Konflik dan Kebenaran Relatif yang Lebih Banyak Bermuatan Psikologi

Minggu, 09 Mei 2021 | 10:15 WIB
Konflik dan Kebenaran Relatif yang Lebih Banyak Bermuatan Psikologi
[]
Reporter: Sumber: Tabloid Kontan | Editor: Hendrika

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saya seringkali tersenyum sendiri menyaksikan tontonan konflik antar public-figure. Entah itu konflik antar tokoh dalam satu partai politik, dalam satu profesi, bahkan juga dalam satu keluarga. Mereka saling sahut-menyahut sambil menudingkan jarinya; terkadang membawa nama Tuhan mengukuhkan argumentasinya.

Tak kalah pentingnya, acapkali mengundang media masa untuk mempublikasikan berita konflik tersebut secara terbuka. Semakin heboh, tampak semakin mengasyikkan. Sekalipun yang dipertontonkan adalah aib internal, yang dulu oleh orang-orang tua dianggap tabu untuk diceritakan kepada orang lain, apalagi kepada masyarakat luas.

Menariknya, saat konflik, semua pihak yang bersengketa sama-sama merasa ada di posisi yang benar. Memang aneh rasanya, terhadap hal yang satu dan sama, semua pihak merasa memiliki kebenarannya sendiri. Ini sama artinya bahwa kebenaran itu lebih dari satu! Kebenaran menjadi relatif, bisa berbeda-beda, seturut mata orang yang memandangnya.

Untuk perkara kebenaran seperti ini, mendiang Stephen Covey, pakar personal and organization effectiveness, pernah mengatakan, "Its not logical, but very psycho-logical". Dengan demikian, urusan kebenaran relatif seperti ini lebih banyak memiliki muatan psikologi, daripada kandungan logika.

Tentang psikologi kebenaran, saya teringat ilmu kelirumologi yang dulu diperkenalkan oleh budayawan Jaya Suprana. Jaya  tidak menyebut ilmunya sebagai salahmologi, namun kelirumologi.

Mengapa? Karena, kata salah menunjuk kepada sesuatu yang tidak benar, dengan mengacu kepada keniscayaan absolut. Satu tambah satu sama dengan dua. Titik dan tak ada perdebatan! Benda jatuh ditarik oleh gravitasi bumi, arahnya pasti ke bawah! Itu sebuah keniscayaan absolut, dan berlaku untuk semua orang di berbagai penjuru muka bumi; dari masyarakat kecil di pedalaman hutan Amazon hingga kelompok elit di kota megapolitan New York.

Sementara itu, kata keliru menunjuk kepada sesuatu yang tidak tepat, dengan mengacu kepada kesepakatan atau pemahaman relatif. Sebagai contoh, jika dari Jakarta Anda mau pergi Bandung, maka yang tepat adalah anda melalui jalan tol Cipularang, bukannya lewat kota Cirebon.

Orang yang hendak ke Bandung melalui Cirebon bisa dikatakan keliru, namun tak berarti salah. Keliru, karena yang bersangkutan tidak menggunakan kesepakatan umum yang menjadikan tol Cipularang sebagai lintasan cepat menuju kota kembang. Namun demikian, dia tak bisa dikatakan salah, karena toh pada akhirnya tiba di Bandung juga. Kita pun tak pernah tahu, jangan-jangan keputusannya untuk melalui kota Cirebon karena ingin membesuk saudara yang ada di Kota Udang terlebih dahulu, atau sebelumnya sudah mendapatkan infomrasi bahwa tol Cipularang dalam keadaan macet parah.

Konflik, dalam sebuah keluarga, komunitas dan organisasi, seringkali muncul karena adanya perbedaan kesepakatan atau pemahaman relatif. Bagi Covey, kesepakatan relatif (yang dipengaruhi oleh berbagai latar belakang entah itu pendidikan, budaya, agama dan tentunya juga kepentingan) inilah yang melahirkan kebenaran psikologis dimaksud.

Memahami orang lain

Perkenankan saya untuk mengambil sebuah contoh yang sesungguhnya lazim dijumpai dalam masyarakat kita yang majemuk, yakni terkait urusan agama.

Seorang teman memutuskan untuk berpindah agama, dan seperti sudah diduga, mendapatkan reaksi lingkungan yang saling kontradiktif. Kata sang teman, Keputusan saya satu, perilaku saya persis sama, argumentasinya juga tak berubah. Namun, saya dimuliakan sebagai manusia yang bertobat dan mendapat hidayah oleh komunitas agama yang baru saya peluk, dan sebaliknya diadili sebagai manusia sesat yang murtad oleh umat agama yang saya tinggalkan.

Sekali lagi, ini jelas tidak logis, namun psiko-logis!

Berhadapan dengan konflik yang dipicu oleh perbedaan kebenaran relatif tersebut, orang sering bersikap laksana banteng yang siap dibenturkan ke tembok kokoh. Sekali kaki diayunkan, pantang untuk bersurut langkah. Masing-masing hakulyakin dengan kebenaran yang digenggamnya. Tak jarang, kehadiran pihak ketiga, alih-alih ikut mendamaikan suasana, justru malah memperuncing keadaan.

