negara yang bisa menawarkan pertumbuhan neraca dan keuntungan yang tinggi. Indonesia, menjadi salah satu pilihannya. 

Lord dan kawan-kawannya bilang, sektor yang bisa menjadi jagoan di tengah ketidakpastian adalah sektor perbankan. Nah, salah satu saham yang bisa dipertimbangkan adalah PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA). 

Menurut mereka, BBCA merupakan bank besar di Indonesia yang paling resilien. BBCA juga diperkirakan akan memiliki pertumbuhan kredit yang stabil terutama didukung oleh kredit konsumsi. Selain itu, Net Interest Margin (NIM) juga diperkirakan akan stabil. 

Mereka memperkirakan, pertumbuhan kredit BBCA dari tahun 2024 hingga 2026 akan stabil di kisaran 13%. Untuk tahun 2024, pertumbuhan kredit diyakini akan mencapai 13,7%. Kemudian pada tahun 2025 dan 2026 akan berada di kisaran 13,3%. 

Pun dalam jangka menengah, para analis di Morgan Stanley memperkirakan BBCA akan bisa membuat biaya operasional menjadi lebih efisien, terbantu dengan perkembangan teknologi. 

Morgan Stanley pun menetapkan target harga untuk saham BBCA di kisaran Rp 11.741 per saham. 

Baca Juga: Direktur Utama Borong 87 Juta Saham Sarana Mitra Luas (SMIL)

Hati-hati risiko di pasar saham

Bila Morgan Stanley menawarkan cerita mengenai kesempatan bagi pasar saham di Indonesia, Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengingatkan ada beberapa hal yang bisa memengaruhi prospek pasar saham Indonesia ke depan. 

Risiko tersebut datang dari dua sisi, baik itu dalam negeri maupun dari luar negeri. 

Dari sisi eksternal, risiko datang tak lepas dari peristiwa yang terjadi di negara adidaya Amerika Serikat (AS). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuat kebakaran akibat ketidakpastian usai pemilihan umum (pemilu) AS. Menurut Nafan, politik AS masih menjadi hal yang akan menggoyang kondisi pasar saham Indonesia. 

“Harus diingat pada Januari 2024, ada pelantikan Donald Trump. Ini pasti akan memantik reaksi dari pasar, terutama, terkait penerapan kebijakan Trump. Reaksi pasar bisa negatif, seperti pada saat awal November 2024 saat hitung cepat pemilu AS keluar. Pada waktu itu IHSG terkoreksi,” kata Nafan kepada KONTAN, Rabu (13/11). 

Bila Donald Trump menjabat, Nafan membuka kemungkinan perang dagang jilid dua akan terjadi. Terlebih, saat Trump saat kampanye berjanji akan mengenakan tarif impor sebesar 10% terhadap produk dari luar negeri dan 60% terhadap produk dari China. 

Ia juga yakin, kebijakan tarif ini juga akan dibalas oleh China. Tak menutup kemungkinan, negara-negara lain juga. Terganggunya perdagangan dunia akan memantik stagflasi yang juga akan memengaruhi stance kebijakan bank sentral ke depan.

Selain dinamika di AS, apa yang terjadi di China juga dianggap membawa dampak terhadap pasar saham Indonesia. Terlebih, saat China mengeluarkan stimulus jumbo untuk menyelamatkan pertumbuhan ekonomi mereka. 

“Dengan China memberikan stimulus, maka akan terlihat asing akan meninggalkan pasar keuangan Indonesia, termasuk di pasar saham,” tambah Nafan. 

Sedangkan dari dalam negeri, kondisi di eksternal akan memengaruhi nilai tukar rupiah. Ia khawatir rupiah akan melemah. Sehingga, kalau mata uang akan melemah, akan menjadi catatan bagi investor yang akan masuk ke pasar keuangan Indonesia. 

Kondisi ekonomi makro juga menjadi sorotan. Prabowo Subianto pernah menjanjikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 8% yoy. Tentu, perlu upaya ekstra untuk menepati janji tersebut. 

Bila nantinya Indonesia berhasil keluar dari jebakan ekonomi 5% yoy, maka bukan tak mungkin asing akan mendatangi Indonesia.

