Menekan Emisi, Mendongkrak Investasi

Jumat, 29 Maret 2019 | 17:20 WIB
Menekan Emisi, Mendongkrak Investasi
[]
Reporter: Havid Vebri, Merlinda Riska, Ragil Nugroho | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat keluar dari ruang sidang Komisi XI DPR pekan lalu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Wajahnya sumringah dan sikap tubuhnya tampak bersemangat.

Dengan hangat dia menyambut pertanyaan dari puluhan jurnalis yang mengerubunginya. Ia menyebutkan, tinggal selangkah lagi pemerintah menerbitkan insentif fiskal bagi industri yang memproduksi kendaraan bermotor rendah karbon.

Airlangga memang pantas bergembira. Insentif yang sudah kementeriannya dorong sejak 11 September 2017 lalu itu mulai dibahas dengan Kementerian Keuangan (Kemkeu).

Pemerintah kini tengah menyiapkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) untuk mengatur insentif fiskal lewat pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tersebut. Aturan dalam PP ini ditargetkan terbit pada semester satu 2019, kata Airlangga.

Selanjutnya, insentif yang sudah dikonsultasikan dengan DPR itu akan berlaku efektif pada awal 2021, dengan mempertimbangkan kesiapan para pelaku usaha otomotif. Khususnya, kesiapan untuk melakukan penyesuaian dengan teknologi yang mereka miliki.

Sebelumnya, Putu Juli Ardika, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian (Kemperin), menjelaskan, skema PPnBM kendaraan bermotor dihitung berbasis tipe kendaraan, ukuran mesin, maupun peranti penggerak.

Dalam skema yang baru, pemerintah kelak mengenakan PPnBM berdasar tingkat konsumsi bahan bakar dari kendaraan bermotor tersebut. Semakin irit mobil itu, maka tarif pajaknya semakin rendah.

Selain tingkat efisiensi penggunaan bahan bakar, besaran tarif juga bakal mengacu pada emisi gas buang karbon dioksida (CO2) dari kendaraan tersebut. Makin rendah emisi karbon, makin rendah pula tarif PPnBM. Sebaliknya kian tinggi karbon yang dihasilkan dari pembakaran mesin mobil itu, kian tinggi tarif pajaknya.

Dalam draf RPP PPnBM yang Tabloid KONTAN peroleh, batas emisi terendah ditetapkan sebesar 150 gram per kilometer dan tertinggi 250 gram per kilometer. Sedang tarif PPnBM yang berlaku 0%50%.

Pemerintah juga akan memberikan perlakuan khusus berupa pajak yang lebih rendah untuk kendaraan komersial serta yang masuk program emisi karbon rendah alias low carbon emission vehicle (LCEV).

Dalam aturan sebelumnya, insentif hanya untuk kendaraan bermotor hemat energi dan harga terjangkau (KBH2) atawa low cost and green car (LCGC). Nah, di ketentuan yang anyar, insentif juga berlaku buat kendaraan listrik hibrida atau hybrid electric vehicle (HEV), plug in HEV, kendaraan berbahan bakar energi terbarukan (flexy engine), sertakendaraan listrik (electic vehicle).

Putu mengatakan, perubahan skema ini bertujuan untuk mendorong industri otomotif dalam negeri, supaya memproduksi kendaraan yang rendah emisi termasuk mobil listrik.

Tidak bedakan jenis

Selain itu, skema PPnBM yang baru tidak lagi membedakan jenis kendaraan, baik sedan maupun dan nonsedan. Tarif pajak sedan bisa saja setara dengan mobil jenis lain, selama kadar emisinya rendah.

Beda dengan skema PPnBM saat ini yang sesuai kapasitas mesin maupun isi silinder kendaraan. Semakin besar cc, semakin tinggi tarif pajaknya. Aturan mainnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 33/PMK.010/2017. Beleid ini menyatakan, tarif PPnBM sedan kecil di bawah 1.500 cc sebesar 30%. Untuk sedan di atas 1.500 cc, tarifnya 40%. Tarif tersebut lebih tinggi dari mobil penumpang lain, semisal multi purpose vehicle (MPV) yang hanya 10%.

Jika kebijakan tersebut benar-benar terwujud, maka harga sedan bisa jauh lebih murah. Dengan begitu, dapat mendorong produksi kendaraan tipe sedan, imbuh Putu.

Menurut Putu, pemerintah perlu mendorong industri alat angkutan dengan teknologi yang lebih kompetitif untuk menggenjot pertumbuhan industri dalam negeri dan meningkatkan ekspor. Terlebih, kontribusi industri alat angkutan terhadap produk domestik bruto (PDB) masih relatif rendah. Sumbangannya dalam PDB 2018 baru 1,76% atau senilai Rp 260,9 triliun. Dan, masih terbuka potensi ekspor kendaraan bermotor, ujarnya.

