Ogah Tumbang, Berikut Siasat Pengusaha Outdoor Merebut Peluang


KONTAN.CO.ID -  Mula-mula pelaku industri penuh harap tahun 2020 menjadi tahun ekspansi. Harapan ini juga jadi idaman pelaku industri peralatan dan perlengkapan alam bebas atau outdoor. Di atas kertas lembaga riset Statista memproyeksikan, bisnis peralatan outdoor berpeluang tumbuh dobel digit tahun ini. Namun sayang, jauh panggang dari api. Proyeksi itu buyar ketika pandemi corona virus disease (Covid-19) datang melanda.

Alhasil, sejumlah rencana bisnis yang diidamkan kandas. Mimpi mendapat untung besar langsung pupus karena saluran distribusi penjualan tutup akibat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Dus, aktivitas outdoor juga dibatasi, sehingga konsumen peralatan outdoor tak bisa beraktivitas. "Lumpuhnya aktivitas outdoor awal pandemi berdampak ke penjualan kami," kata Dyson Toba, Chief Executive Officer (CEO) Consina.

Berkurangnya aktivitas alam bebas ketika PSBB berlaku berpengaruh langsung pada pendapatan bisnis peralatan outdoor ini. Konsumen lebih banyak di rumah dan menahan diri membeli peralatan outdoor. Awal-awal pandemi penjualan kami sempat drop dan tinggal 15%, kata Paidjan Andriyanto, pemilik merek Alpina Outdoor Sport Equipment.

Ini Artikel Spesial

Segera berlangganan sekarang untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap.

ATAU

Tak jauh berbeda dengan Alpina, penjualan produk peralatan outdoor merek Avtech juga terjun bebas dan tinggal 20% saja di awal pandemi.

Penurunan penjualan juga menimpa Eiger. "Sama halnya dengan perusahaan kebanyakan di luar sana, selama pandemi penjualan ritel (offline) mengalami penurunan sejak Maret 2020," kata Harimula Muharam. General Manager Eiger.

Namun tren penurunan penjualan tersebut berhenti, dan perlahan mulai naik lagi ketika memasuki bulan Ramadan dan Lebaran. Dari Mei ke Juni terjadi kenaikan penjualan untuk kategori equipment hampir 3 x lipat. Artinya kami melihat di bulan tersebut konsumen mencari produk yang dibutuhkan untuk kegiatan outdoor, salah satunya tenda, kata Harimula.

Selain tenda, kebutuhan dan peralatan outdoor yang laris saat itu adalah peralatan yang digunakan untuk camping seperti; sleeping bag, tongkat hiking, sepatu, peralatan masak dan peralatan untuk kegiatan outdoor lainnya.

Permintaan produk tersebut naik seiring naiknya aktivitas publik yang melakukan kegiatan camping, hiking dan trekking. "Untuk tongkat hiking dan tenda di tempat kami kosong, kata Dyson Toba, pendiri dan Chief Executive Officer (CEO) Consina.

Namun demikian Dyson menjelaskan, kenaikan penjualan produk outdoor saat pandemi itu hanya terjadi untuk beberapa kategori produk saja, seperti produk dikategori hiking, camping dan trekking. "Secara umum penjualannya masihturun, contoh penjualan tas carrier untuk naik gunung turun dan tak sebanyak tahun lalu," kata Dyson.

Tren pasar berubah

Pandemi Covid-19 ternyata mengubah ekosistem bisnis peralatan outdoor, mulai dari proses produksi sampai distribusi dan pemasaran. Jika dulu pemilik merek memproduksi produk secara rutin dan berkala, pasca Covid-19 produksi dibatasi dan dikurangi. Pemilik merek hanya memproduksi produk yang sesuai kebutuhan pasar saja. Sehingga tak semua produk laris tahun lalu, diproduksi lagi tahun ini.

Cara ini dilakukan Alpina di Bandung. Beberapa produksi andalan Alpina seperti aneka tas, celana dikurangi karena segmen pasarnya yang merupakan mahasiswa dan siswa sudah berkurang jauh. Pasar terbesar kami mahasiswa dan siswa, sekarang sudah tak belanja, jelas Yanto.

Dari sisi distribusi juga sama, PSBB berdampak pada penutupan operasional toko-toko peralatan outdoor. Sehingga, Alpina juga mengubah strategi distribusinya. Jika sebelumnya mereka mengirimkan produk ke agen dan distributor secara rutin dengan waktu tempo pembayaran, namun semenjak PSBB berlaku, aktivitas tersebut mulai dibatasi.

Sekarang pengiriman untuk konsumen kami lakukan semua dari Bandung. Jika agen mau pesan, harus bayar dulu di depan, kata Yanto.

Sembari itu, Yanto juga mulai meningkatkan kinerja tim marketing digital agar penjualan melalui saluran online bisa meningkat. Hasilnya memang berbuah manis, namun tak bisa menutup penurunan penjualan secara keseluruhan. "Sekarang penjualan kami naik dari 15% menjadi 20% dari rata-rata penjualan tahun lalu," katanya.

