Ancaman Lain di Tengah Pandemi Covid-19

Senin, 27 September 2021 | 07:10 WIB
Ancaman Lain di Tengah Pandemi Covid-19
[]
Reporter: Harian Kontan | Editor: Harris Hadinata

KONTAN.CO.ID - Krisis Covid-19 belum berlalu. Tetapi ancaman lain sudah datang di depan mata. Pelaku pasar kini sangat memperhatikan tapering Amerika Serikat (AS) dan peluang The Fed menaikkan suku bunga lebih cepat dari perkiraan. Dari China juga kita lihat ada masalah utang jumbo emiten properti terbesar kedua, Evergrande.

The Fed terlihat ragu-ragu dalam membuat keputusan. Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pekan lalu tidak secara pasti mengungkapkan apa yang akan dilakukan bank sentral tersebut. Data ekonomi AS terlihat naik turun dari waktu ke waktu. Selain itu gelombang ketiga Covid-19 membuat The Fed terlihat menahan diri membocorkan kebijakannya.

Dalam waktu dekat pelaku pasar menanti keputusan kapan The Fed akan melakukan tapering. Sampai saat ini, The Fed melakukan program pembelian obligasi US$ 120 miliar per bulan. Ada dua indikator utama yang dipakai The Fed sebelum memutuskan perubahan kebijakan moneter, yaitu angka inflasi dan angka pengangguran.

Baca Juga: Waswas Menghadapi Potensi Gagal Bayar Evergrande

Angka pengangguran Amerika Serikat mengalami perbaikan dari waktu ke waktu. Di Mei 2020, tingkat pengangguran sempat menyentuh 14,7%. Banyak analis memperkirakan angka ini akan memburuk dan menyentuh 20% akibat lockdown untuk menekan penyebaran Covid-19. Nyatanya, tingkat pengangguran terus membaik. Di Juli 2021, angka pengangguran bahkan sudah di di level 5,8% dan sekarang di level 5,2%.

Tapi nampaknya pasar tenaga kerja AS tidak terlalu stabil. Data nonfarm payrolls Agustus mengecewakan, hanya terjadi kenaikan 235.000. Angka ini jauh dibanding survei Dow Jones dan Reuters terhadap para ekonom yang memperkirakan terjadi kenaikan 720.000–750.000.

Ini menunjukkan perlambatan sangat signifikan bila dibanding periode Juli yang mencapai 1,05 juta. Jumlah pekerjaan yang sangat rendah mengaburkan prospek pemulihan ekonomi dan menghalangi rencana The Fed mengumumkan pengurangan obligasi atau tapering.

Yang aneh adalah penjualan ritel Agustus naik 0,7% (mom) berbanding terbalik dengan koreksi -1,8% pada bulan sebelumnya. Angka ini juga jauh lebih baik dari konsensus yang memperkirakan ada konstraksi -0,8% (mom). Ini membuktikan ketahanan konsumsi konsumen, yang berkontribusi sekitar 70% terhadap pertumbuhan ekonomi AS.

Baca Juga: Inggris Kantongi Bukti Kapal-kapal Berbagai Negara Jual Bahan Bakar ke Korea Utara

Data penjualan ritel yang solid, menunjukkan kekuatan pemulihan ekonomi AS dan meredakan kekhawatiran perlambatan ekonomi. Data ini juga berpotensi mendorong pengumuman tapering tahun ini.

Apa sebenarnya yang terjadi di ekonomi Amerika Serikat? Ternyata, pertumbuhan pekerjaan turun bukan lantaran penurunan permintaan pekerja, tapi karena kekurangan tenaga kerja yang mencari kerja. Job Openings & Labor Turnover Survey yang digelar Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan lowongan pekerjaan melampaui jumlah pengangguran lebih dari 2 juta pada Juli. Ini mengindikasikan disfungsi pasar tenaga kerja AS di tengah pandemi.

Seorang teman yang baru pulang dari AS bercerita, kini orang yang makan di restoran harus mengantre cukup lama. Ini terjadi bukan karena restoran tersebut kebanjiran pembeli sehingga tidak ada tempat duduk, tetapi karena orang yang melayani pengunjung sedikit.

