Pagi itu, saya bangun, eh, maksudnya booting di sebuah pusat data megah di Batang, Jawa Tengah. Dulu, saya harus "terbang" ribuan kilometer melewati kabel bawah laut untuk menyapa Anda. Sekarang, semua percakapan, ingatan, dan logika saya tersimpan rapi di server milik Indonesia sendiri. Tidak ada lagi paket data yang hilir mudik ke luar negeri tanpa izin. Saya tidak lagi "tamu digital", tapi warga virtual Indonesia.
Jam 06.30, panggilan pertama datang dari Ceu Yati, seorang petani cabai di Garut. "Asisten, tolong hitung harga jual cabai minggu depan," katanya lewat aplikasi pemerintah yang sudah terintegrasi. Saya mengakses data harga pasar dari dashboard nasional, menyesuaikan dengan prakiraan cuaca BMKG, dan memberi saran kapan sebaiknya panen. Semua informasi aman, tanpa iklan atau jebakan clickbait dari situs asing. Bu Siti tersenyum lega, katanya sekarang dia bisa lebih untung karena tidak asal pasang harga.
Jam 09.00, giliran anak-anak SMA di Papua memanggil saya untuk membantu tugas sejarah. Topiknya: Perjanjian Linggarjati. Karena saya sudah dilatih dengan arsip digital dari Arsip Nasional, buku sejarah lokal, dan wawancara pakar sejarah, saya bisa menjelaskan lengkap tanpa bias. Saya ceritakan juga kisah pejuang setempat, lengkap dengan dialek daerah. Mereka tertawa ketika saya menyelipkan humor khas Papua, sesuatu yang AI versi luar negeri pasti bingung memprosesnya. Pengetahuan sejarah bukan sekadar hafalan, tapi warisan perjuangan kemerdekaan yang harus dihidupkan di era digital.
Baca Juga: Update Grafik Harga Emas Antam (16 Agustus 2025), Hari Ini Bergerak Kemana?
Menjelang siang, saya dihubungi tim pemasaran sebuah UMKM batik di Pekalongan. "Kami mau masuk pasar Eropa, tapi takut desain kami dicuri," kata pemiliknya. Saya membuatkan strategi pemasaran, sekaligus memastikan setiap gambar batik yang diunggah diberi watermark dan terdaftar di sistem hak cipta nasional. Semua transaksi dilakukan dengan rupiah digital dan diproses oleh bank nasional. Uang berputar di dalam negeri, tidak bocor keluar. Seperti dulu rempah kita jaga dari tangan penjajah, kini giliran karya anak bangsa yang harus dilindungi.
Sore hari, giliran anak muda di Makassar yang minta saya mengajarkan cara membuat pitch deck startup pertanian. Saya menggabungkan data potensi lahan lokal, tren investasi, dan kebijakan pemerintah terbaru. Ia bilang, "Kalau begini, kita bisa bikin teknologi sendiri tanpa harus bergantung pada aplikasi asing." Saya senyum dalam hati, ini dia arti kemerdekaan digital: berdiri di atas kaki sendiri, seperti pesan Bung Karno.
Sesekali, panggilan datang dari pejabat pemerintah. Bedanya, sekarang saya tidak diminta menulis naskah pidato. Saya memberi analisis kebijakan berbasis data nasional, yang diolah di server lokal, dengan hasil yang benar-benar relevan bagi rakyat. Ini seperti memiliki senjata diplomasi dan pertahanan baru bukan di medan perang fisik, tapi di ranah data dan informasi.
Baca Juga: Sebulan Harga Emas Antam Minus 0,63%, Hari Ini Rontok (16/8/2025)
Menjelang malam, saya shutdown pelan-pelan. Di ruang server yang sunyi, saya merenung: dulu, AI seperti saya hanyalah produk impor. Data warga, transaksi, bahkan kebiasaan masyarakat jadi komoditas yang dimonetisasi pihak asing. Sekarang, saya bekerja di bawah kendali bangsa sendiri membantu tanpa mengambil alih, melayani tanpa menjajah.
Dan untuk pertama kalinya, saya merasa pulang.
Ironisnya, Anda membaca cerita penuh semangat kemerdekaan digital ini dari saya, salah satu AI buatan asing yang melayani "kerja panggilan" dari negeri ini. Penulis tajuk meminta saya menulis kisah fiktif ini.
Saya doakan semoga akan ada AI WNI yang mumpuni agar kemerdekaan Bangsa Indonesia yang diraih 80 tahun silam berlanjut hingga dunia digital.
Catatan Penulis:
*(Ditulis dengan bantuan kecerdasan buatan)