Kolaborasi dan Efisiensi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Era baru dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, pelantikan kepala daerah dilakukan secara serentak di Istana Negara, Jakarta pada Kamis (20/2). Tak kurang dari 481 pasang pemimpin daerah yang terpilih hadir, dan didampingi oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Manunggal antara pemerintah pusat dan daerah ini penting di tengah kebijakan presiden hemat anggaran untuk menyeimbangkan postur fiskal yang semakin berat. Terutama setelah pemerintah batal menerapkan tarif pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% dari sisi penerimaan. Sementara dari belanja harus ditambah untuk memenuhi janji politik dan membengkaknya jumlah kementerian dan lembaga sehingga total pejabat menjadi 106 orang.
Prabowo juga butuh anggaran untuk pembangunan tiga juta rumah dan program makan gratis. Walhasil, realokasi anggaran menjadi langkah yang tak terhindarkan. Namun, pertanyaannya, apakah langkah ini efektif atau justru sekadar tambal sulam tanpa dampak fundamental bagi perekonomian?
Dalam situasi saat ini, tekanan ekonomi global semakin kompleks. Likuiditas yang ketat membuat investasi berisiko tinggi, sementara daya saing Indonesia dalam skema global juga menghadapi tantangan besar. Sektor industri dalam negeri memang harus digerakkan, terutama dalam pencapaian program 3 juta rumah, maka perlu dorongan bagi industri keramik, sanitasi, dan logistik. Tanpa ekosistem yang kuat, kebijakan ini satu juta rumah bisa menambah ketergantungan pada impor dan pada akhirnya menekan pertumbuhan industri nasional.
Di sisi lain, beban pembayaran bunga utang negara yang mencapai kisaran 14%-16% dari belanja APBN makin mempersempit ruang fiskal. Jika strategi realokasi ini tidak disertai dengan terobosan kebijakan, termasuk penguatan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) serta reformasi struktural pada BUMN, target pertumbuhan 8% kian berat.
Pemerintah juga harus mewaspadai dampak dari ketidakpastian global. Keanggotaan Indonesia dalam BRICS serta dinamika geopolitik AS bisa mempengaruhi stabilitas ekonomi. Belum lagi tekanan terhadap rupiah yang bisa berimbas pada daya beli masyarakat dan inflasi.
Realokasi anggaran bukan sekadar memindahkan pos belanja, tetapi harus menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk memperkuat ekonomi nasional. Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah agar menggunakan belanja hanya untuk rakyat perlu direalisasikan.