Kaji Lagi Penggabungan Produksi Rokok, Pemerintah Ingin Setarakan Golongan Cukai
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Petugas bea cukai tampaknya harus bekerja keras untuk mencapai target penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun ini.
Maklum, pemerintah telah memutuskan tidak mengerek tarif cukai hasil tembakau pada tahun ini. Selain itu, pemerintah juga menghentikan sementara rencana penggabungan jumlah produksi hasil tembakau jenis mesin dalam penentuan tarif cukai hasil tembakau.
Padahal, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, penerimaan cukai hasil tembakau ditargetkan naik 7,15% dibandingkan target tahun 2018 lalu.
Dalam APBN 2019, pemerintah menargetkan penerimaan cukai hasil tembakau sebesar Rp 158,86 triliun. Tahun lalu, penerimaan cukai hasil tembakau mencapai Rp 152,9 triliun atau 103,17% dari target APBN 2018 sebesar Rp 148,23 triliun.
Hingga 27 Juni lalu, berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai, penerimaan cukai hasil tembakau mencapai Rp 62,23 triliun. Dibandingkan periode sama tahun lalu, jumlah tersebut naik 15,38%.
Namun, dibandingkan target sepanjang tahun ini, penerimaan cukai hasil tembakau hingga 27 Juni lalu itu baru mencapai 39,16%. Itu artinya, sepanjang paruh pertama tahun ini, penerimaan cukai hasil tembakau belum mencapai separuh dari target.
Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi, Direktorat Jenderal Bea Cukai Deni Surjantoro mengatakan, tahun ini memang tidak ada penyesuaian tarif cukai hasil tembakau meskipun target penerimaan cukai hasil tembakau naik.
Karena itu, fokus Ditjen Bea dan Cukai dalam upaya mencapai target adalah dengan extra effort malalui pengawasan masif. "Kami lakukan operasi gencar-gencaran untuk menggempur rokok ilegal," ujar Deni.
Selain tak menaikkan tarif, pemerintah pada tahun lalu juga menghentikan sementara peta jalan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau yang sebelumnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/PMK.1010/2017.
Dalam peta jalan tersebut, pemerintah berencana melakukan penyederhanaan struktur tarif cukai selama periode 2018-2021. Secara bertahap, pemerintah akan menyederhanakan struktur tarif cukai menjadi 5 layer.
Dalam peta jalan tersebut, pemerintah juga berencana melakukan penggabungan jumlah produksi untuk pabrikan yang memproduksi hasil tembakau jenis mesin, yakni sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM), dalan penentuan tarif.
Kebijakan tersebut untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dan mendorong pengenaan beban cukai berdasarkan jenis industri, yakni industri yang padat modal dan industri padat karya.
Pro dan kontra
Ketentuan penggabungan produksi ini sejatinya mulai berlaku pada 1 Januari 2019. Penggabungan produksi ini merupakan salah satu tahapan proses simplifikasi pada tahun 2020, yakni penyamaan tarif SKM da SKT.
Sayang, tahun lalu, pemerintah membatalkan ketentuan tersebut. Melalui PMK Nomor 156/PMK.010/2018, pemerintah menghapus pasal 3 PMK Nomor 146/2017 yang mengatur mengenai penggabungan produksi SKM dan SPM.
Rencana penggabungan jumlah produksi SKM dan SPM dalam penentuan tarif cukai memang menimbulkan pro dan kontra. Sebagian pihak mendukung namun tidak sedikit pula yang menolaknya.
Mereka yang kontra berdalih penggabungan batasan produksi SPM dan SKM menciptakan sederet dampak negatif.
Pertama, kebijakan ini bisa mematikan pabrikan kecil lantaran tidak mampu bersaing dengan pabrikan besar asing yang punya kekuatan modal.
Kedua, kebijakan ini akan mematikan industri rokok kretek sehingga semakin menguatkan oligopoli segelintir pabrikan rokok.
Ketiga, kesejahteraan petani tembakau akan terancam, bahkan banyak orang di industri ini terancam kehilangan pekerjaan.
Gabungan Perserikatan Pabrik Rook Kretek Indonesia (Gappri) jauh-jauh hari telah mengimbau agar pemerintah tidak malakukan generalisasi terhadap produk rokok jenis kretek dan rokok putih. Makanya, pada tahun lalu, Gappri meminta agar pemerintah mengkaji kembali kebijakan simplifikasi cukai tembakau.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji juga terang-terangan menolak kebijakan penggabungan jumlah produksi.
Agus mengatakan, APTI sejak lama telah memberikan saran kepada pemerintah agar simplifikasi tarif cukai hasil tembakau dibatalkan.
