KONTAN.CO.ID -LOS ANGELES. Saat Presiden Donald Trump menaikkan tarif atas barang buatan China, Fracis O Brien tidak puya pilihan selain menaikkan harga setiap produk furniture di tokonya sebesar 4%.
O’Brien yang memiliki dua toko ritel Furniture Market di Modesto Kalifornia itu berupaya menutup tambahan biaya impor, yang muncul dari kebijakan Trump menaikkan tarif impor atas produk China menjadi 25%. Kenaikan tarif itu mulai berlaku hari ini. “Saya tidak punya pilihan lain. Saya kesulitan menyisir sekitar 5.000 jenis item yang ada di toko saya, untuk menentukan mana yang diimpor dari China,” tuturnya, seperti dikutip Reuters.
Kebijakan terbaru Trump bisa dipastikan akan memusingkan O’Brien lagi. Pada Kamis lalu, Presiden Trump menyatakan akan memberlakukan tarif 5% untuk seluruh produk yang diimpor dari Meksiko. Tarif itu akan dinaikkan hingga 25% pada Oktober mendatang, jika Meksiko gagal menahan gelombang warga yang memasuki AS secara gelap. “Saya belum tahu apa yang harus dilakukan jika kebijakan atas Meksiko itu benar-benar berlaku,” tutur O’Brien.
O’Brien bukan satu-satunya pebisnis furniture di AS yang dipusingkan dengan kebijakan perdagangan Trump. Lebih dari selusin peritel, pemasok dan produsen furniur yang diwawancara Reuters menyatakan harus menggunakan jurus khusus untuk meminimalisir dampak kenaikan tarif impor atas produk China.
Sebagian pebisnis furniture di AS menaikkan harga jual, seperti O’Brien. Pebisnis lain memilih untuk membatalkan atau menunda pembelian. Ada juga yang merevisi kontrak jual beli, mengganti sumber pasokan dan membuat kesepakatan tentang pembagian beban tambahan, akibat kebijakan yang bersumber dari perselisihan dagang Beijing-Washington.
Ketika Trump mengenakan tarif sebesar 10% atas barang impor asal China untuk pertama kalinya pada September lalu, para pebisnis furnitur di AS memilih untuk menanggung sendiri kenaikan tersebut.
Ambil contoh Manwah Holding, yang merupakan pembuat bangku dan sofa asal Shenzen. Saat tarif impor barang asal China naik 5% menjadi 10%, perusahaan yang mencetak omzet senilai US$ 470 juta per tahun itu menanggung sendiri kenaikan tarif barang impor asal China menjadi 10%, dari semula 5%.
Namun begitu Trump mengerek tarif lebih tinggi lagi menjadi 25%, Manwah terpaksa melakukan negosiasi ulang dengan para peritel yang dipasoknya di AS. “Kami berkomitmen untuk ikut menanggung dampak dari kenaikan tarif tersebut. Namun besar kenaikan tarif yang kami tanggung akan bergantung pada hasil negosiasi kami dengan masing-masing peritel,” ujar Kevin Castellani, jurubicara Manwah seperti dikutip Reuters.
Namun hanya perusahaan berskala besar semacam Manwah yang mampu menawarkan solusi tersebut. Sedang kebanyakan pemain di pasar furnitur AS yang bernilai US$ 114 miliar merupakan pemain kelas menengah bawah, yang harus kerepotan menanggung kenaikan harga beli akibat naiknya tarif impor.
Mengutip analisis yang disusun perusahaan investment banking Mann, Armistead & Epperson, AS mengimpor furnitur berbahan kayu senilai US$ 5,7 miliar dan furnitur logam serta bahan lainnya senilai US$ 7,2 miliar dari China sepanjang tahun lalu. Nilai impor furnitur berlapis kain mencapai US$ 5,3 miliar di periode yang sama. Impor furnitur dari China lainnya adalah matras, yang nilainya mencapai US$ 1 miliar.
Ada juga peritel di AS yang terpaksa membatalkan pesanan karena pemasoknya menolak untuk ikut menanggung kenanikan tarif. Contohnya RC Willey Home Furnishing, jaringan ritel furnitur yang dimiliki perusahaan investasi Berkshire Hathaway. Jeff Child, Presiden RC Willey membatalkan pesanan bangku dan sofa kulit dari China, gara-gara sang pemasok enggan menanggung kenaikan tarif. Pesanan yang dibatalkan itu sebanyak 15 kontainer dengan nilai US$ 300.000.
Saat tarif impor naik menjadi 10%, kebanyakan pemasok RC Willey bersedia menanggung separuh dari lonjakan harga. Namun mereka tak lagi sanggup menanggung beban ekstra di saat tarif dikerek hingga 25%. “Terlalu berat bagi mereka,” tutur Child.
