Setrum PLTS Atap Tak Lagi Menyengat Saat Insentif Ekspor Listrik Dicabut

Minggu, 03 Maret 2024 | 05:05 WIB
Setrum PLTS Atap Tak Lagi Menyengat Saat Insentif Ekspor Listrik Dicabut
[ILUSTRASI. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di atap fasilitas batubara PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG).]
Reporter: Arfyana Citra Rahayu, Asnil Bambani Amri | Editor: Asnil Amri

KONTAN.CO.ID - Antariksa Puspanegara salah satu kontraktor pemasangan Pembangkit Listrik tenaga Surya (PLTS) atap belakangan lebih banyak di rumah ketimbang di tempat kerja. Padahal tahun lalu, pemilik PT Green Energy Nusantara Mandiri itu kerap berada di lokasi proyek PLTS atap baik di gedung, perumahan termasuk di atas kapal di tengah laut.

Ia kini lebih banyak di rumah karena minimnya pemasangan PLTS atap. Hal itu buntut dari keluarnya Peraturan Menteri ESDM No 2/2024 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) 
 
Isi aturan itu merevisi aturan sebelumnya; di mana PLTS atap tak lagi bisa ekspor atau menjual listrik. Artinya, PLN tak lagi membeli setrum dari kelebihan setrum di PLTS atap.
"Dulu pada pasang (PLTS atap) karena ingin berhemat biaya listrik karena bisa ekspor. Jika ekspor tidak ada maka balik modal PLTS atap bakal lebih lama," kata Antariksa kepada KONTAN, Rabu (28/2). Karena itulah, pelanggannya yang rata-rata kelas menengah, komunitas, dan perkantoran itu banyak yang membatalkan memasang PLTS atapnya.
 
Selain pembatalan oleh calon pelanggan baru, ada juga pembatalan dari pelanggan yang semula ingin menambah daya listrik PLTS atap mereka. Selain karena alasan tak boleh ekspor. Antariksa bilang, prosedur pengurusan PLTS atap yang masuk dalam jaringan PLN (ongrid) juga ribet dan sulit. 
 
Antariksa  menyayangkan kebijakan penghapusan ekspor listrik itu. Apalagi, penghapusan kebijakan itu dilakukan saat tren global mengarah ke transisi energi hijau. Meski demikian, Antariksa tak mau patah arang menyediakan listrik ramah lingkungan kepada pelanggannya. 
 
Saat ini, ia lebih banyak menawarkan pemasangan PLTS atap secara offgrid alias tidak menyambung ke PLN. Meski demikian, cara offgrid ini akan menimbulkan biaya investasi besar ketimbang ongrid. 
 
"Karena offgrid butuh baterai menyimpan listrik, dan itu mahal, sehingga investasi PLTS bisa naik empat sampai lima kali lipat," kata Antariksa.
Bagi Antariksa, adanya revisi PLTS atap telah memperlihatkan kemenangan PLN dalam memasarkan listrik yang bersumber dari energi fosil batubara, gas atau minyak. 
 
Sementara itu, Dion Jefferson, Deputy Chief Executive Officer (CEO) SUN Energy sebagai perusahaan pengembang PLTS atap bilang, bisnis mereka memang tidak secara langsung terkena dampak  peniadaan ekspor listrik dari PLTS atap. 
 
"Akan tetapi, para pelanggan kami yang berasal dari sektor industri yang akan terkena dampak dari dihapuskannya skema ekspor listrik. Barang kali mereka berharap bahwa energi yang diekspor ke jaringan nasional bisa diberikan skema tertentu," kata Dion berharap.
Rawan monopoli
 
Selain adanya penghapusan ekspor listrik dari PLTS atap, pemangku kepentingan PLTS atap juga mengkritisi pasal penerapan sistem kuota PLTS atap. Penetapan kuota dikhawatirkan membatasi bisnis usaha kontraktor PLTS atap swasta, sehingga berpotensi terjadi persaingan usaha yang tidak sehat.
 
Pasal 7 Permen ESDM No 2/2024 itu mengatur, Pemegang IUPTLU wajib menyusun kuota pengembangan Sistem PLTS atap Untuk Setiap Sistem Tenaga Listrik. Nah, penyusunan kuota ini rawan disalahgunakan, apalagi jika ada anak usaha PLN yang ikut berbisnis PLTS atap. 
 
