KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mulai pekan depan, yakni 5 Juni, Bursa Efek Indonesia (BEI) akan memperbesar auto rejection bawah (ARB) menjadi 15%. Penambahan persentase auto rejection bawah ini merupakan bagian dari normalisasi bursa pascapandemi.
Pelebaran batas ARB tentu bisa menambah fluktuasi pasar saham. Pasalnya, harga saham bisa turun hingga 15% dalam sehari, untuk rentang harga saham berapa pun.
Kebijakan bursa masih setengah relaksasi, karena masih berlaku auto rejection asimetris. Auto rejection atas (ARA) untuk harga saham antara Rp 50-Rp 200 mencapai 35%. ARA untuk harga saham antara Rp 200-Rp 5.000 sebesar 25%. Sedangkan ARA untuk harga saham lebih dari Rp 5.000 mencapai 20%.
Bursa baru akan menetapkan auto rejection simetris, yakni setara antara ARA dan ARB pada 4 September 2023. BEI menyebut, normalisasi ke auto rejection simetris merupakan bagian dari pembelajaran bagi investor agar lebih menelaah faktor fundamental.
Pelebaran ARB akan berlangsung setelah aksi jual sell in May berakhir. Dari 21 hari perdagangan di bulan Mei, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 13 hari, termasuk lima hari perdagangan terakhir.
Indeks acuan pasar saham Indonesia turun 4,08% sepanjang Mei 2023. Penurunan indeks ini terjadi di tengah batasan ARB yang masih berlaku 7%.
Pelebaran ARB belum tentu akan menjatuhkan IHSG lebih dalam pada bulan Juni. Pasalnya, penurunan secara historis pasar saham biasa terjadi di bulan Mei. Sehingga aksi jual di bulan Juni bisa jadi sudah mereda.
Meski dilakukan bertahap, proses normalisasi perdagangan BEI tetap menghadapi sandungan. Paling baru, BEI mengumumkan rencana penelaahan dan analisis fenomena pembentukan harga satu efek tertentu pada sesi pra-penutupan.
Kajian ini menyusul lonjakan atau penurunan tiba-tiba hingga ARA dan ARB pada satu efek yang terjadi saat sesi pra-penutupan. Paling baru, harga saham GOTO yang bergerak datar sejak pembukaan perdagangan hingga sesi II, Rabu (31/5), langsung melesat hingga naik ARA 34,9% di akhir perdagangan.
GOTO hanya merupakan salah satu dari sejumlah saham yang tiba-tiba melejit atau jatuh di saat tutup pasar. Meski tak termasuk tahapan normalisasi, fenomena pembentukan harga di sesi pra-penutupan ini masih menjadi PR penting bagi otoritas pasar modal dalam menjaga pasar saham yang efisien.