Kondisi yang hampir sama juga diceritakan oleh Yudi Kurniawan, Pendiri dan Direktur Avtech. Yudi bilang, penjualan online Avtech naik tiga kali lipat saat pandemi. Kenaikan penjualan online itu membantu Avtech untuk bertahan dan mencegah penurunan penjualan lebih dalam lagi. "Penjualan kami awal pandemi tinggal 20%, sekarang perlahan naik menjadi 50%" kata Yudi.

Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi di Consina yang menggenjot penjualan secara online. Dyson menyebutkan, PSBB membuat jaringan distribusi mereka tutup, sehingga alternatif penjualan adalah online. "Realisasinya, penjualan online kami naik 2,5% saat pandemi," kata Dyson.

Meski naik, namun secara keseluruhan penjualan peralatan outdoor Consina tetap turun. Ini terjadi karena segmen pasar Consina adalah kalangan menengah yang suka beriwisata dan juga kerap jalan-jalan dan naik gunung. Selama pandemi, wisata lumpuh dan banyak gunung tutup, kata Dyson.

Nah, perubahan pola bisnis pasca Covid-19 ini mau tak mau membuat pelaku bisnis ikut mengubah pola bisnisnya. Alhasil, sejumlah pelaku bisnis peralatan outdoor mulai mengikuti kebutuhan pasar tersebut. Consina misalnya, belakangan ini mulai fokus memproduksi aksesori sepeda seperti baju, sepatu dan celana untuk kegiatan bersepeda.

Terobosan menciptakan produk baru dilakukan agar bisnis peralatan outdoor bisa tetap berjalan. Selain itu, pekerja yang memproduksi peralatan outdoor juga bisa kembali bekerja. "Kami memang sempat menghentikan produksi di awal pandemi, tetapi karena ada peluang kami berusaha produksi lagi," jelas Dyson.

Meski produksi tak sebanyak sebelumnya, namun setidaknya bisnis mereka masih bisa berputar untuk menghidupi karyawan. Penjualan peralatan dan aksesori untuk bersepeda juga digarap pemain lainnya seperti Avtech dan Eiger. Keduanya juga mencatat tren kenaikan penjualan untuk kebutuhan aksesori bersepeda.

Dyson menuturkan, aktivitas olaharaga bersepeda naik daun saat Covid-19 karena bersepeda adalah salah satu olahraga yang bisa mengatur jarak. Selain itu, kegiatan outdoor yang banyak dilakukan saat Covid-19 adalah hiking, trekking dan camping . "Di alam bebas kita bisa atur jarak lebih dari 1 meter, sehingga banyak orang yang bosan di rumah mulai mencari aktivitas di alam bebas," kata Dyson.

Meski jumlah penggemar hiking, trekking dan camping bertambah, namun penambahannya tidak signifikan untuk menggenjot penjualan peralatan outdoor secara keseluruhan. Sebab, penambahan pelaku yang menyukai aktivitas olahraga di luar ruang itu hanya bersifat sementara sehingga tidak jadi kegiatan rutin. "Mereka yang ikut hiking tersebut tentu tidak melakukannya setiap minggu," jelas Yudi.

Melihat kondisi pasar saat ini, Yudi mengambil strategi bertahan dan fokus memasarkan produk mereka yang sudah ada. Yudi juga tidak tertarik mencari peluang bisnis baru termasuk peluang untuk memproduksi produk alat pelindung diri (APD) yang banyak dilakukan kompetitornya. Memang ada peluang kami bikin APD, tetapi itu sifatnya temporer saja," jelasnya.

Karena memilih strategi bertahan, Avtech juga menunda sejumlah rencana ekspansi. Salah satunya rencana mereka menyelenggarakan event kompetisi nasional Avtech Challenger. "Acara kami tunda sampai tahun depan, termasuk peluncuran lima produk baru," tambah Yudi.

Berbeda dengan Alpina, Eiger dan Consina yang berusaha cari cuan saat Covid-19. Mereka juga memproduksi APD seperti masker dan baju hazmat. Namun, proyek untuk kebutuhan kesehatan manusia itu tak terlalu menggembirakan secara bisnis karena temporer. "Consina juga bikin, cuma tergantung permintaan saja," kata Dyson

Berbeda dengan Eiger yang secara serius memproduksi APD dengan mengalokasikan 50% kapasitas produksi untuk membuat masker dan baju hazmat. Meski sempat ekspor masker ke Belgia, namun Eiger memilih fokus untuk pasar domestik.

Di antara beragam produk APD dari Eiger, ada yang khusus untuk non medis. Sehingga APD tersebut tak terlihat seperti baju hazmat alias lebih mirip jaket saja. "Dari segi desain, kami buat se-kasual mungkin, hingga konsumen dapat menggunakan dalam kegiatan apapun," kata Harimula.

Adapun Alpina juga memproduksi masker dan baju hazmat. Namun, Yanto menyebutkan, pihaknya lebih banyak memasarkan baju hazmat itu untuk kebutuhan klinik kecil dan dokter-dokter yang membuka praktik dokter pribadi. "Kalau pasokan APD ke rumah sakit sudah difasilitasi oleh pemerintah," terang Yanto.

Editor: Asnil Amri