KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aliran dana dari investor asing masih deras mengalir ke pasar Indonesia. Kemarin, Rabu (13/4), nilai pembelian bersih asing (net buy) mencapai Rp 1,5 triliun. Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), ini menjadikan net buy total Rp 40,14 triliun sepanjang tahun ini.
Senior Technical Analyst Henan Putihrai Sekuritas Liza Camelia Suryanata menjelaskan, setidaknya ada tiga faktor yang mendorong derasnya dana asing masuk ke pasar saham Indonesia. Pertama, pemulihan ekonomi dan pengendalian pandemi Covid-19 yang mendorong pelonggaran mobilitas masyarakat.
Kedua, eskalasi geopolitik konflik Rusia-Ukraina membuat harga komoditas meroket. Indonesia justru dipandang prospektif karena karakteristik pasar yang didorong komoditas. Hasil komoditas Indonesia yang sebagian besar diekspor akan kembali jadi penopang surplus neraca perdagangan dan nilai tukar rupiah.
Ketiga, kinerja keuangan sejumlah emiten yang cemerlang sepanjang 2021. Kondisi ini menunjukkan perbaikan kinerja bisnis yang cukup signifikan terutama di sektor perbankan big caps, batubara dan kelapa sawit.
Selain itu, ramainya aksi initial public offering (IPO) juga menjadi magnet tersendiri, terlebih hadirnya IPO jumbo seperti PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO). Situasi kurang kondusif di Eropa dan AS juga mendorong investor mencari tempat. "Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan yang cukup aman," kata Liza, Rabu (13/4).
Liza bilang, inflow dana asing ke Indonesia masih wajar. Net flow asing yang masuk konsisten sejak awal tahun, membawa kabar gembira. Meski berpotensi terjadi Sell in May, belum tentu hal itu akan terjadi secara signifikan.
Certified Elliott Wave Analyst-Master Kanaka Hita Solvera Daniel Agustinus melihat, kondisi fundamental Indonesia masih solid. Antara lain, perubahan status menjadi endemi, laju pertumbuhan ekonomi, inflasi terkendali, dan rupiah yang stabil. Menimbang hal ini, besar kemungkinan dana asing akan bertahan di Tanah Air.
Kenaikan bunga AS
Liza mengingatkan, lonjakan harga komoditas di sisi lain dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan naiknya inflasi global. Kenaikan inflasi di AS akan mendorong bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) menaikkan suku bunga lebih agresif.
Jika hal itu terjadi, investor ke depan berpotensi mengalihkan investasi ke instrumen rendah risiko seperti obligasi, deposito atau emas. "Nah saat seperti ini yang mungkin dikhawatirkan akan membuat minat investor ke pasar saham turun," terang Liza.
Jika dana asing lari dari pasar saham Indonesia, Daniel juga memandang, salah satu penyebabnya datang dari kenaikan tingkat suku bunga The Fed. Dia juga meminta pasar tetap mencermati perkembangan geopolitik Rusia-Ukraina.
Selain itu, apabila fenomena sell in May terjadi, lebih karena aksi ambil untung, bukan karena fundamental Indonesia buruk. Karena itu, capital outflow tidak akan besar dan penurunan IHSG terbatas. Dengan porsi kepemilikan aset asing sekitar 40%, maka investor lokal masih dapat menahan net sell yang dilakukan investor asing.
"Apabila sahamnya tertekan akibat ada capital outflow tetapi fundamental emiten tetap tumbuh, maka investor bisa melakukan buy on weakness," kata Daniel.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus juga mengatakan, kemungkinan dana asing untuk pergi dari Indonesia tetap terbuka. Namun sekalipun dana asing keluar dari Indonesia, dampaknya kemungkinan hanya akan jangka pendek. Dia menyarankan investor tetap memilih saham-saham yang memiliki fundamental baik.