Berita *Regulasi

Jalan Sangat Panjang Memindahkan Ibu Kota

Kamis, 09 Mei 2019 | 21:03 WIB
Jalan Sangat Panjang Memindahkan Ibu Kota

Reporter: Abdul Basith, Havid Vebri | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Resah. Mungkin perasaan itu yang saat ini ada di hati sebagian pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan pemerintah pusat. Bagaimana tidak? Pemindahan ibu kota negara kita bukan lagi wacana.

Rapat Terbatas tentang Tindak Lanjut Rencana Pemindahan ibu kota di Kantor Presiden, Senin (29/4) lalu memutuskan, ibu kota RI bakal pindah ke luar Jawa. Hadir dalam rapat itu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Wakil Presiden Jusuf Kalla, sejumlah menteri, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan beberapa kepala daerah.

Tapi, hanya fungsi pemerintahan yang mengikuti pemindahan ibu kota. Mulai eksekutif, kementerian dan lembaga, legislatif (MPR, DPR, dan DPD), yudikatif (seperti Kejaksaan dan Mahkamah Konstitusi), hingga pertahanan keamanan yakni TNI serta Polri.

Sementara fungsi jasa keuangan, perdagangan, industri, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, tetap berada di Jakarta. Contoh, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Tak heran, perasaan gelisah menyelimuti Feby Rahmat, pegawai Kementerian Keuangan. Kalau pemindahan ibu kota benar terealisasi, saya harus memboyong semua keluarga ke daerah yang nanti ditetapkan sebagai ibu kota yang baru, kata ayah dua anak ini.

Meski begitu, bagi Feby, keputusan itu tidak mudah. Salah satu pertimbangannya adalah masa depan pendidikan anaknya. Selain itu, keluarga besarnya bermukim di Pulau Jawa. Tambah pula, dia harus mencari rumah lagi. Kalau ada fasilitas sih, enggak masalah. Tapi kalau tidak ada? imbuhnya.

Karena itu Feby pun berharap dia tetap mendapat penugasan di Jakarta bila benar ibu kota jadi pindah ke luar Jawa. Soalnya, di Jakarta kantor kami juga ada cabang, ujar dia.

Keresahan yang sama juga dirasakan Widodo. Pegawai Kementerian Pertahanan ini sudah mulai memikirkan nasib keluarganya kelak. Maklum, sang istri saat ini bekerja tapi bukan PNS. Mau tak mau, ia nanti harus memilih: istri tetap bekerja dengan risiko hanya dirinya yang pindah ke ibu kota baru, atau istri berhenti bekerja sehingga seluruh keluarga bisa boyongan ke ibu kota anyar. Tapi, bagaimanapun saya siap ikut kebijakan dan aturan pemerintah, ungkap Widodo.

Ya, pemindahan ibu kota memang bukan sekadar bicara biaya, politik, dan kesiapan pemerintah. Rencana ini juga menyangkut nasib ratusan ribu PNS yang terpaksa hijrah ke ibu kota baru. Termasuk keluarga mereka.

Meski belum ada keputusan akan pindah ke mana, Jokowi mengemukakan, ada tiga kandidat ibu kota pengganti Jakarta: Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Kami harus cek dong, secara detail meskipun tiga tahun terakhir kami bekerja ke sana. Bagaimana mengenai lingkungan, daya dukung lingkungan, airnya, mengenai kebencanaan, banjir, gempa seperti apa, ujar Presiden.

Ya, tiga tahun belakangan, Kementerian PPN/Bappenas menyiapkan kajian pemindahan ibu kota, yang kemudian mereka paparkan dalam rapat terbatas pada Senin lalu. Bambang menyebutkan, banyak faktor yang jadi pertimbangan pemindahan ibu kota.

Namun yang utama, pertama, Jakarta jadi kota terburuk keempat sedunia berdasarkan kondisi lalu lintas saat jam sibuk dari 390 kota yang disurvei. Lalu, peringkat sembilan terburuk untuk kepuasan pengemudi serta kinerja kemacetan terburuk. Ini semua mengakibatkan komunikasi dan koordinasi antar kementerian/lembaga kadang-kadang tak efektif.

Kerugian ekonomi yang diakibatkan pada tahun 2013 sebesar Rp 56 triliun, yang kami perkirakan angkanya sekarang sudah mendekati Rp 100 triliun per tahun dengan makin beratnya kemacetan di wilayah Jakarta, beber Bambang.

Kedua, banjir. Tidak hanya banjir dari hulu, ada penurunan muka tanah di Pantai Utara Jakarta dan kenaikan permukaan air laut. Alhasil, separuh wilayah Jakarta masuk kategori rawan banjir atau punya tingkat kerawanan banjir di bawah 10 tahunan. Padahal, Bambang menyatakan, idealnya kerawanan banjir sebuah kota besar minimum 50 tahunan.

