KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024 yang melambat menjadi 4,95% harusnya menjadi cermin pemerintah untuk menentukan kebijakan ekonomi ke depan yang lebih realistis. Pemerintah juga sudah seharusnya tidak memaksakan menerapkan kebijakan ekonomi yang membebani masyarakat.
Apalagi ekonomi Indonesia sangat tergantung dengan konsumsi rumah tangga. Konsumsi masyarakat ini masih menjadi kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sebagai gambaran, pada kuartal III 2024, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,91% year on year dan menyumbang 53,08% pertumbuhan ekonomi nasional.
Sumbangan konsumsi rumah tangga itu melambat dari kuartal II-2024 yang berandil 54,54% ke pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan 4,93%. Pelambatan mengonfirmasi adanya penurunan daya beli.
Celakanya pemerintah malah akan menerapkan kebijakan yang potensial makin menekan daya beli masyarakat. Kita mendapat kabar pemerintah tetap ngotot ingin menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai awal tahun depan.
Alasannya karena sudah dipersiapkan lama dan kenaikan tarif PPN mulai tahun 2025 itu amanah dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Kita memahami pemerintah butuh tambahan penerimaan terutama dari pajak untuk membiayai belanja negara yang besar akibat sejumlah program unggulan pemerintah yang memakan anggaran jumbo. Menaikkan tarif PPN adalah cara instan untuk mendapatkan tambahan setoran pajak dalam jumlah besar.
Persoalannya, masyarakat yang terdampak langsung kebijakan kenaikan pajak konsumsi ini sedang terbebani penurunan daya beli. Ini ibarat baru mau bangkit sudah harus bersiap akan kena pukulan lagi.
Belum lagi, tambahan beban sejumlah tarif yang boleh jadi juga akan naik tahun depan. Seperti tarif iuran layanan BPJS Kesehatan, iuran tabungan perumahan rakyat, lalu ada rencana dana pensiun wajib. Belum lagi kalau rencana pembatasan BBM jadi berjalan untuk menghemat belanja subsidi energi.
Itu semua rentan menurunkan lagi daya beli yang buntutnya bisa makin menekan ekonomi.
Di kondisi pelemahan daya beli, berkurangnya jumlah kelas menengah dan maraknya PHK, pemerintah mestinya lebih mengedepankan kebijakan insentif fiskal. Bukan disinsentif dengan menaikkan tarif pajak yang potensial bikin masyarakat kembali terhuyung-huyung.