Menakar Ketergantungan AS terhadap Logam Rare Earth Buatan China

Kamis, 30 Mei 2019 | 14:59 WIB
Menakar Ketergantungan AS terhadap Logam Rare Earth Buatan China
[]
Reporter: Sumber: Reuters | Editor: Thomas Hadiwinata

KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Komoditas logam yang masuk kategori rare earth ibarat kartu as yang bisa digunakan China setiap saat berunding dengan negeri lainnya. Penyebabnya apalagi kalau bukan ketergantungan dunia terhadap pasokan dari Negeri Tembok Raksasa.

Kendati banyak manfaat, rare earth bukanlah jenis logam yang mudah diolah. Besarnya biaya pemurnian logam-logam tersebut menjadi alasan sedikitnya jumlah negara yang memiliki fasilitas pemroses rare earth.

China pun menjadi pemain dominan di pasar tersebut. Mengutip data Badan Survei Geologi AS, 81% dari produksi logam-logaman rare earth berasal dari negeri tersebut. Padahal, negeri itu hanya memiliki 37% dari total cadangan rare earth di seluruh dunia.

Bahkan, MP Materials, penambang rare earth satu-satunya di AS pun mengirimkan hasil kegiatannya ke China. Mountain Pass, tambang rare earth yang dioperasikan MP Materials di Kalifornia, mengirimkan seluruh produksinya yang berupa konsentrat rare earth sebanyak 50.000 ton per tahun ke China untuk diproses lebih lanjut.

Tingginya ketergatungan terhadap pasokan rare earth dari China sejatinya pernah dirasakan pasar pada 2010. China sempat memangkas kuota ekspor rare earth ke Jepang, menyusul memanasnya hubungan diplomatik di antara kedua negara.

Jepang pun mengajukan protes ke China karena negeri itu memangkas pasokan dengan alasan politik. Komplain ini dibantah China. Menurut Beijing, pasokan ke Jepang bukannya sengaja diturunkan, tetapi melandai karena ada aturan soal lingkungan yang harus diikuti penambang rare earth.

AS jelas termasuk negara yang membutuhkan pasokan rare earth. Pemerintahan Donald Trump pun tidak pernah memasukkan logam yang termasuk kategori rare earth ke dalam daftar barang asal China yang terkena kenaikan tarif masuk.

Selama 2014 hingga 2017, 80% kebutuhan AS dipenuhi oleh rare earth yang diproduksi Tiongkok. Produk made in America yang membutuhkan kontribusi logam rare earth sangat bervariasi, mulai produk elektronik, otomotif, hingga peralatan militer.  

Perusahaan yang membutuhkan pasokan rare earth pun beragam, mulai produsen gadget premium seperti Apple Inc. Produsen iPhone itu menggunakan logam rare earth untuk membuat mesin yang bisa menggetarkan ponsel, speaker juga kamera.

Pembuat senjata Amerika, seperti Raytheon Co, Lockheed Martin Corp dan BAE Systems Plc juga membutuhkan rare earth. Logam tersebut digunakan ketiga perusahaan untuk membuat sistim pemandu serta sensor. Mengutip Reuters, ketiganya menolak untuk memberi tanggapan terhadap rencana China membatasi ekspor rare earth ke AS.

Selain sektor swasta, Kementerian Pertahanan AS juga mengimpor rare earth dari China. Porsi impor yang berhubungan dengan kebutuhan militer AS itu setara 1% dari seluruh rare earth yang dipasok China ke AS.

Namun AS dikabarkan sudah mengantisipasi bahaya ketergantungan dunia terhadap pasokan rare earth dari China. Belajar dari pengalaman Jepang, yang mengalami kekurangan pasokan di tahun 2010, pemerintah dan perusahaan AS sudah menimbun stok logam rare earth.

Jurus lain AS untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasokan rare earth dari China adalah menggunakan komponen substitusi, tutur Eugene Gholz, pengajar di Universitas Notre Dame yang juga pernah bekerja sebagai ahli supply chain di Kementerian Pertahanan AS, kepada Reuters.