Belum lagi, kualitas air sungai di Jakarta 96% tercemar berat. Sehingga, ada bahaya bencana signifikan untuk human pandemic sebagai akibat dari sanitasi yang buruk.

Berangkat dari hasil kajian, Kementerian PPN/Bappenas menawarkan konsep ibu kota baru adalah pemisahan pusat bisnis dan pusat pemerintahan. Ini konsep yang kami coba tiru dari beberapa best practice yang sudah dilakukan di negara lain. Jakarta tetap akan menjadi pusat bisnis bahkan harus sudah menjadi pusat bisnis yang levelnya regional atau Asia Tenggara, jelas Bambang.

Ambil contoh, Brasil yang memindahkan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia yang letaknya sangat berjauhan. Kemudian, Kazakhstan yang juga memindahkan ibu kota dari Almaty ke Astana yang jauh.

Butuh Rp 466 triliun

Kementerian PPN/Bappenas mengusulkan, lokasi ibu kota baru berada di tengah. Tengah memperhitungkan barat ke timur maupun utara ke selatan untuk merepresentasikan keadilan dan mendorong percepatan pembangunan, khususnya kawasan Timur. Jadi, kami dorong ibu kota yang Indonesiasentris, kata Bambang.

Pertimbangan lainnya, ada lahan yang luas milik pemerintah maupun badan usaha milik negara (BUMN) yang sudah tersedia. Lahan ini bisa dibangun sehingga tak lagi memerlukan biaya pembebasan.

Cuma, lantaran mesti membangun kota baru, tentu butuh biaya yang tidak sedikit. Tambah lagi, para PNS harus bersedia untuk pindah dari posisi mereka sekarang di Jakarta ke kota anyar tersebut.

Kementerian PPN/Bappenas menghitung, biaya memindahkan ibu kota RI ke luar Pulau Jawa mencapai Rp 323 triliunRp 466 triliun. Angka ini memperhitungkan dua skenario.

Skenario pertama, tidak ada resizing jumlah PNS. Artinya, seluruh PNS pemerintah pusat pindah ke ibu kota baru. Dengan menggunakan data 2017, ibu kota baru bakal berisi 1,5 juta penduduk. Jumlah ini termasuk anggota eksekutif, legislatif, yudikatif, Polri, TNI, serta anggota keluarganya.

Skenario kedua, ada resizing jumlah PNS. Jadi, PNS yang pindah hanya 111.000-an ditambah anggota TNI dan Polri berikut keluarga. Dengan begitu, populasi di bawah 1 juta, tepatnya 870.000 penduduk.

Skenario pertama diperkirakan membutuhkan biaya sebesar Rp 466 triliun. Skenario kedua biayanya lebih kecil karena kotanya lebih kecil yaitu Rp 323 triliun, ujar Bambang.

Sumber pembiayaan, menurut Bambang, bisa berasal dari empat sumber. Satu, APBN khususnya untuk initial infrastructure juga fasilitas kantor pemerintahan dan parlemen. Dua, BUMN untuk infrastruktur utama dan fasilitas sosial. Tiga, kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) untuk beberapa unsur utama juga fasilitas sosial. Empat, dari swasta murni, khususnya yang terkait dengan properti perumahan dan fasilitas komersial.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mulai bergerak. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, pihaknya sedang melakukan studi literatur mengenai bentuk atau desain ibu kota yang baru. Yang jelas, konsep desainnya adalah kota Pancasila, ucap Basuki.

Untuk memuluskan rencana pemindahan ibu kota, Bambang menambahkan, kelak ada semacam badan otorita yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Nanti, badan ini mengelola dana investasi pembangunan kota baru serta melakukan kerja sama, baik dengan BUMN maupun swasta.

Selain itu, badan otorita ini harus melakukan persiapan dan pembangunan. Mulai menyusun struktur pola tata ruang, pembangunan infrastruktur dan gedung fasilitas pemerintahan, mengendalikan proses pembangunan sarana prasarana, serta mengelola dan memelihara gedung dan fasilitas publik.

Proses politik

Cuma, sebelum pembangunan ibu kota baru bergulir, Bambang menegaskan, memerlukan proses keputusan politik guna menentukan waktu perencanaan sampai implementasi. Sebab, pemindahan ibu kota mesti mengubah undang-undang (UU). Maklum, posisi Jakarta sebagai ibu kota negara tertuang dalam UU Nomor 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan DKI Jakarta Raya Tetap Sebagai ibu kota Negara Republik Indonesia dengan Nama Jakarta.