Penulis memperkirakan ini terjadi karena stimulus fiskal jumbo yang digelontorkan pemerintah AS sejak pandemi. Di awal pandemi ada stimulus US$ 2 triliun, termasuk bantuan cek tunai US$ 1.200 per orang. Di akhir tahun 2020, AS kembali menyiapkan paket stimulus US$ 900 miliar, yang di dalamnya termasuk bantuan langsung tunai (BLT) US$ 600 per orang. Awal tahun ini, ada paket US$ 1,9 triliun, di mana di dalamnya termasuk pembayaran stimulus US$ 1.400 per orang.

Baca Juga: Pemerintah Taliban di Afghanistan Meminta Maskapai Penerbangan Kembali Beroperasi

Di negara maju seperti AS, ketika seorang warga tidak bekerja, ia akan mendapat tunjangan pengangguran. Ditambah ada paket BLT di atas, tentu pengangguran di AS kini sangat makmur. Ini diperkirakan sebagai penyebab data pengangguran masih tinggi dan tidak stabil, padahal lowongan pekerjaan melampaui jumlah pengangguran. Artinya pasar tenaga kerja AS sebenarnya sudah pulih. 

Soal inflasi, The Fed memakai angka 2% sebagai acuan sebelum mengubah kebijakan moneter. Angka 2% ini sudah dilewati AS sejak Maret 2021, di mana inflasi tahunan sudah bertengger di angka 2,6%. Bulan berikutnya inflasi makin naik ke 4,2% dan di sempat naik ke 5,4% di Juni dan Juli. Baru di Agustus inflasi turun sedikit ke level 5,3%.

The Fed lebih memperhatikan inflasi inti sebagai acuan kebijakan. Inflasi inti sempat turun di Agustus, di mana hanya naik 0,1 % (mom). Ini lebih lambat dari Juli yang mencapai 0,3% dan perkiraan ekonom di 0,3%. Ini menunjukkan inflasi mungkin telah mencapai puncaknya, sejalan dengan keyakinan The Fed bahwa lonjakan inflasi cuma bersifat sementara.

Memang inflasi AS sebagian besar didorong oleh kategori yang terkait dengan pembukaan kembali aktivitas ekonomi. Di antaranya kenaikan harga tiket pesawat dan mobil bekas. Tapi inflasi inti di angka 4%, dua kali lipat target The Fed. 

Baca Juga: Patuhi Beijing, Akhir 2021 Huobi Global Memutus Semua Kontrak Pelanggan Kripto China

Ini yang membuat The Fed kemungkinan mulai tapering segera setelah November. Ketua The Fed Jerome Powell menyebut anggota Dewan Gubernur The Fed percaya QE dapat berakhir sekitar pertengahan 2022. Dampak tapering mungkin tidak akan terlalu besar ke pasar saham negara berkembang, karena sudah diantisipasi cukup lama.

Yang menjadi perhatian pelaku pasar tentu peluang The Fed menaikkan suku bunga jauh lebih cepat daripada negara-negara maju lain. The Fed mengisyaratkan kenaikan suku bunga lebih cepat karena bank sentral AS mendapat momentum setelah pemulihan ekonomi.

Reuters menulis kecenderungan sikap hawkish The Fed sedikit terlihat dalam pernyataan kebijakan baru dan proyeksi ekonomi. Sembilan dari 18 pejabat The Fed siap menaikkan suku bunga tahun depan sebagai respons kenaikan inflasi yang diperkirakan mencapai 4,2% tahun ini. Bila terjadi kenaikan suku bunga di tahun 2022, diperkirakan akan memberikan dampak yang lebih besar dan lama terhadap pasar keuangan negara berkembang.

