Keluh-kesah Warga Karantina dan Senyum Pengusaha Hotel yang Meraup Laba
KONTAN.CO.ID - Aroma tahun baru sudah dekat bagi Noverda yang sedang melancong ke Kota Kiev, Ukraina. Saat itu, tanggal yang tercantum di kalender ada di baris pertama bulan Desember 2021. Artinya, masih ada waktu ada tiga pekan buat Noverda untuk pulang ke Indonesia merayakan tahun baru 2022.
Ia tak mau berlama-lama wisata di Kiev, yang terkenal dengan arsitektur bangunan Eropa Timur. Agar bisa merayakan tahun baru di Indonesia, Noverda memutuskan pulang di pertengahan Desember. Usai beli tiket penerbangan ke Indonesia, Noverda lantas mencari informasi karantina.
Dari sinilah, sang traveller yang juga youtuber itu mendapatkan pengalaman pahit. "Kapok saya ke luar negeri seperti ini, karena kalau balik karantina 10 hari pakai uang sendiri," kata pria yang tinggal di Jakarta Selatan tersebut.
Noverda tak punya pilihan untuk karantina di fasilitas milik negara. Ia bukan pelajar dan juga pekerja migran yang berhak dapat fasilitas karantina gratis dari negara. Alhasil, Noverda bolak-balik angkat telepon untuk mencari informasi biaya karantina 10 hari. "Saya dapat tarif Rp 7,8 juta di hotel bujet, dan itu tarif sudah murah saat itu," kisah Noverda.
Memang ada pilihan hotel yang memiliki fasilitas lebih banyak dan nyaman, namun tarifnya lebih mahal. Setelah terbang dari Kiev sampai Jakarta, Noverda kemudian menginap di hotel tersebut, 10 hari lamanya. "Ada banyak aturan saat karantina. Tak boleh keluar kamar, tak boleh terima paket dari luar," kata Noverda.
Cerita tentang kebosanan saat karantina itu juga dialami oleh Karlina, warga Jakarta Timur. Karlina yang baru pulang melancong ke Amerika Serikat (AS) itu, awalnya, sudah memesan kamar untuk karantina selama tiga hari. Setelah kamar terpesan, aturan lama karantina berubah menjadi tujuh hari, dan kemudian bertambah lagi menjadi 10 hari. Karlina tentu gundah, karena akan membayar lebih banyak.
Kepanikan sempat menghantui Karlina. Apalagi jumlah hotel saat itu terbatas. Namun berbekal informasi dari teman-temannya di Indonesia, kepanikan perlahan sirna. Namun tetap, Karlina harus bayar lebih mahal untuk pesanan kamar hotel yang diperpanjang dari tiga hari menjadi 10 hari. "Tagihan awal Rp 2,9 juta, kemudian membengkak menjadi Rp 8,8 juta," kata karyawan di perusahaan swasta itu.
Karlina maupun Noverda tak habis pikir, kenapa proses karantina dilakukan selama itu. Sementara di negara lain cukup hanya memperlihatkan sertifikat vaksinasi saja. "Banyak yang bilang ini akal-akalan pihak hotel saja agar dapat tamu," kata Noverda.
Ia tidak melewati karantina saat berkunjung ke Kota Kiev. Begitu pula dengan pengalaman Karlina yang tak perlu karantina saat melancong ke AS.
Sesampai di bandara, Karlina sempat mengkhawatirkan penanganan penumpang saat baru turun pesawat yang banyak kerumunan. Ia melewati antrean pengecekan dokumen, tes usap PCR, hingga dijemput sopir hotel. Untuk proses administrasi ke luar bandara itu butuh waktu 4 jam. "Saat masuk hotel lewatnya tangga darurat. Begitu masuk kamar, setelah itu tak boleh lagi keluar," kata Karlina yang karantina di Yello Hotel, Manggarai.
