Pengembangan Proyek Pembangkit Listrik Energi Terbarukan Terganjal Sejumlah Masalah
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan proyek pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) masih terkendala sejumlah masalah. Akses pembiayaan merupakan salah satu kendala utama. Hal itu tercermin dari tersendatnya proyek kelistrikan berbasis EBT belakangan ini.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dari 75 proyek yang sudah meneken kontrak jual-beli atau power purchase agreement (PPA) sepanjang tahun 2017-2018, baru ada lima proyek (setara 7%) yang masuk tahap commercial operation date (COD) alias siap memproduksi listrik.
Kemudian sebanyak 30 proyek (40%) masih tahap konstruksi dan sebanyak 40 proyek (53) masih harus berjuang untuk mendapatkan kepastian pendanaan atau financial close (FC).
Harris, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Kementerian ESDM, mengemukakan, proyek EBT berkapasitas besar atau di atas 10 megawatt (mw) cenderung lebih mudah untuk mendapatkan pendanaan.
Namun, proyek EBT saat ini didominasi skala kecil seperti pembangkit listrik tenaga mini hidro (PLTMH) dengan kapasitas di bawah 10 mw hingga 1 mw. "Kalau yang kecil, tantangannya banyak karena skala keekonomiannya tidak begitu bagus," ujar dia, Rabu (30/1).
Di sisi lain, pengembangan proyek EBT seringkali terbentur masalah lingkungan. Tak pelak, isu lingkungan mengganjal pendanaan dari perbankan karena proyeknya dinilai berisiko. "Contoh di Batang Toru, ada pihak yang mempermasalahkan habitat orang utan, juga PLTA Tangkur di Aceh," terang Harris.
Di samping pendanaan dan aspek lingkungan, hal yang menghambat pengembangan proyek pembangkit EBT adalah masalah teknis, baik dalam pengajuan proposal pendanaan maupun studi kelayakan teknis alias feasibility study (FS) dari proyek itu.
Fauzi Imron dari Komite Energi Terbarukan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) juga tak menampik masih banyak pelaku usaha yang bermasalah dalam studi kelayakan dan proposal pendanaan proyek EBT. "Memang beberapa kualitas studi yang disiapkan tidak bagus, bahkan ekuitasnya belum siap, sehingga tidak bankable," ungkap dia.
Menurut Fauzi, masalah pengembangan EBT cukup kompleks, mulai dari tarif jual beli dan biaya pokok penyediaan (BPP), pendanaan, serta lahan. "Perlu ada insentif pada lahan, karena ini menjadi salah satu komponen pengembangan yang paling mahal. Di Jawa dan Bali, biaya lahan bisa 30%-40% dari total biaya pembangunan," sebut dia.
Kendala lainnya adalah mengenai skema penyerahan aset ketika kontrak berakhir atau build, own, operate and transfer(BOOT). Jika skema BOOT itu tidak dihapus, maka harus dikaji ulang.