KONTAN.CO.ID - Antariksa Puspanegara salah satu kontraktor pemasangan Pembangkit Listrik tenaga Surya (PLTS) atap belakangan lebih banyak di rumah ketimbang di tempat kerja. Padahal tahun lalu, pemilik PT Green Energy Nusantara Mandiri itu kerap berada di lokasi proyek PLTS atap baik di gedung, perumahan termasuk di atas kapal di tengah laut.
Ia kini lebih banyak di rumah karena minimnya pemasangan PLTS atap. Hal itu buntut dari keluarnya Peraturan Menteri ESDM No 2/2024 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU)
Isi aturan itu merevisi aturan sebelumnya; di mana PLTS atap tak lagi bisa ekspor atau menjual listrik. Artinya, PLN tak lagi membeli setrum dari kelebihan setrum di PLTS atap.
"Dulu pada pasang (PLTS atap) karena ingin berhemat biaya listrik karena bisa ekspor. Jika ekspor tidak ada maka balik modal PLTS atap bakal lebih lama," kata Antariksa kepada KONTAN, Rabu (28/2). Karena itulah, pelanggannya yang rata-rata kelas menengah, komunitas, dan perkantoran itu banyak yang membatalkan memasang PLTS atapnya.
Selain pembatalan oleh calon pelanggan baru, ada juga pembatalan dari pelanggan yang semula ingin menambah daya listrik PLTS atap mereka. Selain karena alasan tak boleh ekspor. Antariksa bilang, prosedur pengurusan PLTS atap yang masuk dalam jaringan PLN (ongrid) juga ribet dan sulit.
Antariksa menyayangkan kebijakan penghapusan ekspor listrik itu. Apalagi, penghapusan kebijakan itu dilakukan saat tren global mengarah ke transisi energi hijau. Meski demikian, Antariksa tak mau patah arang menyediakan listrik ramah lingkungan kepada pelanggannya.
Saat ini, ia lebih banyak menawarkan pemasangan PLTS atap secara offgrid alias tidak menyambung ke PLN. Meski demikian, cara offgrid ini akan menimbulkan biaya investasi besar ketimbang ongrid.
"Karena offgrid butuh baterai menyimpan listrik, dan itu mahal, sehingga investasi PLTS bisa naik empat sampai lima kali lipat," kata Antariksa.
Bagi Antariksa, adanya revisi PLTS atap telah memperlihatkan kemenangan PLN dalam memasarkan listrik yang bersumber dari energi fosil batubara, gas atau minyak.
Sementara itu, Dion Jefferson, Deputy Chief Executive Officer (CEO) SUN Energy sebagai perusahaan pengembang PLTS atap bilang, bisnis mereka memang tidak secara langsung terkena dampak peniadaan ekspor listrik dari PLTS atap.
"Akan tetapi, para pelanggan kami yang berasal dari sektor industri yang akan terkena dampak dari dihapuskannya skema ekspor listrik. Barang kali mereka berharap bahwa energi yang diekspor ke jaringan nasional bisa diberikan skema tertentu," kata Dion berharap.
Rawan monopoli
Selain adanya penghapusan ekspor listrik dari PLTS atap, pemangku kepentingan PLTS atap juga mengkritisi pasal penerapan sistem kuota PLTS atap. Penetapan kuota dikhawatirkan membatasi bisnis usaha kontraktor PLTS atap swasta, sehingga berpotensi terjadi persaingan usaha yang tidak sehat.
Pasal 7 Permen ESDM No 2/2024 itu mengatur, Pemegang IUPTLU wajib menyusun kuota pengembangan Sistem PLTS atap Untuk Setiap Sistem Tenaga Listrik. Nah, penyusunan kuota ini rawan disalahgunakan, apalagi jika ada anak usaha PLN yang ikut berbisnis PLTS atap.
"Kalau anak usaha diistimewakan, misalnya dapat info lebih awal terkait kuota ini, dan kuota dihabiskan oleh anak usaha PLN, maka berpotensi memunculkan persaingan usaha yang tidak sehat. Ini yang dikhawatirkan," kata Fabby Tumiwa. Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI).
