KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Empat tahun lalu, tepatnya 24 Mei 2014, dunia perkoperasian Indonesia dibuat terkejut oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hakim menganulir Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
MK punya alasan: UU Perkoperasian lebih bernuansa korporasi sehingga menghilangkan asas kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas koperasi seperti amanat Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Alhasil, sejak saat itu UU Perkoperasian yang lama, Nomor 25/1992 kembali hidup dan berlaku.
Sejatinya, tak lama setelah putusan MK, pemerintah langsung menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian. Hanya saja, pembahasan calon beleid ini memakan waktu yang cukup lama.
Pemerintah dan DPR tampaknya sangat berhati-hati, biar nasib UU Perkoperasian tak lagi berakhir di meja hakim MK. “Kami paham, di DPR tidak mudah, membutuhkan kajian mendalam. Kami punya pengalaman UU Nomor 17 Tahun 2012 yang dibatalkan MK. Tapi, kami harap tahun ini sebelum tugas DPR selesai bisa disahkan,” kata Rully Irawan, Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM.
Pasca MK membatalkan UU No. 17/2012, secara otomatis payung hukum koperasi kembali ke UU No. 25/1992. Namun, menurut Rully, produk hukum ini dianggap sebagai salah satu penyebab koperasi Indonesia tidak mampu go international seperti koperasi-koperasi di beberapa negara maju.
Karena itu, Rully berharap, RUU Perkoperasian yang masuk ke DPR dan menjalani pembahasan sejak 2016 lalu bisa disahkan tahun ini juga. Dengan begitu, aspek bisnis koperasi yang sesuai perkembangan zaman dapat memiliki payung hukum tetap. “Koperasi juga bisa menjalankan bisnisnya dengan lebih baik dan tidak sekedar koperasi simpan pinjam saja (KSP),” imbuhnya.
Inas Nasrullah, Wakil Ketua Komisi VI DPR, mengatakan, RUU Perkoperasian memiliki 270 daftar inventarisasi masalah (DIM) yang sudah rampung pembahasannya. Namun, terdapat usulan baru Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengenai koperasi syariah yang belum selesai digodok.
“Pada saat Panitia Kerja (Panja) tuntas, PKS mengajukan DIM tentang koperasi syariah, tapi belum disepakati oleh fraksi lain,” ungkap Inas.
Meski begitu, Inas optimistis, pembahasan DIM tersebut bisa selesai secepatnya. Sehingga, RUU Perkoperasian bisa disahkan menjadi UU pada masa sidang III 2018/2019, yang berlangsung Januari–Maret.
Langkah DPR menggenjot penggodokan bakal undang-undang itu melihat urgensi koperasi bagi perekonomian nasional. Inas menyebutkan, RUU Perkoperasian akan memberikan ruang bagi koperasi produsen dan koperasi konsumen. “Lahan koperasi bukan hanya simpan pinjam. Saya juga sudah ingatkan, jangan sampai koperasi menjadi tempat perkumpulan modal,” tegasnya.
Menurut Inas, arah RUU Perkoperasian sudah tidak lagi pada perkumpulan modal, tetapi orang-orang yang berkumpul. Pasal 1 RUU Perkoperasian menyatakan, koperasi adalah perkumpulan orang yang bersatu secara sukarela dan bersifat mandiri untuk memenuhi kebutuhan serta aspirasi ekonomi, sosial, dan budaya, melalui usaha bersama yang diselenggarakan secara demokratis dan profesional berdasarkan asas kekeluargaan juga gotong royong. “Soal definisi koperasi ini sudah tidak perlu diperdebatkan lagi,” imbuhnya.
Selain soal definisi, ada banyak poin penting lain dalam RUU yang terdiri dari 16 bab dan 80 pasal ini. Contohnya, Pasal 39 yang mengatur tentang permodalan koperasi. RUU Perkoperasian memberi peluang koperasi untuk mencari modal dari luar anggota guna mengembangkan usaha. Misalnya, pinjaman bank dan lembaga keuangan lainnya, serta penerbitan surat utang koperasi.
Selain itu, ada juga ketentuan yang bertujuan untuk mencegah praktik-praktik yang bisa membuat simpanan anggota koperasi lenyap tidak berbekas. Koperasi simpan pinjam (KSP), misalnya, dilarang melakukan investasi di sektor riil.
Jadi, KSP yang menghimpun dana dari anggota harus menyalurkan kembali dalam bentuk pinjaman ke anggota mereka. Soalnya, KSP menjalankan usaha simpan pinjam sebagai satu-satunya bisnis yang melayani para anggota mereka.