Baca Juga: TBS Energi Utama (TOBA) Perkuat Bisnis di Singapura dan Indonesia

Nah, sama dengan para analis di Morgan Stanley, Nafan juga cukup menjagokan BBCA. Menurutnya, saat ini BBCA sudah rebound setelah hampir menutup gap, membentuk candle marabozu yang menandakan akan ada pembalikan harga. Nafan pun merekomendasikan untuk buy on weakness pada saham BBCA, dengan target harga pertama di Rp 10.400, target harga kedua di Rp 10.900, dan target harga ketiga Rp 13.100. 

Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro juga mempertahankan rekomendasi buy terhadap saham BBCA. Bila melihat dari kinerja dari sisi penyaluran kredit, BBCA saat ini belum menaikkan suku bunga kredit secara signifikan. 

Sehingga, ini memungkinkan BBCA untuk menghindari penyesuaian bunga yang drastis ketika Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga acuan. Hal tersebut menjadi keunggulan BBCA bila dibandingkan dengan bank lain. 

“Didukung prospek permintaan kredit yang kuat, peningkatan NIM, dan kualitas kredit, kami mempertahankan peringkat buy untuk BBCA dengan target harga 12 bulan ke depan sebesar Rp 11.220,” tutur Satria. 

Baca Juga: Akhirnya Naik Usai Turun dalam Sepekan, Ini Rekomendasi Saham BBRI, BBNI, BMRI & BBCA

Perlu katalis buat mendongkrak

Sementara para analis di Algo Research mengingatkan, untuk pasar saham Indonesia yang lebih kuat ke depan, maka perlu katalis positif tambahan. 

Saat ini sektor yang menggerakkan pasar saham adalah sektor keuangan dan sektor komoditas. Kedua sektor ini memiliki kontribusi lebih dari 60% dari kapitalisasi pasar saham di Indonesia. 

Nah, hingga saat ini kedua sektor tersebut minim katalis pendukung. Untuk sektor perbankan, harga saham-saham banyak dipengaruhi oleh kondisi aliran modal asing, sehingga membuat sentimen global menjadi lebih signifikan bila dibandingkan dengan kinerja fundamentalnya. 

Salah satu isu yang dihadapi oleh sektor perbankan saat ini juga adalah likuiditas yang ketat dan juga kesempatan pertumbuhan kredit. Saat ini yang banyak mengakses kredit adalah korporasi, sedangkan UMKM cukup terbatas. 

Sedangkan untuk sektor komoditas, sangat bergantung dengan kondisi ekonomi di China dan kebijakan yang diambil oleh para konglomerat. 

Meski demikian, para investor tetap bisa mencermati beberapa saham terkait untuk dikoleksi ke depan. 

Menurut Algo Research, komoditas tetap menjadi pilihan terbaik bila inflasi meningkat. Karena, pertumbuhan ekonomI China nampaknya berada pada titik terendah, meskipun tidak ada dukungan kebijakan dan potensi stimulus fiskal AS di bawah kepemimpinan Trump yang bisa memberikan dorongan tambahan. 

Baca Juga: Menanti Jurus Mujarab Pemerintah Mengungkit Daya Beli Masyarakat Kelas Menengah

Namun, komoditas minyak sepertinya menawarkan hal yang berlawanan. Harga minyak diperkirakan akan bertahan di level US$ 70 per barel. Selain itu, produksi shale oil juga diperkirakan akan naik di bawah pemerintahan Trump. 

Namun, ada kemungkinan bahwa deregulasi minyak AS tidak mengarah pada peningkatan produksi, dan sebaliknya Trump yang lebih hawkish secara geopolitik akan menyebabkan penurunan produksi di Timur Tengah, seperti Suriah dan Iran. 

Bila hal ini terwujud, sebenarnya bisa memberikan dorongan bagi harga minyak dan bisa menjadi momentum positif bagi beberapa emiten dalam negeri, seperti RAJA dan ENRG. 

Di sektor perbankan, saham-saham berkapitalisasi besar menawarkan peluang yang manis. Seperti, BMRI, BBRI, dan BBCA. 