Kalau demikian, tentu AS tak perlu khawatir dengan buffling yang dilakukan China kan?

Bagikan

Berita Terbaru

Terlilit Gagal Bayar, Danasyariah Sempat Gandeng BPR Syariah Milik Eks Direktur OJK
| Sabtu, 25 Oktober 2025 | 10:07 WIB

Terlilit Gagal Bayar, Danasyariah Sempat Gandeng BPR Syariah Milik Eks Direktur OJK

Kelangsungan usaha perusahaan peer to peer lending (P2P lending) PT Dana Syariah Indonesia (Danasyariah) dipertanyakan.

CEO Finetiks Cameron Goh Bagikan Tips Investasi: Diversifikasi dan Mengelola Risiko
| Sabtu, 25 Oktober 2025 | 08:42 WIB

CEO Finetiks Cameron Goh Bagikan Tips Investasi: Diversifikasi dan Mengelola Risiko

Cameron Goh, CEO & Founder Finetiks menilai,  dalam berinvestasi, investor perlu memahami pengelolaan risiko

FUTR Siapkan Ekspansi Usai Bertransformasi ke Bisnis Energi Hijau
| Sabtu, 25 Oktober 2025 | 08:37 WIB

FUTR Siapkan Ekspansi Usai Bertransformasi ke Bisnis Energi Hijau

Mengupas rencana bisnis PT Futura Energi Global Tbk (FUTR) usai beralih bisnis ke sektor energi hijau

BI Bakal Merilis Instrumen Baru Lengkapi SRBI
| Sabtu, 25 Oktober 2025 | 07:32 WIB

BI Bakal Merilis Instrumen Baru Lengkapi SRBI

Surat berharga ini, akan mendampingi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang selama ini juga diterbitkan BI

Target Perbaikan Coretax Rampung di Awal Tahun
| Sabtu, 25 Oktober 2025 | 07:20 WIB

Target Perbaikan Coretax Rampung di Awal Tahun

Ditjen Pajak memperkirakan pelaporan SPT Tahunan perdana melalui Coretax bakal menurun              

Momok APBD yang Tersimpan di Brankas Bank
| Sabtu, 25 Oktober 2025 | 07:05 WIB

Momok APBD yang Tersimpan di Brankas Bank

APBD yang harusnya jadi motor penggerak ekonomi daerah menjadi sia-sia lantaran banyak dana hanya disimpan untuk mendapat bunga.

Keadilan Perpajakan bagi Pekerja
| Sabtu, 25 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Keadilan Perpajakan bagi Pekerja

Keadilan pemungutan pajak penghasilan atau PPh tidak perlu lagi mengalah terhadap kesederhanaan pajak.

Marketing Sales Puradelta Lestari (DMAS) Baru 35% dari Target
| Sabtu, 25 Oktober 2025 | 06:05 WIB

Marketing Sales Puradelta Lestari (DMAS) Baru 35% dari Target

Namun demikian, DMAS tetap berusaha untuk mencapai target tahun ini sehubungan dengan masih ada pipeline lahan sekitar 75 ha.

Digital Mediatama (DMMX) Membalikkan Rugi Jadi Laba
| Sabtu, 25 Oktober 2025 | 05:20 WIB

Digital Mediatama (DMMX) Membalikkan Rugi Jadi Laba

Sepanjang sembilan bulan 2025, laba bersih DMMX sebesar Rp 28,65 miliar.Pada periode yang sama di 2024 lalu, DMMX rugi  mencapai Rp 46,39 miliar.

Laju Kredit Konsumsi Kian Tak Bertenaga
| Sabtu, 25 Oktober 2025 | 04:55 WIB

Laju Kredit Konsumsi Kian Tak Bertenaga

Penyaluran kredit konsumer oleh perbankan belum menunjukkan tanda perbaikan signifikan di tengah daya beli yang masih tertahan.

INDEKS BERITA

Terpopuler