Menghapus sanksi
Meski demikian, seperti bank, KSP wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. “UU Perkoperasian yang baru ini harus bisa menjadi acuan, kepastian hukum, dan pelindung bagi pelaku koperasi,” ujar Rully.
Tapi, bukan berarti RUU Perkoperasian sepi dari kontroversi. Salah satu pro kontra dari pembahasan calon undang-undang ini adalah penghapusan pasal yang mengatur sanksi untuk koperasi abal-abal atau rentenir berbaju koperasi.
Sebelumnya, draf UU Perkoperasian mengatur soal sanksi, baik pidana maupun denda. Sanksi tersebut bervariasi, mulai pidana penjara minimal selama tiga tahun, hingga denda maksimal Rp 2 miliar.
Suroto, pengamat koperasi sekaligus Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis Indonesia (Askes), menyesalkan penghapus pasal sanksi tersebut. Dengan hilangnya ketentuan soal sanksi, maka RUU Perkoperasian sama saja dengan memperbesar peluang kemunculan koperasi abal-abal.
Untuk bisa mengembangkan koperasi yang sejati, Suroto mengatakan, seharusnya koperasi yang tidak menjalankan prinsip harus ditindak dan didenda. “Ini malah pasal denda dan sanksi dicabut. Tampaknya, para rentenir sudah mampu melobi legislatif,” kata Suroto yang juga menjabat Ketua Koperasi Trisakti (Kosakti).
Keberatan kedua soal penunjukkan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) menjadi wadah tunggal. Suroto menegaskan, ini bertentangan dengan alam demokrasi saat ini. Itu juga bertolak belakang dengan Pasal 28 UUD 1945 yang mengatur kebebasan berserikat. Apalagi, ada pasal yang menyebutkan, operasional Dekopin wajib menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara juga daerah (APBN/APBD). “Ini jelas aneh dan kami akan ajukan ke MK untuk diuji,” ujarnya.
Jumlah anggota
Suroto juga mengkritisi ketentuan soal minimal jumlah anggota sebagai syarat mendirikan koperasi. Menurutnya, di negara lain membentuk koperasi bisa dengan tiga orang saja. Sementara di RUU Perkoperasian mensyaratkan paling sedikit sembilan orang. “Masih terlalu banyak. Koperasi tidak akan berkembang kalau untuk membentuknya saja harus menyamakan visi misi sembilan orang,” tambah dia.
Secara umum, Suroto menilai RUU Perkoperasian belum memberikan jawaban atas kebutuhan koperasi. Koperasi adalah organisasi mandiri yang mengatur dirinya sendiri dengan memiliki prinsip-prinsip. Salah satu prinsipnya: gotong royong dan mengutamakan benefit untuk anggota.
Pendapat senada juga datang dari Presiden Direktur Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia (Kopsyah BMI), Kamaruddin Batubara. Kata dia, saat ini banyak sekali ditemukan praktik penipuan yang mengatasnamakan koperasi. “Ini jelas merugikan kami,” tegasnya.
Maka, Kamaruddin berharap, UU Perkoperasian yang baru bisa mengatasi praktik curang tersebut, dengan menegakkan sanksi tegas bagi para pelaku investasi bodong yang mengatasnamakan koperasi. Sebab, sejauh ini belum ada aturan main yang tegas soal sanksi tersebut. “Yang jelas, UU itu harus memperlihatkan jati diri koperasi sebenarnya. Prinsip dan tujuan koperasi harus bisa terwujud,” pinta dia.
Memang, Kamaruddin mengakui, kontribusi koperasi hingga saat ini masih sangat kecil. Secara ekonomi, sumbangannya pada 2017 lalu baru 4,99% dari produk domestik bruto (PDB). Organisasi koperasi juga masih dipandang sebelah mata. Alih-alih menjadi gerakan perubahan sosial dan lembaga bisnis yang kapabel, koperasi masih dianggap sebagai organisasi kecil yang hanya mengurus usaha simpan pinjam dalam skala mikro. “Kondisi ini terjadi karena legislatif dan pemerintah belum punya keinginan kuat memajukan koperasi. Perhatian dan aturan masih belum mendukung,” ungkapnya
Padahal di luar negeri, koperasi berkembang pesat. Contohnya di Prancis, bahkan perekonomian negeri mode ini dikuasai oleh koperasi. Sementara di Indonesia sebaliknya. Ini terjadi, Kamaruddin membeberkan, lantaran prinsip-prinsip koperasi, seperti co-ownership (pemilikan bersama), co-determination (keputusan bersama), dan co-responsibility (tanggungjawab bersama), masih sebatas slogan manis, tak lebih.