Dalam lingkungan bisnis, interaksi antar pihak yang dilatarbelakangi oleh konflik seperti ini, hanya akan melahirkan kondisi yang disebut sebagai adversarial commerce, yakni pola hubungan bisnis yang diwarnai sifat saling curiga, keinginan untuk saling mengendalikan, dan pada akhirnya mengubur dorongan untuk bekerjasama dengan landasan rasa saling percaya.

Kalau sudah demikian, jangan berharap bisa membangun budaya kolaborasi; yang menjadi keniscayaan organisasi masa kini. Karena, kolaborasi hanya bisa dimulai dengan sikap seek first to understand before being understood. Cobalah untuk memahami orang lain terlebih dahulu; jangan melulu meminta untuk dipahami.

Bagikan

Berita Terbaru

Menakar Prospek Saham BBCA di Tengah Penurunan BI Rate
| Kamis, 18 September 2025 | 18:03 WIB

Menakar Prospek Saham BBCA di Tengah Penurunan BI Rate

Fundamental yang kuat disertai dengan tata kelola perusahaan yang baik, menyebabkan banyak investor masih meyakini saham BBCA cukup baik ke depan.

Pemerintah Siap Kucuri Dana Ke Koperasi Merah Putih, 20.000 Koperasi Bakal Kebagian
| Kamis, 18 September 2025 | 16:23 WIB

Pemerintah Siap Kucuri Dana Ke Koperasi Merah Putih, 20.000 Koperasi Bakal Kebagian

Menteri Koperasi Ferry Juliantono menjelaskan saat ini sudah terdapat 1.064 Kopdes Merah Putih yang telah menyerahkan proposal pinjaman.

Beleid Co-Payment Siap Rilis Lagi, Besarnya 5% dan Ganti Nama Jadi Risk Sharing
| Kamis, 18 September 2025 | 15:30 WIB

Beleid Co-Payment Siap Rilis Lagi, Besarnya 5% dan Ganti Nama Jadi Risk Sharing

Perusahaan asuransi wajib menyediakan produk tanpa fitur pembagian risiko, tapi juga diperbolehkan menawarkan produk dengan skema risk-sharing.

Pemerintah Mengubah Postur Anggaran, Defisit Kian Lebar dan Transfer ke Daerah Naik
| Kamis, 18 September 2025 | 15:19 WIB

Pemerintah Mengubah Postur Anggaran, Defisit Kian Lebar dan Transfer ke Daerah Naik

Banggar DPR RI bersama pemerintah telah menyetujui perubahan postur RAPBN 2026. Pendapatan, belanja, dan defisit disesuaikan.

Harga Saham BBRI Kembali ke Jalur Menanjak Seiring Akumulasi Blackrock dan JP Morgan
| Kamis, 18 September 2025 | 08:38 WIB

Harga Saham BBRI Kembali ke Jalur Menanjak Seiring Akumulasi Blackrock dan JP Morgan

Pertumbuhan kredit Bank BRI (BBRI) diproyeksikan lebih bertumpu ke segmen konsumer dan korporasi, khususnya di sektor pertanian dan perdagangan. 

Investor Asing Pandang Netral ke Perbankan Indonesia, BBCA, BMRI, & BBRI Jadi Jagoan
| Kamis, 18 September 2025 | 07:55 WIB

Investor Asing Pandang Netral ke Perbankan Indonesia, BBCA, BMRI, & BBRI Jadi Jagoan

Likuiditas simpanan dan penyaluran kredit perbankan yang berpotensi lebih rendah sepanjang tahun ini jadi catatan investor asing.

Menanti Tuah Stimulus Saat Ekonomi Masih Lemah
| Kamis, 18 September 2025 | 07:19 WIB

Menanti Tuah Stimulus Saat Ekonomi Masih Lemah

Meski berisiko, penempatan dana ini bisa jadi sentimen positif bagi saham perbankan, karena ada potensi perbaikan likuiditas dan kualitas aset.

JITEX Bidik Transaksi Rp 14,9 Triliun
| Kamis, 18 September 2025 | 07:15 WIB

JITEX Bidik Transaksi Rp 14,9 Triliun

JITEX 2025 diikuti  335 eksibitor dan 258 buyer. Tahun ini kami menghadirkan buyer internasional dari sembilan negara dan lebih banyak investor

 Pengusaha Minta Setop Impor Baki Makan Bergizi
| Kamis, 18 September 2025 | 07:12 WIB

Pengusaha Minta Setop Impor Baki Makan Bergizi

Kapasitas produksi dalam negeri dinilai mampu memenuhi kebutuhan food tray program MBG. sehingga tidak perlu impor

Progres Proyek LRT  Fase 1B Capai 69,88%
| Kamis, 18 September 2025 | 07:00 WIB

Progres Proyek LRT Fase 1B Capai 69,88%

Pada Zona 1, yakni Jl. Pemuda Rawamangun dan Jl. Pramuka Raya, progres pembangunan telah mencapai 69,06%

INDEKS BERITA

Terpopuler