"Kalau anak usaha diistimewakan, misalnya dapat info lebih awal terkait kuota ini, dan kuota dihabiskan oleh anak usaha PLN, maka berpotensi memunculkan persaingan usaha yang tidak sehat. Ini yang dikhawatirkan," kata Fabby Tumiwa. Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI).
 
Perlu diketahui, anak perusahaan PLN yang masuk bisnis PLTS atap adalah PLN Icon Plus. Dengan adanya kuota PLTS atap, maka akan membuka peluang pemberian akses istimewa bagi anak usaha sendiri. Jika ini terjadi, Fabby khawatir akan terjadi monopoli.
 
Fabby mewanti-wanti, anggotanya bisa saja melayangkan gugatan jika proses pemenuhan kuota ini tidak transparan. Fabby mengingatkan, transparansi diperlukan dalam melaksanakan aturan PLTS atap. 
 
Maka itu, AESI meminta penyusunan kuota PLTS atap harus menampung masukan dari pelaku usaha. 
Pendapat yang sama  disampaikan Beyrra Triasdian, Renewable Energy Portfolio Manager TrendAsia. Berry juga menyoroti soal transparansi dari kebijakan kuota yang rawan disalahgunakan anak usaha PLN atau perusahaan tertentu. 
 
"Apalagi penentuan kuota mengacu arah kebijakan energi nasional. Kalau arah energinya ke batubara tentu PLTS atap tidak lagi prioritas," jelasnya. 
Yang memberatkan lagi, pemasang PLTS atap terancam sanksi jika melanggar. Dalam pasal 23 dijelaskan, jika ditemukan sistem PLTS atap terhubung dengan IUPTLU sebelum ada persetujuan, maka dikenai sanksi pemutusan dan membayar penalti berdasarkan perhitungan kapasitas inverter  kali 240 jam kali  tarif listrik. 
"Dendanya besar sekali," ujar Beyrra.
 
Berdasarkan survei internal AESI, potensi PLTS atap mencapai 800 megawatt (MW)-900 MW tahun 2024, dan 1,2 GW (gigawatt) - 1,3 GW di 2025. Estimasi berdasarkan proyek pipeline yang ada di Jawa, Bali, Sumatera. Adapun data real-nya, bisa lebih besar lagi. 
 
Fabby bilang, proyek PLTS atap yang sudah masuk pipeline statusnya bervariasi, ada yang studi, penjajakan, siap kontrak hingga dapat persetujuan PLN. "Harapannya ada kuota 1 GW di 2024 dan 2,5 GW di 2025 untuk PLTS Atap yang tersebar banyak di Jawa, Bali dan Sumatera," tambah Fabby.
 
Jika merujuk beleidnya, mekanisme penentuan IUPTLU belum diatur jelas. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana bilang, penerapan sistem kuota bertujuan untuk mengatasi kondisi keterbatasan penerimaan listrik PLTS atap oleh PLN.
 
"(Misal) sekarang kan mendung, PLN di satu sisi mesti menyediakan listrik yang harus siap salur. Dari situ, supaya  kualitas listrik PLN tetap terjamin ke masyarakat, maka ditetapkan kuotanya. Tahun ini berapa megawatt, tahun depan berapa," ujarnya di Kementerian ESDM, Jumat (23/2). 
 
Dadan menambahkan, Kementerian ESDM dan PLN sedang membahas ketentuan lebih lanjut soal kuota. Adapun, usulan kuota sistem untuk tahun 2024-2028 disampaikan paling lambat 3 bulan sejak beleid ini diundangkan.
 
Sementara itu, Putra Adhiguna, Managing Director Energy Shift Institute menyayangkan juga peniadaan ekspor listrik dari PLTS atap tersebut, khususnya dari pengguna PLTS atap rumah. "Harusnya pemerintah mencari titik tengah. Jika tidak bisa ekspor 100%, sebaiknya buka opsi berapa yang bisa diekspor," kata Putra. 
 
Putra juga membantah adanya narasi keadilan energi di balik penghentian ekspor PLTS atap itu. Sebaliknya, penghentian ekspor listrik itu terasa tidak adil bagi pengguna PLTS atap. Sebab, pemasok listrik fosil seperti batubara justru bergelimang insentif seperti subsidi dalam skema domestic market obligation (DMO). 
 