Sementara bila menggunakan sistem PPnBM yang sekarang, maka sedan sulit diproduksi. Dan, mobil listrik tidak memiliki insentif untuk diproduksi di Indonesia. Padahal, Airlangga bilang, investor otomotif global sudah melirik pengembangan mobil listrik di negara kita. Saat ini, peraturan presiden (perpres) mobil listrik tengah dalam proses harmonisasi. Mau tidak mau, PPnBM kendaraan juga harus disesuaikan untuk mobil listrik, terangnya.

Airlangga memberikan contoh, Hyundai berencana membangun pabrik mobil listrik di Indonesia, dengan Investasi mencapai Rp 12,8 triliun. Produsen otomotif asal Korea Selatan ini ingin mendirikan pabrik mobil listrik yang sekaligus digunakan sebagai basis ekspor ke kawasan Asia Tenggara.

Kemudian, BYD Auto Ltd juga akan membangun pabrik perakitan bus listrik, dengan Investasi sebesar Rp 2,8 triliun. Di sisi lain, Toyota pun bakal meningkatkan Investasinya hingga Rp 25 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap, dengan ada perubahan skema PPnBM, penerimaan negara bisa jauh lebih tinggi. Produksi sedan dengan tarif PPnBM lebih rendah akan terjadi industrialisasi dalam negeri, sebutnya.

Berdasar skema baru itu, Sri Mulyani menuturkan, penerimaan negara dari pos PPnBM berpotensi naik. Dasarnya, penjualan mobil tahun ini di kisaran 1 juta unit plus pertumbuhan tahunan sebesar 3%.

Saat skema anyar tersebut berlaku pada 2021 nanti, maka penerimaan PPnBM dari kendaraan bermotor bisa mencapai Rp 26,2 triliun, dengan penjualan sebanyak 1,19 juta unit. Di tahun berikutnya, 2022, penerimaan negara dari pos yang sama akan bertambah jadi Rp 27,8 triliun, dengan asumsi penjualan 1,22 juta unit.

Menyambut baik

Yohannes Nangoi, Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), mengungkapkan, apa yang menjadi rencana pemerintah saat ini sudah sejalan dengan keinginan pelaku industri otomotif tanah air. Intinya, bagaimana iklim industri otomotif kita tumbuh dengan insentif itu, karena sekarang mengarahnya bukan pada cc kendaraan tapi dengan emisi gas buang, ucap dia.

Dari sisi dampak ke perekonomian, Nangoi menjelaskan, pemberlakuan insentif emisi ini bisa meningkatkan ekspor. Ia mencontohkan, selama ini Indonesia hanya jago di MPV. Padahal, pasar Australia yang cukup besar membutuhkan sedan dan sport utility vehicle (SUV). Harapannya, kita bisa menjadi basis produksi kendaraan lain. Caranya, ya, dengan insentif tadi membuat mobil lain masuk kemudian bisa produksi di dalam negeri, imbuhnya.

Di samping itu, kendaraan rendah karbon bisa mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Minyak fosil, kan, menyebabkan neraca perdagangan kita defisit kalau terus impor, kata Nangoi.

Soal pelaksanaan skema baru PPnBM pada 2021, Nangoi menyatakan, industri otomotif tidak mempermasalahkannya. Sebab, ini membantu produsen yang memiliki mobil yang belum memenuhi kriteria rendah emisi untuk segera memperbaiki produk-produknya.

Aturan main gres itu, Nangoi memandang, juga bisa membuka kompetisi yang lebih sehat bagi produsen yang ingin membawa produk ramah lingkungannya ke Indonesia. Siapa saja bisa memanfaatkan insentif itu lantaran tidak ada batasannya, baik produsen dari Jepang, China, maupun Eropa. Paling penting tidak hanya memasukkan produk saja, tapi juga beralih memproduksinya di dalam negeri, tegas Nangoi.

Bawono Kristiaji, pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center, berpendapat, rencana pemerintah mengubah skema PPnBM untuk sektor otomotif patut mendapatkan apresiasi. Apalagi, pemberian insentif terhadap setiap upaya pengurangan emisi karbon saat ini menjadi tren global.

Menurut Bawono, dalam skema yang saat ini berlaku, tarif PPnBM lebih mengacu ke harga, jenis, dan kapasitas mesin kendaraan. Sebagai implikasinya, itu memengaruhi harga jual mobil yang justru ramah lingkungan dengan emisi rendah jadi tidak kompetitif. Mekanisme seperti itu tidak mendorong perubahan perilaku konsumen ke arah environmental friendly, ujarnya.

Dengan skema yang sekarang berlaku, dampak negatif dari emisi tidak terinternalisasi dalam harga jual kendaraan Sehingga, keberadaan PPnBM berbasis emisi tersebut secara tidak langsung merupakan instrumen pasar untuk mengubah perilaku konsumsi.