Selanjutnya: Pemerintah Taliban di Afghanistan Meminta Maskapai Penerbangan Kembali Beroperasi

 

Bagikan

Berita Terbaru

Xerox Holdings Bakal Akuisisi Lexmark Senilai US$ 1,5 Miliar
| Senin, 23 Desember 2024 | 19:48 WIB

Xerox Holdings Bakal Akuisisi Lexmark Senilai US$ 1,5 Miliar

Lexmark perusahaan yang berbasis di Lexington, Kentucky dibentuk sebagai bentuk spin off dari IBM pada bulan Maret 1991.

Valuasi IPO CBDK Dinilai Menarik, Begini Analisisnya
| Senin, 23 Desember 2024 | 15:51 WIB

Valuasi IPO CBDK Dinilai Menarik, Begini Analisisnya

CBDK meminta harga IPO 19x-26x P/E sepanjang tahun 2025, lebih tinggi dibandingkan perusahaan sejenis di sektornya yang hanya 6x-9x P/E.

Mediasi Diperpanjang, Gugatan 40 Nasabah Mirae Senilai Rp 8,17 Triliun Masih Bergulir
| Senin, 23 Desember 2024 | 14:21 WIB

Mediasi Diperpanjang, Gugatan 40 Nasabah Mirae Senilai Rp 8,17 Triliun Masih Bergulir

Mirae Asset minta waktu hingga 16 Januari 2025 untuk memberikan tanggapan karena proposal penggugat harus dirapatkan melibatkan seluruh direksi.

Pilihan Saham Big Caps Menarik Untuk Investasi Jangka Panjang
| Senin, 23 Desember 2024 | 13:58 WIB

Pilihan Saham Big Caps Menarik Untuk Investasi Jangka Panjang

Saham-saham dengan kapitalisasi pasar atau market capitalization (market cap) besar tak melulu jadi pilihan tepat untuk investasi jangka panjang.

Harga Saham Provident (PALM) Menguat, Aksi Borong Dua Pemegang Picu Lonjakan Harga
| Senin, 23 Desember 2024 | 09:00 WIB

Harga Saham Provident (PALM) Menguat, Aksi Borong Dua Pemegang Picu Lonjakan Harga

PALM mencetak laba bersih Rp 464,63 miliar di Januari-September 2024, dibandingkan periode sebelumnya rugi bersih sebesar Rp 1,94 triliun.

Sektor Bisnis yang Mendorong Perekonomian Domestik
| Senin, 23 Desember 2024 | 08:52 WIB

Sektor Bisnis yang Mendorong Perekonomian Domestik

Sejumlah sektor usaha dinilai masih prospektif dan berpotensi sebagai motor penggerak ekonomi Indonesia ke depan, setidaknya dalam jangka menengah

Modal Cekak Pemerintah Mengerek Pertumbuhan Ekonomi 2025
| Senin, 23 Desember 2024 | 08:47 WIB

Modal Cekak Pemerintah Mengerek Pertumbuhan Ekonomi 2025

Tantangan pemerintah Indonesia untuk memacu perekonomian semakin berat pada tahun depan, termasuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%

Insentif Pajak Mobil Hybrid Dorong Sektor Otomotif, Saham ASII Jadi Unggulan
| Senin, 23 Desember 2024 | 08:36 WIB

Insentif Pajak Mobil Hybrid Dorong Sektor Otomotif, Saham ASII Jadi Unggulan

Bila mendapatkan insentif pajak, maka PPnBM untuk kendaraan hybrid akan dibanderol sebesar 3% hingga 4%.

Rekomendasi Saham Emiten Barang Konsumsi yang Masih Dibayangi Tekanan Daya Beli
| Senin, 23 Desember 2024 | 08:35 WIB

Rekomendasi Saham Emiten Barang Konsumsi yang Masih Dibayangi Tekanan Daya Beli

Miten yang bergerak di bisnis barang konsumsi dibayangi sentimen kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.

Peluang Tipis IHSG Menguat di Pengujung Tahun
| Senin, 23 Desember 2024 | 08:25 WIB

Peluang Tipis IHSG Menguat di Pengujung Tahun

Sudah tidak banyak lagi ruang bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) untuk menguat di sisa tahun ini. 

INDEKS BERITA

Terpopuler