Bagai Simalakama, Pertamina Sulit Menjual Bensin Sesuai Harga Pasar
Jumat, 31 Desember 2021 | 07:31 WIB
Reporter:
Arfyana Citra Rahayu, Muhammad Julian |
Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Inilah efek pasar bebas bisnis bahan bakar minyak (BBM). Kini, harga BBM bak simalakama bagi Pertamina dan pemerintah. Jika Pertamina hanya menjual seri Pertamax, daya beli bakal merosot. Namun jika masih menjual Premium dan Pertalite, subsidi BBM akan terus mengganjal anggaran negara.
Di sisi lain, laju harga Pertamax cenderung mendatar dan tertinggal dibanding produk lain dengan kandungan oktan yang sama. Harga Pertamax berkisar Rp 9.000 per liter, sementara harga bensin Shell, Vivo dan BP-AKR (dengan kadar oktan yang sama) sudah di atas Rp 12.000 per liter (lihat tabel).
"Shell menyesuaikan harga BBM di SPBU dari waktu ke waktu dengan memperhatikan kondisi pasar, kinerja perusahaan serta kepatuhan terhadap peraturan mengenai harga jual eceran BBM," ujar Edit Wahyuningtyas, Corporate Communications Shell Indonesia, kepada KONTAN, Kamis (30/12).
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti mengamati, dibandingkan dengan harga BBM di Amerika Serikat yang saat ini sekitar US$ 0,91 hingga US$ 0,96 atau Rp 12.900 hingga Rp 13.600, harga ritel bensin Shell Indonesia merupakan harga keekonomian.
Menurut Yayan, pertimbangan Pertamina tak menaikkan harga Pertamax lantaran terdesak keadaan. Maklum Pertamina harus menanggung penugasan dari pemerintah.
Dia menyatakan, untuk menaikkan harga bensin, perlu menghitung cost dan benefit. Nah, fokus saat ini adalah daya beli masyarakat yang masih rendah akibat tekanan pandemi Covid-19.
Yayan berpendapat, liberalisasi seharusnya memberikan harga pasar yang efisien karena pasar persaingan sempurna. "Harga harus murah, aksesnya mudah. Jika mahal, berarti ada kegagalan pasar, sistem pasar tidak jalan. Contoh, jika sekarang harga naik, berarti ada masalah di suplai," ungkap dia.
Harga bensin kembali hangat diperbincangkan seiring wacana penghapusan Premium untuk transisi ke Pertalite, yang kemudian berlanjut ke Pertamax. Rencana ini sebagai upaya shifting ke BBM yang ramah lingkungan.
Rencana penghapusan Premium dan Pertalite mengacu peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang merekomendasikan penggunaan BBM dengan RON minimal 91.
"Pertalite masih ada di pasar. Tapi kami mendorong penggunaan produk yang lebih baik yaitu Pertamax, agar kita bisa berkontribusi terhadap penurunan karbon emisi," ujar Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, dalam kanal Youtube Wakil Presiden RI, Selasa (28/12).
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menyatakan, dalam aspek teknis perlu persiapan matang. Misalnya terkait persediaan Pertamax jika Pertalite dihapus. "Ada risiko bisnis dan ekonomi yang perlu dikaji cermat. Jangan sampai nanti maju mundur seperti kebijakan yang lalu," ujar dia.
Yayan menilai, untuk mencabut subsidi, sangat tergantung rezim saat ini. Terkait efisiensi, baik penghematan APBN dan efektivitas subsidi yang lebih tepat, maka subsidi energi sebaiknya dicabut. "Tapi kebijakan ini tak populer dan menimbulkan gejolak politik, apalagi menjelang pemilu," tutur dia.
Ini Artikel Spesial
Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan atau membeli artikel ini.