Meski begitu, Bawono menilai, penerapan cukai terhadap kendaraan bermotor yang menghasilkan emisi karbon tinggi lebih tepat dibanding insentif PPnBM. Di banyak negara, pungutan pajak kendaraan melalui mekanisme cukai berbasis emisi yang dihasilkan. Sebagai informasi, Indonesia satu-satunya negara di ASEAN yang tidak mengenakan cukai kendaraan, ungkapnya.

Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) juga berpendapat sama. Ia menjelaskan, hakekat dari cukai merupakan instrumen yang tepat untuk pengendalian konsumsi, dalam hal ini pembatasan pembelian kendaraan yang boros bahan bakar. Selain itu, bisa bertujuan untuk mengendalikan produk yang memiliki dampak negatif yakni emisi CO2.

Bagikan

Berita Terbaru

Harga Saham BBRI Kembali ke Jalur Menanjak Seiring Akumulasi Blackrock dan JP Morgan
| Kamis, 18 September 2025 | 08:38 WIB

Harga Saham BBRI Kembali ke Jalur Menanjak Seiring Akumulasi Blackrock dan JP Morgan

Pertumbuhan kredit Bank BRI (BBRI) diproyeksikan lebih bertumpu ke segmen konsumer dan korporasi, khususnya di sektor pertanian dan perdagangan. 

Investor Asing Pandang Netral ke Perbankan Indonesia, BBCA, BMRI, & BBRI Jadi Jagoan
| Kamis, 18 September 2025 | 07:55 WIB

Investor Asing Pandang Netral ke Perbankan Indonesia, BBCA, BMRI, & BBRI Jadi Jagoan

Likuiditas simpanan dan penyaluran kredit perbankan yang berpotensi lebih rendah sepanjang tahun ini jadi catatan investor asing.

Menanti Tuah Stimulus Saat Ekonomi Masih Lemah
| Kamis, 18 September 2025 | 07:19 WIB

Menanti Tuah Stimulus Saat Ekonomi Masih Lemah

Meski berisiko, penempatan dana ini bisa jadi sentimen positif bagi saham perbankan, karena ada potensi perbaikan likuiditas dan kualitas aset.

JITEX Bidik Transaksi Rp 14,9 Triliun
| Kamis, 18 September 2025 | 07:15 WIB

JITEX Bidik Transaksi Rp 14,9 Triliun

JITEX 2025 diikuti  335 eksibitor dan 258 buyer. Tahun ini kami menghadirkan buyer internasional dari sembilan negara dan lebih banyak investor

 Pengusaha Minta Setop Impor Baki Makan Bergizi
| Kamis, 18 September 2025 | 07:12 WIB

Pengusaha Minta Setop Impor Baki Makan Bergizi

Kapasitas produksi dalam negeri dinilai mampu memenuhi kebutuhan food tray program MBG. sehingga tidak perlu impor

Progres Proyek LRT  Fase 1B Capai 69,88%
| Kamis, 18 September 2025 | 07:00 WIB

Progres Proyek LRT Fase 1B Capai 69,88%

Pada Zona 1, yakni Jl. Pemuda Rawamangun dan Jl. Pramuka Raya, progres pembangunan telah mencapai 69,06%

Penjualan Ciputra (CTRA) Bisa Terpacu Tren Bunga Layu
| Kamis, 18 September 2025 | 06:58 WIB

Penjualan Ciputra (CTRA) Bisa Terpacu Tren Bunga Layu

CTRA berada di posisi yang tepat untuk mempertahankan pertumbuhan, margin, dan mendorong nilai jangka panjang

Permintaan Tumbuh, BSDE Rajin Merilis Ruko Baru
| Kamis, 18 September 2025 | 06:57 WIB

Permintaan Tumbuh, BSDE Rajin Merilis Ruko Baru

BSDE mengantongi marketing sales ruko Rp 1,26 triliun atau berkontribusi sekitar 25% dari total pra-penjualan di semester I-2025

Suku Bunga The Fed Turun, Pelemahan Indeks Dolar AS Masih Bisa Berlanjut
| Kamis, 18 September 2025 | 06:55 WIB

Suku Bunga The Fed Turun, Pelemahan Indeks Dolar AS Masih Bisa Berlanjut

Penurunan suku bunga Federal Reserve biasanya turut menyebabkan dolar AS melemah dalam jangka pendek

Izin Ekspor Freeport Tak Diperpanjang
| Kamis, 18 September 2025 | 06:52 WIB

Izin Ekspor Freeport Tak Diperpanjang

Ekspor konsentrat tembaga telah dilarang sejak 1 Januari 2025 berdasarkan Permendag Nomor 22 Tahun 2023 junto Permendag Nomor 20 Tahun 2024.

INDEKS BERITA

Terpopuler