KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar urusan cuaca ekstrem. Hujan hanyalah pemicu. Badan Meteorologi dan Geofisika atau BMKG menjelaskan, Siklon Tropis Senyar sebagai penyebab utama hujan dengan curah tinggi yang melanda daerah bencana tersebut.
Secara ilmiah, hal itu benar. Namun, kita tidak sepatutnya menyalahkan siklon tropis sebagai satu-satunya penyebab utama banjir bandang tersebut. Pasalnya, terdapat jejak kerusakan alam yang maha dahsyat di balik bencana itu.
Di berbagai video yang viral, terlihat banjir bandang di Batangtoru, Tapanuli Selatan, membawa ribuan batang kayu raksasa. Bukan kayu yang tumbang natural. Bukan sisa pepohonan yang hanyut. Kayu-kayu ini mulus, tanpa kulit, sudah terpotong rapi, ukurannya besar, dan jumlahnya tidak masuk akal.
Pertanyaannya, dari mana asalnya? Siapa yang menebang? Dan, kenapa bisa sebanyak itu? Inilah yang membuat masyarakat curiga. Inilah yang membuat publik berkata: "Ini bukan semata-mata amukan alam. Ada jejak manusia di sini."
Ya, ini soal jejak yang tertinggal di hulu sungai, bukan sekadar bencana alam.
Mungkinkah itu jejak pejabat dan korporasi? Kecurigaan itu tidak berlebihan, mengingat ada banyak perizinan yang lahir dari meja kekuasaan telah mengubah hutan di hulu sungai menjadi ladang konsesi. Dalam praktiknya, izin itu membuka pintu bagi eksploitasi di wilayah yang seharusnya menjadi benteng ekologis.
Ujung-ujungnya masyarakat yang menjadi korban. Korban dari masifnya pembukaan lahan perkebunan hingga perluasan area tambang. Ditambah lagi maraknya pembalakan liar oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Pada akhirnya hilanglah tutupan hutan di wilayah hulu. Padahal, kita tahu, hutan adalah rem hidrologi alami. Ketika hutan dirusak, banjir bandang bukan lagi sekadar risiko, tapi kepastian.
Padahal, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sudah jelas menyebut bahwa kawasan hutan lindung tidak boleh dialihfungsikan jika berpotensi menimbulkan erosi dan banjir.
Namun, aturan selalu dibuat untuk dilanggar. Yang terpenting bagi mereka yang serakah, cuan terus mengalir, tanpa peduli kerusakan alam.
Bencana ini harus dijadikan momentum bagi pemerintah untuk membenahi tata kelola hutan.
