KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2018 jadi salah satu tonggak sejarah bagi Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Bagaimana tidak? Sepanjang Januari hingga 10 Desember 2018, penerimaan mereka dari barang impor terkait transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) untuk pertama kali tembus angka Rp 1 triliun, persisnya, Rp 1,13 triliun
Penerimaan itu merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Memang, terjadi peningkatan penerimaan yang cukup signifikan, kata Denny Surjantoro, Kepala Subdirektorat Informasi dan Komunikasi Ditjen Bea dan Cukai.
Perinciannya adalah sebanyak Rp 236 miliar berasal dari Bea masuk. Sedangkan sisanya yang Rp 896 miliar dari pajak dalam rangka impor.
Denny memprediksikan, penerimaan dari barang impor e-commerce tahun ini bakal tumbuh lebih besar lagi dari tahun lalu. Cuma, dari target penerimaan Bea masuk di 2019 yang mencapai Rp 38,9 triliun, ia belum bisa memastikan, berapa sumbangan dari impor barang e-commerce. Yang jelas, Trennya memang terus meningkat, imbuh dia.
Soalnya, pemerintah bakal mempermudah impor barang melalui platform pasar elektronik (marketplace) yang terdaftar di Ditjen Bea dan Cukai. Ketentuannya termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakukan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Beleid ini terbit 31 Desember 2018 lalu dan berlaku mulai 1 April 2019 nanti.
Penyedia marketplace wajib menggunakan skema delivery duty paid (DDP). Maksudnya, memasukkan Bea masuk dan pajak impor ke dalam harga barang impor yang tercantum pada platform mereka. Dengan catatan, nilai impor barang melalui platform marketplace hanya memiliki nilai paBean sebesar US$ 1.500 ke bawah.
Dengan menggunakan mekanisme itu, semua biaya dan risiko yang timbul dalam proses penyerahan barang impor akan menjadi beban penyedia platform marketplace. Termasuk, kewajiban untuk membayar Bea masuk dan pajak impor atas barang tersebut.
Ada sanksi bagi yang tidak mematuhi ketentuan ini. Ditjen Bea Cukai akan membekukan persetujuan penyedia platform marketplace yang telah terdaftar jika mereka tak memenuhi kewajiban penyetoran Bea masuk dan pajak impor.
Program Anti-splitting
Data Ditjen Bea Cukai menunjukkan, nilai barang impor e-commerce melalui kiriman penyelenggara pos hingga November 2018 naik 19,03% dibanding periode sama 2017. Nilainya mencapai US$ 488,4 juta, dengan jumlah dokumen sebanyak 13,8 juta berkas.
Selain dari aturan main yang baru tersebut, Denny menyebutkan, faktor yang bakal mendorong peningkatan penerimaan negara dari impor barang e-commerce adalah PMK Nomor 112/PMK.04/2018 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman. Ketentuan ini berlaku mulai 10 Oktober 2018 lalu.
Berdasarkan beleid tersebut, impor barang kiriman e-commerce dengan nilai di atas US$ 75 terkena Bea masuk sebesar 7,5% dari harga barang. Bea masuk ini berlaku flat untuk semua jenis barang.
Importir juga bakal kena pajak pertambahan nilai (PPN) impor 10% yang juga berlaku flat. Lalu, pajak penghasilan (PPh) impor 10% untuk yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan 20% bagi yang tidak punya NPWP. Nilai barang di bawah US$ 75 bebas Bea masuk dan pajak.
Denny menjelaskan, ambang batas US$ 75 berlaku untuk setiap paket per pengiriman dalam satu hari, dengan sistem akumulasi. Jadi, kalau konsumen membeli tiga barang yang dikirim dalam tiga paket dengan nilai total lebih dari US$ 75, maka kena Bea masuk.
Jadi, kami menerapkan program anti-splitting untuk mencegah pelaku e-commerce mengakali peraturan Bea masuk dengan nilai US$ 75 per orang per hari, beber Denny.
Cara ini, Denny menyatakan, cukup efektif mencegah kecurangan para pelaku e-commerce untuk menghindari Bea masuk dan pajak impor. Mengacu data importasi barang kiriman hingga 10 Oktober 2018, Ditjen Bea Cukai berhasil menjaring 72.592 transaksi pemisahan (splitting)dan menyelamatkan penerimaan Bea masuk juga pajak senilai Rp 4 miliar.
Modus terbesar yang Ditjen Bea Cukai jaring adalah impor barang sebanyak 400 kiriman per hari dengan nilai US$ 20,31 juta. Pelaku memecah barang kiriman jadi beberapa pengiriman dengan minimal nilai, yakni US$ 75 dalam satu hari oleh penerima yang sama.
Terkadang, namanya disamarkan atau dibuat berbeda-beda, tapi kami tetap bisa mendeteksi, ungkap Denny.