Pemasok baru
Strategi yang juga dipakai oleh banyak pebisnis furnitur di AS adalah mencari pasokan dari luar China. Ambil contoh Manwah. Perusahaan itu kini memperbesar skala produksi pabriknya di Vietnam. Fasilitas di Vietnmen kini memasok hingga 1.000 kontainter furniture ke AS setiap bulannya.
Peritel papan atas, seperti IKEA, Home Depot dan Target kini memangkas pembelian furniture asal China. Nilai pembelian peritel kelas atas itu turun 13,5% di kuartal pertama. Mengutip data perdagangan yang dikompilasi S&P Global Market Intelligence, pengurangan pembelian dari China itu ditutup dengan kenaikan pasokan dari Vietnam sebesar 37,2% dan Taiwan 19,3%.
Menurut analisis Biro Sensus AS yang bertajuk WorldCity, empat besar pemasok furnitur ke AS adalah China, Vietnam, Kanada dan Meksiko.
Namun mencari sumber pasokan lain juga ada risikonya. Harvey Kamp, chief executive perusahaan rintisan Happiest Baby, menilai negara lain masih sulit menggantikan China karena tidak memiliki tenaga kerja berpengalaman dalam jumlah memadai.
Kelemahan lain adalah negeri yang kerap disebut sebagai kandidat pengganti China tidak memiliki industri pelayaran yang efisien dan infrastruktur manufaktur yang memadai. “Furnitur merupakan produk yang kompleks. Karena itu, kita tidak bisa begitu saja berpaling ke Vietnam, Indonesia atau India,” imbuh Karp.
Namun bertahan mengambil pasokan dari China juga mustahil bagi Karp. Sebelum tarif impor naik menjadi 25%, banyak calon pembeli di gerai Karp yang menilai harga tempat tidur bayi yang bisa diayun di gerainya sudah terlalu mahal, yaitu US$ 1.295.
Pekerjaan rumah bagi peritel furnitur di AS saat ini adalah menyesuaikan harga dengan tarif impor yang kian tinggi sekaligus menjaga permintaan. Sebelum tarif naik, harga furnitur yang dikulak dalam kuantitas besar senilai US$ 400 dijual seharga US$ 799. Namun begitu tarif melonjak menjadi 25%, harga furnitur yang sama bisa mencapai US$ 999.
Jenis furnitur yang berharga mahal seperti sofa dan meja dapur juga tak lepas dari kenaikan harga yang mengagetkan. Bagi peritel, kenaikan tarif jelas kabar buruk, mengingat furnitur mahal jelas bukan barang kebutuhan pokok yang harus segera dibeli. Sebaliknya, konsumen bakal menunda pembelian begitu harga naik. “Furnitur bukan makanan. “Sangat sedikit orang yang mau membeli tanpa melihat harganya,” tutur Stephen Antisdel, founder Precept Partner, konsultan bagi e-commerce.
Tidak ada peritel furniture di AS yang memiliki marjin laba usaha yang memadai untuk menanggung kenaikan biaya gara-gara tarif impor naik. “Tambahan tarif sebesar 15% mulai menggerogoti keuntungan bisnis ini,” ujar Wallace Epperson, managing director di Mann, Armistead & Epperson.
Peritel papan atas di AS mulai mengerem impor furnitur untuk bayi, dengan membatalkan atau menahan impor. Ada juga yang meminta pemasok untuk tidak mengubah harga, kendati tarif impor naik, ujar Kelly Mariotti, ketua asosiasi pembuat produk untuk anak-anak, yang beranggotakan sekitar 200 produsen furnitur dan peralatan bayi.
Importir besar produk furnitur China, seperti Walmart Inc. Target, Amazon, Home Depot, IKEA dan Costco Wholesale Corp. menolak untuk memberi penjelasan tentang dampak kenaikan tarif terhadap pembelian.
Namun Delta Children, pemasok furnitur bayi untuk peritel seperti Walmart, Pottery Barn dan Wayfair, menyatakan ada perubahan dalam arus pasokan.
Delta mengerek naik harga hingga 3% ketika tarif impor dinaikkan menjadi 10%. Imbas kenaikan harga, nilai penjualan Delta tergerus hingga US$ 10 juta karena beberapa gerainya mengalami penurunan pesanan, tutur Joe Shamie, pimpinan Delta.
Saat perusahaannya tengah melakukan upaya pemulihan, Trump justru mengerek naik tarif impor hingga 25%. Kenaikan tarif terakhir kali ini mengakibatkan para peritel semakin pesimistis. Pesanan dari peritel pun turun drastis.
“Peritel khawatir konsumen tak mampu membeli jika harga naik. Harga beberapa furnitur, seperti boks bayi atau kursi mobil untuk bayi naik paling sedikit 25%. Kenaikan harga sebesar itu tidak bisa ditanggung oleh kebanyakan warga kelas menengah negeri ini,” tutur Shamie.