Berita Opini

Karier dan Progres Individual

Oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan
Minggu, 28 Maret 2021 | 11:25 WIB
Karier dan Progres Individual

Sumber: Tabloid Kontan | Editor: Hendrika

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Seorang karyawan muda membagikan pengalaman kerjanya yang baru seumur jagung kepada saya. Ada satu fenomena yang lazim terjadi pada saat ini, yang disebutnya dengan istilah cross border. Jangan salah mengerti, cross border yang dimaksud di sini bukan dalam pengertian lintas batas negara, namun lebih dalam konteks ketidaksearahan antara pilihan awal dengan pilihan berikutnya.

Ia mengambil contoh, dia dan beberapa teman semasa SMA mengambil jurusan IPA alias eksakta, namun menempuh kuliah di rumpun ilmu sosial semisal: ekonomi, sosial-politik, hukum dan sebagainya. Padahal, mereka menyadari bahwa tujuan penjurusan pada saat SMA adalah untuk memfokuskan bakat dan minat pelajar, dan dengan demikian seharusnya mempermudah para murid menentukan bidang kuliah yang relevan di masa depan.

Pengalaman unik lain terjadi pada seorang rekan muda lainnya. Sedari bangku SMP, ia sudah membangun cita-cita menjadi seorang dokter. Berbagai macam buku terkait ilmu biologi dipelajari dan dipahaminya dengan baik. Tampaknya, aksi para dokter di dalam serial film Greys Anatomy yang begitu hits beberapa waktu lalu, sangat menginspirasinya untuk memilih profesi medis.

Namun apa yang terjadi? Ternyata, pada saat detik-detik terakhir pendaftaran kuliah, yang bersangkutan mendadak berubah haluan. Dia akhirnya memilih untuk menempuh perkuliahan di bidang ilmu psikologi. Dan, pada gilirannya, ternyata dia pun bisa meninggalkan hasratnya untuk menjadi seorang dokter, dan menikmati pilihan studi yang baru.

Beberapa orangtua melihat fenomena cross border ini sebagai sebuah kekeliruan, yang membuat seseorang menjadi tak fokus dan punya determinasi dalam memburu suatu karier di masa depan. Kita cenderung berharap bahwa hidup seseorang, termasuk kehidupan karirnya, berjalan secara linier. Siapa sih yang nggak pengen kariernya meningkat, adalah pertanyaan yang seringkali muncul di kepala banyak saat diskusi urusan pekerjaan.

Peningkatan golongan dari seorang officer menjadi supervisor, terus sebagai manajer, hingga akhirnya menjadi direktur, adalah gambaran paling konkret tentang definisi karier bagi banyak orang. Karier dimaknai sebagai suatu status sosial ataupun capaian profesional.

Namun, sesungguhnya ada dimensi karier dalam pengertian yang lebih luas dan mendalam, yang bersifat lintas ilmu, profesi dan juga organisasi. Karier juga bisa dimaknai sebagai sebuah progres individual, yang bisa diraih siapa saja tanpa memandang bidang profesi dan jenjang jabatan seseorang.

Sekalipun seseorang tak memiliki bidang profesi yang terpandang dan derajat pekerjaan yang mentereng, tak berarti ia tak memiliki karier cemerlang. Karena, dalam konteks ini, peningkatan karier ditandai dengan adanya pengalaman pembelajaran dan progres individual yang dirasakan oleh seseorang.

Tekanan sosial

Saat seseorang memahami karier sebagai progres individual yang bersifat personal bukan sekadar peningkatan status sosial dan gengsi profesional -, sikap terhadap pekerjaan akan menjadi lebih positif dan kaya. Orang tak akan mengandalkan tekanan sosial dan gengsi profesi untuk mendongkrak kualitas dirinya, namun justru bersandar kepada kompetensi dan kecintaannya terhadap suatu bidang pekerjaan.

Dalam konteks cerita dua sahabat muda di atas, boleh jadi derajat jurusan IPA yang dianggap berkelas dan profesi dokter yang dipersepsikan prestisius, telah menjadi social pressure yang ikut menentukan pilihan mereka pada awalnya. Sekalipun, bidang tersebut bukanlah talenta dan hasrat asalinya.

Marshall Goldsmith dan Mark Reiter, dalam bukunya Mojo: How to Get It, How to Keep It, and How to Get It Back If You Lose It (2009), memberikan contoh menarik tentang seorang pramusaji yang hebat. Ia dengan sadar memilih pekerjaan pramusaji bukan karena tak bisa bekerja di tempat lain -, dan menjalankan tanggungjawabnya dengan baik.

Ia gembira, bahkan bangga dengan identitasnya sebagai seorang pramusaji, yang oleh banyak orang dianggap tak prestisius. Karena ia bekerja dengan kecintaan yang dalam, kegembiraannya bekerja juga terpantul ke lingkungan sekitar; termasuk tamu-tamu yang dilayaninya. Hasilnya? Ia pun seringkali mendapatkan tips yang lebih besar dibandingkan rekan kerjanya yang bekerja pas-pasan dan melakukan tugas hanya karena tuntutan tanggung-jawab.

Walaupun hanya sekadar seorang pramusaji, toh ia mengalami progres individual yang luarbiasa. Semakin terampil melayani tamu secara baik, menikmati kegembiraan dalam bekerja, dan juga memperoleh penghasilan (terutama dari tips) yang lumayan besar.

Bagi pemburu progres individual, kecintaan terhadap pekerjaan lebih penting daripada pencapaian profesional ataupun status sosial. Harry F. Harlow, guru besar psikologi Universitas Wisconsin, mengatakan bahwa bagi orang yang bekerja dengan rasa cinta, pelaksanaan tugas itu sendiri sudah merupakan hadiah. Karena, rasa cinta mendatangkan kegembiraan dan sukacita.

Terbaru