Menurut Agus, secara generik bilogis, produk SKM berbeda dengan produk SKT. Secara kultural, produk rokok kretek merupakan produk Indonesia. Sehingga, tidak bisa tarifnya disamakan maupun digabungkan.
Jika produksi SKM dan SPM digabungkan dalam penentuan tarif dan tarifnya ke depan disamakan, produk rokok kretek sebagai penyerap bahan baku lokal akan semakin tergerus karena tidak mampu melawan kekuatan merek internasional.
Dengan sendirinya, petani tembakau akan terkena dampak negatifnya. "Hampir 100% produksi tembakau lokal diserap oleh industri nasional yang memproduksi rokok kretek," ujar Agus.
Sementara itu, Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) termasuk salah satu organisasi yang mendukung kebijakan penggabungan produksi rokok SPM dan SKM.
Ketua Harian Formasi Heri Susianto mengatakan, masih banyaknya pabrikan rokok besar yang menikmati tarif cukai murah dengan berlindung di balik aturan penggolongan tarif yang berlaku sekarang.
Celah tarif
Seperti diketahui, pemerintah menetapkan golongan pengusaha pabrik hasil tembakau berdasarkan jenis rokok dan batasan jumlah produksi. Untuk rokok sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM), batasan jumlah produksi adalah 3 miliar batang.
Pengusaha dengan produksi lebih dari 3 miliar batang masuk di golongan I. Sementara pengusaha dengan produksi di bawah 3 miliar batang masuk golongan II.
Sementara tarif cukai rokok ditentukan berdasarkan jenis rokok, golongan pengusaha, dan batasan harga jual eceran per batang.
Rokok jenis SKM di golongan I produksi dalam negeri dengan batasan harga jual paling rendah Rp 1.120 per batang, misalnya, akan dikenakan tarif cukai sebesar Rp 590 per batang.
Sementara SKM golongan II A dengan harga jual lebih dari Rp 895 per batang dikenakan tarif cukai Rp 385 per batang. Untuk SKM golongan II B dengan harga jual Rp 715-Ro 895 per batang, tarif cukainya sebesar Rp 370 per batang.
Saat ini, mayoritas pasar rokok di Indonesia dikuasai enam pabrikan besar. Mereka adalah PT HM Sampoerna Tbk, PT Gudang Garam Tbk, PT Djarum, British American Tobacco (BAT) melalui anak usahanya PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA), Japan Tobacco International, dan KT&G.
Meski tergolong besar dan bermodal kuat, masih ada beberapa pabrikan yang masih membayar tarif cukai rendah dengan memanfaatkan pemisahan kategori SKM dan SPM serta batasan produksi 3 miliar batang pada masing masing kategori.
Produk SPM Mevius dari Japan Tobacco Indonesia, misalnya, memakai tarif Rp 370 per batang. Begitu pula dengan produk SPM merek Esse Blue dari KT&G.
Produk SPM yang diproduksi Bentoel seperti Lucky Strike juga memakai tarif golongan II. Namun, untuk produk SKT, Bentoel dikenakan tarif golongan I.
Dalam wawancara beberapa waktu lalu, manajemen Bentoel mengatakan, Undang-Undang Cukai Nomor 39 Tahun 2007 menyatakan bahwa yang termasuk barang kena cukai (BKC) adalah produk rokok, bukan perusahaan rokok.
Sesuai PMK, batas produksi untuk SPM Golongan I diatur minimal sebesar 3 miliar batang per tahun. Nah, manajemen Bentoel mengatakan, SPM produksi Bentoel masih berada di Golongan 2A karena volume produksi belum mencapai 3 miliar batang per tahun.
Pabrikan besar yang menggunakan tarif golongan II maupun lebih rendah memang tidak melanggar aturan. Asalkan, produksi mereka untuk SPM dan SKM masing-masing kurang dari 3 miliar batang per tahun.
Pemisahan jumlah produksi ini menimbulkan celah. Demi memperoleh tarif cukai lebih murah, bukti tidak mungkin perusahaan rokok membatasi produksinya tetap di bawah 3 miliar batang. Dengan begitu, tarif cukai produk mereka bisa lebih rendah.
Situasi inilah yang membuat Formasi terus mendorong pemerintah merealisasikan penggabungan jumlah produksi SPM dan SKM dalam penentuan tarif cukai.
Aturan yang berlaku sekarang, menurut Heri, membuka peluang bagi pabrikan besar memanfaatkan tarif layer-layer kecil yang murah untuk merebut pasarnya. “Mereka berlindung ke dalam peraturan cukai padahal merupakan perusahaan besar dan bermodal kuat," kata Heri.
Bagaimana pun, menurut Heri, jika praktik penggolongan tarif seperti saat ini terus berlangsung, pabrikan rokok besar, khususnya asing, akan terus menikmati tarif cukai murah.