Karena itu, Ditjen Bea Cukai akan terus memantau transaksi impor, dan segera menindak pelaku yang berbuat curang dengan memblokirnya dari sistem. Sistem komputer Ditjen Bea Cukai bakal mengenali secara otomatis nama penerima barang yang mencoba memanfaatkan celah pembebasan Bea masuk dan pajak impor.
Selanjutnya, data pelanggaran tersebut Ditjen Bea Cukai kirim ke Ditjen Pajak untuk ditindaklanjuti. Jadi, kami juga bekerjasama dengan Ditjen Pajak untuk menindaklanjuti para pelanggar, ujar Denny.
Sebelumnya, pemerintah membatasi nilai barang impor kiriman sebesar US$ 100 dan tidak berlaku akumulatif. Jika dalam sehari importir melakukan impor berkali-kali, selama tiap barang bernilai maksimal US$ 100 maka tetap bebas Bea masuk dan pajak impor.
Karena itulah, aturan lama tersebut menyimpan kelemahan atau celah, sehingga banyak importir dan pedagang yang memanfaatkannya. Biasanya, mereka memecah belah dokumen, sehingga bisa mengimpor dalam jumlah banyak dalam waktu sehari.
Pemerintah menetapkan ambang batas US$ 75 dengan asumsi, di atas jumlah tersebut maka barang adalah untuk berdagang atau kulakan. Sementara di bawah nilai itu diasumsikan untuk dipakai sendiri.
Kebijakan ini bertujuan menciptakan level playing field atau aturan main yang sama antara hasil produksi dalam negeri khususnya UMKM yang membayar pajak, dengan produk impor, baik melalui jasa pengiriman barang , distributor, ataupun lewat kargo umum.
Toh, di mata Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung, ambang batas barang impor e-commerce sebesar US$ 75 belum menciptakan level playing field yang sama. Menurutnya, bila ingin menciptakan level itu, maka batasnya harus lebih rendah lagi. Kalau mengacu di Thailand, ambang batas cuma sampai US$ 20, kata dia.
Pusat logistik berikat
Pemerintah bergeming. Saat ini, pemerintah juga masih fokus memaksimalkan penerimaan Bea masuk dengan memberikan berbagai kemudahan. Misalnya, dengan membentuk pusat logistik berikat (PLB) bagi barang impor e-commerce. Dengan PLB, pebisnis akan mendapat fasilitas khusus yakni tidak perlu membayar Bea masuk terlebih dahulu.
Nirwala Dwi Heryanto, Direktur Audit KepaBeanan dan Cukai Ditjen Bea Cukai, menuturkan, Bea masuk baru dikenakan bila barang keluar dari PLB dan dijual ke pasar domestik. Aturan mainnya tertuang dalam PMK Nomor 28/2018 tentang Pusat Logistik Berikat.
Jadi, daripada setiap kali pesan kirim dari Shanghai atau Alibaba ambil hub dari Malaysia, mending stok di Indonesia, di PLB saja, kata dia.
Bedanya dengan kawasan berikat, barang yang disimpan di PLB tidak harus diproduksi di dalam negeri. Kalau kawasan berikat harus ada proses produksi, tegas Nirwala.
Dengan PLB, Nirwala bilang, akan mempermudah importir termasuk pebisnis e-commerce. Ini juga bertujuan agar pelaku e-commerce lebih suka menimbun barang dagangan di dalam negeri demi memperlancar bisnis. Dan hebatnya, barang itu bisa disimpan di PLB dalam tiga tahun, tambah Nirwala.
Keberadaan PLB pun bisa memudahkan pelaku e-commerce kecil yang belum punya gudang untuk menyimpan dan mendistribusikan barang ke luar negeri. Hanya, kebijakan ini belum berjalan efektif karena sampai sekarang pemerintah belum menentukan lokasi PLB tersebut. Tapi, Sudah ada beberapa calon, kata Denny.
Ignatius merespons positif kebijakan PLB lantaran sangat bermanfaat bagi penyedia platform e-commerce yang memiliki banyak pedagang di luar negeri. Sementara e-commerce lokal membutuhkan ini untuk ekspor. Tapi, sebelum ekspor terjadi, hanya dinikmati e-commerce impor, cetusnya.
Pendapat berbeda datang dari Bhima Yudhistira, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Membangun PLB untuk memudahkan impor barang e-commerce sama dengan mempercepat bunuh diri produk-produk lokal, tegas dia.
Peningkatan setoran Bea masuk dari impor barang e-commerce juga harus diwaspadai. Sebab, itu sama saja menunjukkan dominasi barang impor di pasar e-commerce tanah air semakin besar. Di sisi lain, porsi barang lokal khususnya UKM sangat kecil. Alhasil, pelaku usaha kecil menengah kita semakin kalah bersaing.