KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Anda mungkin pernah mendengar kata-kata mutiara, "kepercayaan adalah sesuatu yang didapatkan, bukan hal yang diberikan". Agar bisa mendapat kepercayaan dari orang lain, dibutuhkan kejujuran.
Ketika pemerintah mengumumkan data pertumbuhan ekonominya pekan ini, banyak keraguan yang muncul atas data-data tersebut. Pasalnya, realisasi data yang diumumkan terasa too good to be true. Angkanya jauh di atas proyeksi banyak ekonom kawakan.
Selain itu, realisasi data pertumbuhan ekonomi yang diumumkan juga bertentangan dengan data-data ekonomi lain yang sudah dirilis sebelumnya. Misal, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut industri pengolahan tumbuh di atas 5%, sementara puchasing managers' index (PMI) sektor manufaktur masih berada di level kontraksi.
Tak heran muncul pertanyaan, apakah pemerintah melakukan manipulasi data pertumbuhan ekonomi? Lembaga riset CELIOS bahkan mengirimkan surat ke PBB dan meminta badan statistik PBB mengaudit BPS, terkait data pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut.
Manipulasi data statistik ekonomi tentu bukanlah hal yang bijak. Efek manipulasi data statistik ekonomi tidak main-main, lo. Negara bahkan bisa sampai mengalami krisis ekonomi gara-gara hal seperti ini.
Mungkin Anda masih ingat dengan krisis utang Yunani yang terjadi sekitar satu setengah dekade silam. Salah satu pemicu awal dari krisis ini adalah pemalsuan data-data statistik ekonomi, terutama data defisit anggaran dan utang.
Yunani kala itu melakukan pemalsuan data ekonomi agar bisa bergabung dengan zona euro. Pemerintah Yunani memanfaatkan transaksi keuangan yang rumit dan tidak transparan untuk menyembunyikan kondisi keuangan sebenarnya.
Manipulasi data ini baru terungkap usai terjadi pergantian pemerintahan. Efeknya, kepercayaan terhadap Yunani pun merosot tajam. Biaya berutang lantas jadi meningkat. Ujungnya, terjadi krisis utang, yang juga menyebar ke negara-negara lain di Eropa.
Manipulasi data ekonomi juga berpotensi menghasilkan kebijakan ekonomi yang salah. Misal, karena merasa ekonomi naik, pemerintah tidak lagi memberi stimulus, padahal daya beli masih tertekan.
Semoga saja, data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diumumkan pemerintah memang hasil pemerintah menjalankan amanah rakyat, bukan hasil utak-atik. Jadi, daya beli benar-benar membaik.