Dari semua proses tersebut, pengalaman menginap 10 hari di hotel itulah yang paling berat bagi mereka. Selain tak bisa ke luar kamar, mereka juga tak bisa memesan makanan dari luar hotel. Baik yang dikirim keluarga, maupun yang memakai aplikasi pesan antar. "Tahu sendiri masakan hotel, terkadang tak sesuai dengan selera saya," kata Karlina.
Pengalaman yang sama juga dirasakan Noverda. Ia terpaksa menikmati menu hotel. Noverda sempat pesan mi cepat saji ke pihak hotel, namun kaget setelah menerima tagihannya. "Harga mi instannya Rp 35.000," kata Noverda tertawa.
Noverda sejatinya heran dengan regulasi terkait larangan pesan makanan dari luar tersebut. Kebijakan itu sama saja menutup akses bisnis restoran yang melayani jasa pesan antar. Selain itu, tak ada relevansi pengiriman barang dari luar hotel dengan potensi penularan Covid-19. "Semua jadi aneh. Kalau pesan makan, ya, harus ke hotel," pungkasnya.
Secara ringkas Noverda menyimpulkan, karantina rasanya sama dengan dipenjara. Selain makan yang dijadwal, ia juga tak bisa keluar kamar.
Beruntung Noverda memiliki gawai yang masih bisa terkoneksi dengan internet. "Saya minta kirim laptop ke buat bekerja tapi tak bisa. Akhirnya saya menonton film streaming di ponsel," ungkapnya.
Okupansi meningkat
Tapi bagi industri perhotelan, bagaikan mendapatkan durian runtuh. Mereka menikmati kedatangan warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA) yang datang di musim libur Natal dan tahun baru ini. Kewajiban karantina 10 hari memberi tenaga lagi bagi bisnis hotel yang lesu darah. "Kenaikan jumlah tamu signifikan di November dan Desember 2021," kata Sutrisno Iwantono, Ketua BPD Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta.
Beberapa pelaku usaha hotel yang diwawancarai KONTAN menceritakan tentang kenaikan tingkat okupansi hotel mereka. Jika sebelum Juli 2021 hotel mereka hanya mendulang okupansi di bawah 50%, dalam dua bulan terakhir naik sampai 80%. Bahkan, banyak cerita tentang hotel menolak tamu jkarena penuh.
Sutrisno menjelaskan, selain ada kebijakan wajib karantina 10 hari, industri perhotelan di Jakarta juga mendapat berkah dari geliat perkantoran yang mulai menggelar rapat di hotel. Selain instansi pemerintah pusat, banyak juga instansi pemerintah daerah bikin acara dan kunjungan kerja ke Jakarta. "Kehadiran instansi pemerintah yang melakukan rapat di hotel itu ikut membantu bisnis kami," kata Buchari Bachter, Direktur Hotel Balairung di Matraman, Jakarta.
Buchari bilang, ada dua lantai dari tujuh lantai di hotelnya yang kini dijadikan tempat karantina. Dua lantai tersebut terpisah dan sudah terisi 1,5 dari dua lantai yang disediakan. Buchari bilang, akses untuk dua lantai hotel tersebut terpisah, sehingga tidak bersinggungan dengan pengunjung tamu lain.
"Sebelum November okupansi kami hanya 50%, sekarang sudah sampai 70% sampai dengan 80%," kata Buchari.
Adapun sisa kamar lainnya, di Balairung banyak yang sudah dipesan kegiatan instansi pemerintah.
Informasi yang sama juga disampaikan oleh Mairysa Sipayung, General Manager Yello Hotel Manggarai di Jakarta. Ia bilang, geliat bisnis hotel semakin menggembirakan dalam dua bulan terakhir. Adapun pada waktu sebelumnya, mereka kembang-kempis memikirkan operasional bisnis. "Okupansi drop sekali, terutama bulan Juli 2021 lalu," kata Mairysa.
Beruntung kasus positif mereda, jumlah warga yang tertular virus Covid-19 berkurang. Pelonggaran aktivitas sosial mulai dilakukan, dan berbuah manis bagi bisnis perhotelan. Perlahan, tingkat kunjugan ke hotel naik kembali.