Ujung-ujungnya, pabrikan rokok kecil semakin tertekan hingga akhirnya mati. Pasalnya, mereka terpaksa harus berkompetisi secara langsung dengan pabrikan besar asing yang memiliki kekuatan modal dan pemasaran yang besar.
Deni mengamini, memang ada perusahaan asing yang memanfaatkan celah aturan saat ini untuk membayar tarif cukai lebih murah. "Tapi, tidak semua melakukan itu," katanya.
Penyetaraan arena bermain
Karena itu, pemerintah tetap berupaya menutup celah tersebut melalui penggabungan batasan produksi SPM dan SKM dan melalui penyederhanaan layer tarif cukai. "Belum tahu waktunya kapan karena masih rapat pendahuluan," ujar Deni.
Meski ketentuan penggabungan jumlah produksi rokok dalam penentuan tarif cukai telah dihapus, Kementerian Keuangan masih akan menerapkan kebijakan tersebut.
Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu Nasruddin Djoko Surjono mengatakan, melalui penggabungan jumlah produksi dan simplifikasi tarif cukai hasil tembakau, pemerintah ingin membidik beberapa tujuan sekaligus.
Pertama, pengendalian konsumsi hasil tembakau. Kedua, penyetaraan arena bermain alias level playing field dengan adanya celah layer tarif. Ketiga, meningkatkan kepatuhan. Keempat, kemudahan administrasi. Kelima, pada akhirnya adalah mengoptimalkan penerimaan negara.
Meski begitu, pemerintah ingin tetap berhati-hati dalam menerapkan kebijakan tersebut. Makanya, Nasruddin bilang, kebijakan penggabungan jumlah produksi rokok dalam penentuan tarif cukai saat ini masih dibahas di internal Kementerian Keuangan.
Nasruddin mengatakan, Kementerian Keuangan sedang melakukan pengkajian simulai terkait dampak penggabungan jumlah produksi rokok dalam penentuan tarif cukai rokok dari beberapa aspek.
"Tentunya akan ada pembahasan kembali dengan melibatkan stakeholders terkait bersamaan dengan pembahasan kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau," ujar Nasruddin.
Terkait dampak kebijakan penggabungan jumlah produksi rokok dalam penentuan tarif cukai terhadap industri rokok kretek, pelaku usaha tampaknya tak perlu khawatir. Sebab, Nasruddin mengatakan, kebijakan cukai hasil tembakau tetap mempertimbangkan faktor tenaga kerja.
Menurut Nasruddin, golongan pabrikan kecil sigaret kretek tangan (SKT) tetap dipertahankan untuk tidak disamakan tarif cukainya dengan pabrikan besar.
"Bayangkan, pabrikan kretek mesin dalam satu hari bisa menghasilkan 6 juta batang rokok per mesin. Sedangkan pabrikan sigaret kretek tangan satu hari hanya menghasilkan 3.000 batang rokok per orang," ujar Nasruddin.
Toh, penyamaan tarif cukai SKM dan SPM sebetulnya bukanlah gagasan baru. Wacana tersebut sudah bergulir dan diinformasikan kepada pemangku kepentingan sejak 2017.
Pemerintah memang memiliki beberapa pertimbangan untuk menyamakan tarif cukai SKM dan SPM. Pertama, keduanya adalah produk mesin dan produk yang padat modal sehingga tidak bisa disamakan dengan produk padat karya yang dibuat tangan.
Kedua, tarif cukai SKM dan SPM golongan IA pernah dikenakan tarif cukai yang sama pada tahun 2010 dan 2011.
Ketiga, sampai saat ini satu pabrikan masih dimungkinkan memproduksi SKM dan SPM dengan beda golongan. Misalnya, pabrikan SPM berada di golongan I namun juga memproduksi SKM golongan 2 sehingga dalam satu pabrikan sigaret mesin tarif cukainya bisa berbeda berbeda.
Karena itulah, Nasruddin bilang, pemerintah terus mengkaji penyetaraan arena bermain alias level playing field industri rokok, terutama pada pabrikan sigaret mesin yang memiliki dua golongan tarif cukai dan memiliki rencana pengembangan pasar ke depan dengan modal intensif yang besar.
Harapannya, kata Nasruddin, terjadi kesetaraan kategori golongan. Pabrikan besar akan berkompetisi dengan pabrikan besar. Sebaliknya, pabrikan kecil akan berkompetisi dengan yang kecil. "Yang besar membayar cukai lebih tinggi, bukan yang besar membayar cukai lebih rendah," tegas Nasruddin.
Harapan semacam itu tentu patut didukung agar terwujud. Jangan sampai pabrikan rokok kecil ibarat pelanduk yang mati di tengah-tengah pertarungan para gajah.