KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera berlalu. Pada tanggal 20 Oktober nanti, Jokowi akan menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Lebih dari 280 juta penduduk negeri ini berharap Prabowo membawa perbaikan signifikan dalam banyak bidang.
Aneka program era Presiden Jokowi bisa jadi kendaraan awal. Yang nyata adalah konektivitas pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan hingga jalan tol membentang. Pemanfaatan jalan-jalan ini harus didorong dengan peningkatan manfaat ekonomi bagi daerah-daerah yang dilintasi proyek tersebut.
Sepuluh tahun pemerintahan Jokowi meninggalkan banyak jejak. Proyek infrastruktur lain, seperti bendungan, jaringan irigasi, bandara, jalan kereta api, LRT, MRT hingga proyek Ibukota Baru Nusantara (IKN) tak bisa diabaikan, meski ada suara sumbang atas anggaran proyek yang bengkak dan jadi beban.
Namun, tanpa optimalisasi manfaat, kerugian lebih besar menghantam.
Masih banyak pekerjaan rumah pemerintah baru untuk bisa melanjutkan program Jokowi. Apalagi, presiden terpilih Prabowo juga memiliki program utama yang diharapkan menjadi quick win.
Salah satunya: makan bergizi gratis (MBG) untuk peserta didik pada seluruh jenjang pendidikan, dari prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, baik umum maupun keagamaan. Lalu, ada program renovasi sekolah dan lumbung pangan nasional, daerah, dan desa.
Di tengah target program yang jadi quick win, pemerintah baru dihadapkan pada kenyataan ruang fiskal nan sempit untuk mendorong geliat ekonomi.
Undang-Undang APBN 2025 menjadi pijakan pertama bagi pemerintah Prabowo sulit membesar dengan aneka tantangan. Konflik geopolitik, lesunya ekonomi global serta era inflasi dan bunga tinggi masih menjadi tantangan.
Bertumpu dari dalam negeri memang jadi jawaban. Namun ruang Prabowo sempit. Defisit anggaran 2025 direncanakan Rp 616,18 triliun atau 2,53% terhadap PDB. Dengan pendapatan negara Rp 3.005,1 triliun, belanja negara hanya akan Rp 3.621,3 triliun. Itupun lebih banyak untuk belanja pegawai.
Mengamankan konsumsi dan daya beli adalah keharusan. Tapi kalangan menengah menghadapi himpitan dan jumlahnya menurun. Menarik investasi jadi pilihan. Pekerjaan beratnya: korupsi, birokrasi dan konsistensi regulasi yang berakibat biaya tinggi. Ini yang harus diselesaikan.