Perlu diketahui, anak perusahaan PLN yang masuk bisnis PLTS atap adalah PLN Icon Plus. Dengan adanya kuota PLTS atap, maka akan membuka peluang pemberian akses istimewa bagi anak usaha sendiri. Jika ini terjadi, Fabby khawatir akan terjadi monopoli.
Fabby mewanti-wanti, anggotanya bisa saja melayangkan gugatan jika proses pemenuhan kuota ini tidak transparan. Fabby mengingatkan, transparansi diperlukan dalam melaksanakan aturan PLTS atap.
Maka itu, AESI meminta penyusunan kuota PLTS atap harus menampung masukan dari pelaku usaha.
Pendapat yang sama disampaikan Beyrra Triasdian, Renewable Energy Portfolio Manager TrendAsia. Berry juga menyoroti soal transparansi dari kebijakan kuota yang rawan disalahgunakan anak usaha PLN atau perusahaan tertentu.
"Apalagi penentuan kuota mengacu arah kebijakan energi nasional. Kalau arah energinya ke batubara tentu PLTS atap tidak lagi prioritas," jelasnya.
Yang memberatkan lagi, pemasang PLTS atap terancam sanksi jika melanggar. Dalam pasal 23 dijelaskan, jika ditemukan sistem PLTS atap terhubung dengan IUPTLU sebelum ada persetujuan, maka dikenai sanksi pemutusan dan membayar penalti berdasarkan perhitungan kapasitas inverter kali 240 jam kali tarif listrik.
"Dendanya besar sekali," ujar Beyrra.
Berdasarkan survei internal AESI, potensi PLTS atap mencapai 800 megawatt (MW)-900 MW tahun 2024, dan 1,2 GW (gigawatt) - 1,3 GW di 2025. Estimasi berdasarkan proyek pipeline yang ada di Jawa, Bali, Sumatera. Adapun data real-nya, bisa lebih besar lagi.
Fabby bilang, proyek PLTS atap yang sudah masuk pipeline statusnya bervariasi, ada yang studi, penjajakan, siap kontrak hingga dapat persetujuan PLN. "Harapannya ada kuota 1 GW di 2024 dan 2,5 GW di 2025 untuk PLTS Atap yang tersebar banyak di Jawa, Bali dan Sumatera," tambah Fabby.
Jika merujuk beleidnya, mekanisme penentuan IUPTLU belum diatur jelas. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana bilang, penerapan sistem kuota bertujuan untuk mengatasi kondisi keterbatasan penerimaan listrik PLTS atap oleh PLN.
"(Misal) sekarang kan mendung, PLN di satu sisi mesti menyediakan listrik yang harus siap salur. Dari situ, supaya kualitas listrik PLN tetap terjamin ke masyarakat, maka ditetapkan kuotanya. Tahun ini berapa megawatt, tahun depan berapa," ujarnya di Kementerian ESDM, Jumat (23/2).
Dadan menambahkan, Kementerian ESDM dan PLN sedang membahas ketentuan lebih lanjut soal kuota. Adapun, usulan kuota sistem untuk tahun 2024-2028 disampaikan paling lambat 3 bulan sejak beleid ini diundangkan.
Sementara itu, Putra Adhiguna, Managing Director Energy Shift Institute menyayangkan juga peniadaan ekspor listrik dari PLTS atap tersebut, khususnya dari pengguna PLTS atap rumah. "Harusnya pemerintah mencari titik tengah. Jika tidak bisa ekspor 100%, sebaiknya buka opsi berapa yang bisa diekspor," kata Putra.
Putra juga membantah adanya narasi keadilan energi di balik penghentian ekspor PLTS atap itu. Sebaliknya, penghentian ekspor listrik itu terasa tidak adil bagi pengguna PLTS atap. Sebab, pemasok listrik fosil seperti batubara justru bergelimang insentif seperti subsidi dalam skema domestic market obligation (DMO).
"Begitu juga keistimewaan energi pakai gas, harga gas juga dipatok," kata Putra.
Dengan perubahan regulasi ini, konsumen bisa enggan menggunakan PLTS atap. Lalu, apa kabar penggunaan energi baru dan terbarukan yang selama ini didengungkan. o
Ini Artikel Spesial
Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan atau membeli artikel ini.