Keadilan Iklim COP30
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setiap kali hujan turun, Asmawati (49), warga Penjaringan, Jakarta Utara, menyiapkan ember untuk menampung air. Bukan sebagai langkah hidup sehat atau ramah lingkungan, tetapi karena ia tak memiliki pilihan lain. Air hujan itu ia gunakan untuk mandi, mencuci, memasak, bahkan diminum oleh suami dan tiga anaknya.
Upah buruh serabutan yang tak menentu membuatnya mustahil membeli air bersih. Sementara air tanah di wilayah pesisir semakin asin, berbau, dan tak layak konsumsi akibat intrusi air laut. Bertahun-tahun Asmawati mengandalkan air hujan tanpa mengetahui bahwa air itu telah tercemar mikroplastik.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap, mikroplastik kini ditemukan dalam air hujan di Jakarta, yang berasal dari serat pakaian sintetis, partikel ban juga dari pembakaran sampah plastik. Air yang dipandang sebagai karunia, justru membawa polutan tak kasat mata ke dalam tubuh manusia.
Asmawati hanyalah satu dari ribuan atau jutaan buruh pesisir yang berada di garis depan dampak krisis iklim. Pabrik tempat ia bekerja sejak lama telah tutup karena banjir rob yang berulang. Kenaikan muka air laut tak hanya merusak tempat tinggal, tetapi juga menghilangkan mata pencahariannya. Mereka korban paling nyata dari perubahan iklim, kehilangan pekerjaan, kehilangan sumber air bersih, kehilangan masa depan yang sehat.
Ironisnya, saat ribuan warga seperti Asmawati terhimpit oleh dampak perubahan iklim, Konferensi Para Pihak (COP) ke-30 justru sibuk membicarakan mekanisme pasar dan perdagangan karbon.
Agenda yang semestinya memperjuangkan keadilan iklim kini bergeser menjadi arena penghitungan berapa banyak karbon yang dapat diperdagangkan, dikapitalisasi, dan dijadikan instrumen bisnis.
Jika COP terus mengutamakan logika pasar alih-alih memusatkan perhatian pada penyintas krisis iklim, maka forum ini hanya menjadi panggung megah yang kehilangan arah moral. Keadilan iklim bukan angka di atas kertas, melainkan tentang hak untuk hidup layak, hak atas air bersih, hak atas lingkungan aman, hak untuk pekerjaan yang tidak hilang karena bumi memanas.
COP 30 harus kembali ke akarnya, memastikan rakyat yang paling terdampak mendapatkan perlindungan utama. Selama suara Asmawati dan korban dampak iklim lain tak menjadi pertimbangan dalam kebijakan COP, maka sebesar apa pun transaksi karbon, dunia tetap gagal menepati janji keadilannya.