Perubahan beleid tersebut membuat pemerintah tidak bisa jalan sendirian. Pemindahan ibu kota memang harus ada ada upaya politik berupa perubahan undang-undang, sehingga harus konsultasi dengan DPR, tambah Bambang.

Bambang berharap, proses politik itu bisa kelar secepatnya sehingga pemindahan ibu kota bisa bergulir tahun depan. Menurutnya, butuh waktu 5 sampai 10 tahun untuk menyelesaikan seluruh proses pemindahan ibu kota RI. Bila prosesnya mulai berjalan di 2020, maka ibu kota baru akan berdiri pada 2030 nanti.

Biar prosesnya cepat, Zainudin Amali, Ketua Komisi II DPR, meminta pemerintah segera memulai studi dan kajian mendalam. Studi seperti apa, tentu akan dimintakan persetujuan dengan DPR, katanya.

Itu sebabnya, Zainudin menegaskan, pemindahan ibu kota harus disertai perencanaan yang matang, agar tidak sekadar memindahkan saja. Pemerintah dalam memutuskan lokasi ibu kota baru mesti memikirkan daya dukung dan infrastruktur apa saja yang masih perlu dipersiapkan.

Pemerintah juga perlu melakukan perencanaan jangka panjang. Jadi, jangan hanya sekadar memindahkan tapi perencanaan tata ruang dan sebagainya tak dipersiapkan untuk puluhan tahun ke depan, kata politisi Fraksi Partai Golkar ini.

Achmad Baidowi, Anggota Komisi II DPR, menandaskan, perencanaan yang sangat matang mutlak diperlukan untuk mencegah masalah yang sama di Jakarta terulang di ibu kota yang baru. Termasuk menyiapkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana detail tata ruang (RDTR), agar tak mengulang kesalahan Jakarta, ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan ini.

Menurut Baidowi, banyak masalah yang perlu pemerintah perhatikan saat membangun ibu kota baru kelak. Mulai masalah kemacetan, infrastruktur, hingga faktor bencana alam. Jangan sampai ibu kota baru justru macet, banjir, dan kriminalitas menjadi masalah anyar. Maka itu, tak ada salahnya pemerintah belajar dari negara-negara yang berhasil melakukan pemindahan ibu kota.

Yayat Supriatna, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, mengatakan, kriteria ibu kota baru memang harus memenuhi semua aspek, baik ketersediaan infrastruktur, lahan, daya dukung air, maupun kebencanaan. Ketersediaan lahan jadi salah satu faktor penting agar tidak perlu ada masalah pembebasan lahan seperti yang terjadi di Jawa. Lokasinya bisa dikonversi dari tanah hutan milik negara, ungkap dia.

Dari aspek mitigasi bencana, daerah yang pemerintah tetapkan sebagai ibu kota baru mesti bebas dari bencana, baik gempa, asap, ataupun banjir. Kemudian, lokasi itu minimal sudah dapat dukungan berupa ketersediaan infrastruktur yang bagus. Salah satunya adalah infrastruktur transportasi.

Misalnya, sudah ada bandara berskala internasional dan pelabuhan laut yang bisa mendukung kemudahan untuk logistik. Selain juga tersedia jaringan jalan yang bisa mengakses lokasi itu dari berbagai daerah sekitarnya, tambah Yayat.

ibu kota yang baru juga kudu sudah memiliki economic base, sehingga punya potensi untuk tumbuh kembang secara cepat. Bukan cuma itu, Yayat menyebutkan, ibu kota baru haruslah mencerminkan wajah Indonesia di masa depan sekaligus bisa menjadi smart city dan layak huni. Jadi, betul-betul kota masa depan tapi tidak mengabaikan aspek kota yang nyaman dan liveable, dan layak untuk dihuni. Jangan model sekarang, di mana-mana banyak yang kumuh, tuturnya.

Berdasarkan semua kriteria tersebut, Yayat menyatakan, kota yang cukup representatif untuk menjadi ibu kota baru adalah Palangkaraya di Kalimantan Tengah. Lagipula, kota tersebut sudah ada kajiannya dari Bappenas. Daerah lain belum ada kajiannya, ujar dia.

Memang, Yayat menegaskan, membangun kota baru apalagi ibu kota negara tidak bisa sekejap. Pasalnya, membangun kota sama dengan membangun peradaban yang bisa memakan waktu 20 hingga 30 tahun.

Yang tidak kalah penting adalah membangun kehidupan masyarakat dan ekonomi serta menggerakkan semua sektor yang ada. Jadi, jangan bayangkan seperti orang pindahan rumah, ya, tegas Yayat.

Itu berarti, proses memindahkan ibu kota negara kita masih jauh. Jadi, para PNS jangan terlalu resah dan galau dulu.

Terbaru