Dividen dari Matahari (LPPF) Lebih Rendah, Likuiditas Multipolar Terus Tertekan

Senin, 17 Juni 2019 | 19:59 WIB
Dividen dari Matahari (LPPF) Lebih Rendah, Likuiditas Multipolar Terus Tertekan
[]
Reporter: Herry Prasetyo | Editor: A.Herry Prasetyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan induk milik Grup Lippo, PT Multipolar Tbk (MLPL), tengah mengalami tekanan likuiditas yang berkepanjangan. Itu sebabnya, lembaga pemeringkat Fitch Ratings menurunkan peringkat jangka panjang Multipolar  dari B- ke CCC+ dan memilih untuk menarik peringkat Multipolar setelah pada November lalu menurunkan peringkat PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) dari BBB- menjadi CCC+.

Pada saat bersamaan, Fitch Ratings Indonesia juga menurunkan peringkat nasional jangka panjang Multipolar dari BB menjadi BB-. Fitch menempatkan prospek peringkat nasional Multipolar di kategori negatif.

Menurut Fitch, penurunan peringkat didasarkan pada tekanan likuiditas berkepanjangan yang dialami Multipolar. Penyebabnya, dividen yang berasal dari anak usahanya, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF), tidak mencukupi untuk menutup biaya operasional, pembayaran bunga, dan amortisasi utang pada tingkat perusahaan induk di 2019.

Hal tersebut telah memaksa Multipolar untuk mengandalkan penjualan aset dalam 18 bulan hingga 24 bulan ke depan untuk menutupi kekurangan tersebut. Potensi dividen dari Matahari Department Store yang lebih rendah pada 2020 karena melemahnya profitabilitas yang signifikan di kuartal I-2019 tercermin dalam prospek negatif peringkat Multipolar.

Fitch menyebutkan empat faktor utama penurunan peringkat Multipolar.

Pertama, pelemahan likuiditas yang berkepanjangan. Fitch memperkirakan, likuiditas Multipolar akan terus berada di bawah tekanan selama dua tahun ke depan. Kombinasi peningkatan pembayaran pokok berdasarkan fasilitas pinjaman berjangka dari Bank BNI (BBNI) dan pembayaran dividen yang lebih rendah dari Matahari Department Store sebagai kontributor dividen terbesar akan menekan arus kas Multipolar.

Menurut Fitch, penerimaan dividen dari Matahari Department Store sekitar Rp 200 miliar tidak akan cukup untuk menutup biaya operasional Multipolar di tingkat perusahaan induk yang mencapai Rp 200 miliar-Rp 300 miliar. Penerimaan dividen juga tidak cukup memenuhi persyaratan pembayaran utang di atas Rp 700 miliar.

Pembayaran utang tersebut terdiri dari kombinasi pembayaran bunga dan amortisasi utang atas pinjaman berjangka dari BNI, pinjaman modal kerja bergulir dari Bank CIMB Niaga (BNGA) dan pinjaman dari Deutsche Bank AG. Pinjaman dari Deutsce Bank memiliki jatuh tempo pada 2020 dan dapat diperpanjang satu tahun.

Kedua, dividen dari Matahari Department Store yang lebih rendah. Prospek negatif pada peringkat Multipolar mencerminkan potensi dividen dari Matahari Department Store yang lebih rendah yang disebabkan oleh pelemahan kinerja keuangan.

Pada kuartal I-2019, kinerja keuangan Matahari Department Store melemah yang disebabkan meningkatnya tekanan biaya dan pertumbuhan penjualan per gerai alias same store sales growth (SSSG) yang negatif di tengah persaingan yang makin sengit dengan toko online.

Pendapatan Matahari Department Store sepanjang tiga bulan pertama tahun ini turun 1,5% sementara SSSG berubah menjadi minus 1,7% dari sebelumnya 4,8% pada kuartal I-2018. Sementara margin EBITDA turun menjadi 8,7% dari sebelumnya 11,8%. Pada akhirnya, Fitch mengatakan, pelemahan kinerja tersebut memengaruhi metrik kredit Matahari Department Store dan kemampuannya untuk membagikan dividen.

Fitch memperkirakan, penerimaan dividen dari Matahari Department Store akan lebih rendah pada 2020 meski kepemilikan Multipolar meningkat menjadi 18,18%. Per akhir April 2019, Matahari Department Store membagikan dividen Rp 933 mliar, jauh lebih rendah dibandingkan pembayaran dividen sebesar Rp 1,3 triliun pada 2018.

Ketiga, ketergantungan pada penjualan aset. Fitch meyakini, Multipolar berada pada tahap awal diskusi untuk menjual aset dan membuang beberapa investasi perusahaan untuk mengatasi kekurangan kas.

Penyelesaian penjualan aset dan divestasi yang berkepanjangan ini akan memperburuk tekanan likuiditas perusahaan. Multipolar menghasilkan lebih dari Rp 1,4 triliun pada 2018 dari upaya divestasi tersebut. Ini terdiri dari penjualan investasi jangka panjang senilai Rp 588 miliar, penjualan aset tetap senilai Rp 460 miliar, dan penjualan produk wealth management senilai Rp 420 miliar.