Jika dilihat dari kasat mata, kunjungan ke hotel perlahan tampak normal. Meski, ada yang berubah, seperti adanya kewajiban mengikuti prosedur kesehatan seperti wajib vaksinasi dua kali. "Sekarang okupansi kami perlahan naik di kisaran 80%," kata Mairysa.
Selain dari kunjungan tamu hotel yang datang untuk liburan, Yello Hotel Manggarai juga melayani tamu untuk karantina dengan jumlah 75 kamar dari 105 kamar. Mairysa menyebutkan, kebijakan karantina ikut membantu bisnis mereka yang terpuruk akibat pandemi.
"Kami sempat tak bisa membayar gaji karyawan. Kalau sekarang sudah membaik meski belum normal," kata Mairysa.
Menurut data yang dirangkum PHRI DKI Jakarta, jumlah pelancong yang mendarat di Bandara Soekarno-Hatta berkisar 1.000 orang hingga 1.500 orang per hari. Andai kata yang wajib untuk karantina di hotel dengan bayar mandiri separuhnya, maka ada sekitar 500 orang sampai dengan 750 orang yang harus memanfaatkan jasa karantina di hotel.
Jika satu orang dikenakan rata-rata tarif karantina Rp 7 juta untuk 10 hari, maka pihak hotel mendapat pendapatan Rp 3,5 miliarRp 5,25 miliar. Perlu diketahui, paket karantina yang dibanderol oleh pengusaha hotel itu berada dikisaran harga Rp 6,8 jutaRp 17 juta, ter-gantung dari fasilitas dan jumlah bintang hotel yang dipilih.
Contoh kasus, Yello Hotel Manggarai memiliki 75 kamar untuk karantina. Jika seluruh kamar digunakakan, maka dengan banderol Rp 8,8 juta per orang per kamar, maka pendapatan hotel untuk 10 hari karantina mencapai Rp 660 juta. Pendapatan ini masih potensi jika semua kamar karantina penuh. Ini belum termasuk kontribusi pendapatan dari tamu reguler dan paket rapat. "Bisnis kami lebih baik dan repatriasi (karantina) membantu kami," kata Mairysa.
Tak berbintang merana
Hanya sayangnya, tak semua pelaku bisnis hotel bisa meraup berkah dari perayaan Natal dan Tahun Baru 2021 ini. Banyak juga pelaku usaha jasa hotel, khususnya bintang 1 dan 2, yang hanya bisa gigit jari melihat pengusaha hotel lainnya pesta pora. Memang, masih ada yang beruntung, meski bisa mendapatkan tamu reguler yang jumlahnya sedikit.
Bagi yang tak beruntung, mereka memilih meninggalkan bisnis hotel dan memajang iklan penjualan hotelnya di market place. Hotel-hotel yang dijual itu kebanyakan hotel non bintang dengan banderol harga miliaran rupiah saja. Sutrisno bilang, ada banyak pengusaha hotel yang melepas hotelnya karena tak kuasa melanjutkan bisnis setelah didera pandemi.
Sejatinya, saat liburan ini, sektor bisnis bintang satu dan dua juga tak banyak mendapatkan manfaat. Karena yang menginap di tempat mereka adalah pekerja yang melakukan perjalanan dinas, kunjungan kerja, dan kepentingan usaha. Kini, hotel mereka kosong karena banyak pelaku usaha mengurangi biaya perjalanan, termasuk menginap di hotel. "Mereka seharusnya bisa jadi hotel karantina, tetapi tidak diberikan," kata Sutrisno.
Banyak anggapan hotel non bintang tak bisa melayani tamu karantina, dengan alasan keterbatasan fasilitas yang ditentukan Satgas Covid-19. Di antara syarat yang dibutuhkan untuk menjadi hotel karantina adalah bisa memisahkan pintu masuk tamu karantina dengan tamu reguler.