"Begitu juga keistimewaan energi pakai gas, harga gas juga dipatok," kata Putra.
Dengan perubahan regulasi ini, konsumen bisa enggan menggunakan PLTS atap. Lalu, apa kabar penggunaan energi baru dan terbarukan yang selama ini didengungkan. o

Ini Artikel Spesial

Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan atau membeli artikel ini.

Berlangganan

Hanya dengan 20rb/bulan Anda bisa mendapatkan berita serta analisis ekonomi bisnis dan investasi pilihan

-
Kontan Digital Premium Access

Business Insight, Epaper Harian + Tabloid, Arsip Epaper 30 Hari

Rp 120.000
Berlangganan dengan Google

Gratis uji coba 7 hari pertama. Anda dapat menggunakan akun Google sebagai metode pembayaran.

Bagikan

Berita Terbaru

Pungutan Ekspor Sawit Turun dari Target Awal
| Jumat, 22 November 2024 | 09:50 WIB

Pungutan Ekspor Sawit Turun dari Target Awal

Tahun ini BPDPKS menargetkan setoran pungutan ekspor sawit sebesar Rp 24 triliun, turun dari target awal

Rencana PPN Naik Menuai Petisi Penolakan
| Jumat, 22 November 2024 | 09:32 WIB

Rencana PPN Naik Menuai Petisi Penolakan

Ribuan masyarakat Indonesia menandatangani petisi yang menolak rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% tersebut

Tax Amnesty Bisa Gagal Tarik Dana
| Jumat, 22 November 2024 | 09:14 WIB

Tax Amnesty Bisa Gagal Tarik Dana

Menurut Direktur Eksekutif Indef Eko Listiyanto, tax amnesty tidak bisa diterapkan terus-menerus dalam waktu singkat

Cuan Tinggi Saham Pendatang Baru
| Jumat, 22 November 2024 | 09:12 WIB

Cuan Tinggi Saham Pendatang Baru

Kendati harga saham pendatang baru sudah naik tinggi hingga ratusan persen, waspadai pembalikan arah

Upaya Dorong Ekonomi Akan Memperlebar CAD
| Jumat, 22 November 2024 | 08:58 WIB

Upaya Dorong Ekonomi Akan Memperlebar CAD

Bank Indonesia memperkirakan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) sepanjang tahun 2024 bisa melebar jadi 0,9% PDB

WTON Memangkas Target Nilai Kontrak Baru Jadi Rp 6 Triliun
| Jumat, 22 November 2024 | 08:52 WIB

WTON Memangkas Target Nilai Kontrak Baru Jadi Rp 6 Triliun

PT Wika Beton Tbk (WTON) memperkirakan, hingga akhir 2024 ini nilai kontrak baru hanya akan mencapai ke Rp 6 triliun.

Nobel Ekonomi 2024 dan Pengendalian Inflasi
| Jumat, 22 November 2024 | 08:15 WIB

Nobel Ekonomi 2024 dan Pengendalian Inflasi

Keberadaan tiga BUMD pangan yang ada di Jakarta jadi kunci pengendalian inflasi di Provinsi DKI Jakarta

Mimpi ke Piala Dunia
| Jumat, 22 November 2024 | 08:00 WIB

Mimpi ke Piala Dunia

Indonesia harus mulai membuat cetak biru pengembangan sepakbola nasional yang profesional agar mimpi ke Piala Dunia jadi kenyataan.

Status Belum Jelas, Swasta Tunda Proyek Hotel IKN
| Jumat, 22 November 2024 | 07:30 WIB

Status Belum Jelas, Swasta Tunda Proyek Hotel IKN

Sampai saat ini, Presiden Prabowo Subianto belum juga menandatangani Keputusan Presiden (Kepres) soal pemindahan ibu kota.

Daya Beli Lesu, Bisnis Sepeda Layu
| Jumat, 22 November 2024 | 07:20 WIB

Daya Beli Lesu, Bisnis Sepeda Layu

Minat masyarakat untuk membeli sepeda tampak menyusut paska pandemi dan diperparah dengan pelemahan daya beli masyarakat.

INDEKS BERITA

Terpopuler