Ketergantungan pada penjualan aset akan bertahan karena dividen yang berasal dari anak perusahaan lain jauh lebih kecil daripada Matahari Department Store.

PT Multipolar Technology (MLPT), PT Matahari Pasific (MP), dan PT Nadya Putra Investama (NPI) menghasilkan EBITDA kurang dari Rp220 miliar pada tahun 2018. Oleh karena itu, kapasitas mereka untuk memberikan return kepada Multipolar tidak sama pentingnya dengan Matahari Department Store yang menghasilkan lebih dari Rp2,75 triliun  EBITDA di 2018. Kecuali, Fitch mengatakan, jika ketiga anak usaha yang lain tersebut menjual aset yang memungkinkan mereka membagikan dividen khusus.

Berdiri pada 1975, Mutlipolar merupakan perusahaan induk yang membawahi berbagai unit usaha milik Grup Lippo. Pemegang saham utama Multipolar adalah PT Inti Anugrah Pratama yang menguasai kepemilikan saham sebear 78,08%. Anugerah Pratama dikendalikan oleh kedua putra Mochtar Riady, James Riady dan Stephen Riady.

Bagikan

Berita Terbaru

Profit 23,79% Setahun, Harga Emas Antam Hari Ini Anjlok Dalam (7 April 2025)
| Senin, 07 April 2025 | 09:37 WIB

Profit 23,79% Setahun, Harga Emas Antam Hari Ini Anjlok Dalam (7 April 2025)

Harga emas Antam (7 April 2025) ukuran 1 gram Rp 1.758.000. Di atas kertas pembeli setahun lalu bisa untung 23,79% jika menjual hari ini.

Harganya Naik dan Jadi Top Leaders 24-27 Maret, Ini Sejumlah Katalis Positif PANI
| Senin, 07 April 2025 | 09:00 WIB

Harganya Naik dan Jadi Top Leaders 24-27 Maret, Ini Sejumlah Katalis Positif PANI

PANI juga telah mengalokasikan porsi belanja modal yang cukup besar untuk pengembangan infrastruktur.

SCMA Siapkan Belanja Modal Rp 250 Miliar di Tahun 2025
| Senin, 07 April 2025 | 08:07 WIB

SCMA Siapkan Belanja Modal Rp 250 Miliar di Tahun 2025

Anggaran belanja modal tersebut untuk memperkuat transmisi digital entitas Grup Emtek yang bergerak di bidang media tersebut 

Tekanan Membayangi IHSG Usai Libur Lebaran, Cek Sektor yang Relatif Tahan Guncangan
| Senin, 07 April 2025 | 08:05 WIB

Tekanan Membayangi IHSG Usai Libur Lebaran, Cek Sektor yang Relatif Tahan Guncangan

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Selasa (8/4) berpotensi terkoreksi dengan support di 6.265.

Valas Asia Masih Bergerak Beragam di Pekan Ini
| Senin, 07 April 2025 | 08:04 WIB

Valas Asia Masih Bergerak Beragam di Pekan Ini

Para investor kini masih mencermati arah pergerakan pasar di tengah ketegangan dagang dan ketidakpastian ekonomi global. . 

Angkutan Bahan Kimia Menopang Kinerja Humpuss Maritim (HUMI)
| Senin, 07 April 2025 | 08:00 WIB

Angkutan Bahan Kimia Menopang Kinerja Humpuss Maritim (HUMI)

Ada pertumbuhan siginifikan pada permintaan kebutuhan kapal untuk pengangkutan bahan kimia seperti asam sulfat dan metanol

Harga Emas Tertekan Aksi Ambil Untung Investor
| Senin, 07 April 2025 | 07:54 WIB

Harga Emas Tertekan Aksi Ambil Untung Investor

Padahal sebelumnya, harga emas spot sempat menyentuh rekor baru pada Rabu (2/4) ke level US$ 3.166 per ons troi.

Tantangan Daya Beli Sektor Properti Semakin Berat
| Senin, 07 April 2025 | 07:50 WIB

Tantangan Daya Beli Sektor Properti Semakin Berat

Di tengah kondisi makro ekonomi yang semakin tidak pasti, tantangan bagi emiten properti di tahun 2025 semakin berat

Paperocks Indonesia (PPRI) Merangsek Peluang Pasar UMKM
| Senin, 07 April 2025 | 07:35 WIB

Paperocks Indonesia (PPRI) Merangsek Peluang Pasar UMKM

Di kuartal kedua \2025, PPRI berencana untuk gencar masuk ke pasar UMKM yang diyakini dapat menjadi pendorong utama bagi penjualan

Bapanas Meminta Daerah Siapkan Anggaran Pangan
| Senin, 07 April 2025 | 07:05 WIB

Bapanas Meminta Daerah Siapkan Anggaran Pangan

Anggaran pangan yang disiapkan oleh pemerintah daerah untuk operasi pasar pangan berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

INDEKS BERITA

Terpopuler