Namun, para peneliti di Algo Research mengingatkan kenaikan saham-saham perbankan mungkin terbatas karena aliran dana asing yang masih lemah. Bahkan pada tahun 2025. 

Sedangkan untuk sektor lainnya, para investor bisa mencermati sektor teknologi. Seperti EMTK dan BUKA yang diperkirakan menarik karena ekspektasi aksi korporasi yang akan membuka posisi kas mereka secara signifikan. Walaupun, mungkin perlu waktu untuk terwujud. 

DISCLAIMER ON: Berita ini bukan ajakan untuk membeli atau tidak membeli saham apapun. Segala keputusan investasi menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya. 

Bagikan

Berita Terkait

Berita Terbaru

Momentum Nataru Makin  Mengerek Uang Beredar
| Selasa, 24 Desember 2024 | 11:32 WIB

Momentum Nataru Makin Mengerek Uang Beredar

Bank Indonesia mencatat jumlah uang beredar pada November 2024 mencapai Rp 9.175 triliun, tumbuh 7,0% year on year (yoy).​

Minat Mini Meski Dijanjikan Bunga Tinggi
| Selasa, 24 Desember 2024 | 11:20 WIB

Minat Mini Meski Dijanjikan Bunga Tinggi

Dalam lelang SRBI pada 20 Desember lalu, penawaran yang masuk senilai Rp 23,12 triliun. Bank sentral hanya memenangkan Rp 10 triliun. 

Gelembung Protes PPN 12% Membesar
| Selasa, 24 Desember 2024 | 11:11 WIB

Gelembung Protes PPN 12% Membesar

Protes semakin meluas dan datang dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa hingga pemengaruh (influencer)

Kantong Masyarakat Bakal Cekak
| Selasa, 24 Desember 2024 | 11:01 WIB

Kantong Masyarakat Bakal Cekak

Sejumlah kebijakan pajak maupun non pajak diperkirakan akan menekan daya beli terutama masyarakat kelas menengah

Banyak Tantangan, Ancol Geber Pendapatan di Liburan Natal dan Tahun Baru
| Selasa, 24 Desember 2024 | 10:32 WIB

Banyak Tantangan, Ancol Geber Pendapatan di Liburan Natal dan Tahun Baru

PJAA menghadapi banyak tantangan di industri pariwisata. Terlihat dari kinerja yang tidak sebaik sebelumnya. 

Mencermati Tiga Fase Perencanaan Keuangan Bagi Orang Dewasa
| Selasa, 24 Desember 2024 | 09:48 WIB

Mencermati Tiga Fase Perencanaan Keuangan Bagi Orang Dewasa

Ada tiga fase yang dihadapi orang dewasa. Ketiganya yaitu fase akumulasi, fase konsolidasi dan fase pensiun.

Emiten Saham EBT Menggeber Ekspansi
| Selasa, 24 Desember 2024 | 08:16 WIB

Emiten Saham EBT Menggeber Ekspansi

Perusahaan di bidang industri energi baru dan terbarukan (EBT) berlomba menangkap peluang dari misi transisi energi

Masih Ada Kado Dividen Akhir Tahun
| Selasa, 24 Desember 2024 | 08:13 WIB

Masih Ada Kado Dividen Akhir Tahun

Menjelang pergantian tahun, pelaku pasar masih bisa memburu cuan dari emiten yang menebar dividen interim ataupun saham bonus. 

KSEI Bidik Dua Juta Investor Baru di 2025
| Selasa, 24 Desember 2024 | 08:08 WIB

KSEI Bidik Dua Juta Investor Baru di 2025

Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) membidik pertumbuhan investor pasar modal sebanyak 2 juta SID pada tahun 2025. 

Saham Berkapitalisasi Jumbo Tak Selalu Memberikan Cuan Yang Besar
| Selasa, 24 Desember 2024 | 07:17 WIB

Saham Berkapitalisasi Jumbo Tak Selalu Memberikan Cuan Yang Besar

Dari 30 saham berkapitalisasi besar, ada beberapa emiten yang memberikan hasil negatif dalam tiga tahun. 

INDEKS BERITA

Terpopuler