KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konon kabarnya pekerjaan yang paling menjemukan adalah menunggu. Apalagi kalau yang ditunggu tidak kunjung muncul. Lebih celaka lagi kalau yang ditunggu itu adalah masa pensiun, seperti para pejabat di Kabinet Indonesia Maju yang akan selesai masa baktinya beberapa hari lagi.
Kalau saja setelah masa bakti, sang pensiunan ditawari pekerjaan yang menjanjikan, tentu tak akan ada masalah berarti. Pendapatan, kekuasaan dan gaya hidup akan bisa berjalan seperti sebelumnya. Yang celaka jika hari pensiun semakin dekat, tapi tak ada tanda-tanda yang menjanjikan.
Presiden dan wakil presiden yang hanya boleh dijabat 2 kali periode, akan membuat beberapa orang pensiun di usia "relatif" muda. Apalagi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang baru membuat orang di bawah usia 40 tahun sudah bisa menjabat sebagai presiden atau wakil presiden, seperti Gibran yang akan menjabat wakil presiden di usia 36 tahunnya.
Akan menjadi kejadian yang benar-benar langka kalau kita menemukan orang yang benar-benar siap menghadapi masa pensiun. Apalagi masa kerja di dunia politik memang sangat fleksibel, berbeda jauh dengan dunia bisnis.
Suatu kali saya pernah bertemu seorang pengusaha start up yang bercita-cita untuk pensiun di usia di bawah 40 tahun. Ia menetapkan target sejumlah dana tertentu untuk memastikan keputusan pensiun mudanya itu. Ternyata belum sampai 40 tahun, dana pensiun sudah terkumpul. Tapi masa pensiun muda itu ternyata tidak seperti yang dibayangkan, sehingga akhirnya ia hanya bertahan beberapa bulan menikmati pensiun muda.
Pensiunan yang tidak memegang jabatan dan kekuasaan lagi memang bisa menjadi orang yang tersingkir. Jadi sepertinya memasuki masa pensiun untuk presiden dan wakil presiden ini akan jadi "sesuatu."
Mungkin sudah saatnya ada pejabat negara yang mau memahami, karena di negeri ini tidak ada yang mau serius mengurusi pensiunan. Pensiun pun terus berkembang, bukan hanya pensiunan yang sesuai usia pensiun, belakangan ini mulai banyak juga orang yang "pensiun muda" karena PHK, perampingan perusahaan dan berbagai alasan lainnya.
Saya hanya iri dengan negara Paman Sam, karena mereka benar-benar peduli dengan penciptaan lapangan pekerjaan. Di negeri ini, pemerintah hanya membuat UU Cipta Kerja yang sepertinya belakangan ini dijadikan andalan perusahaan untuk memutuskan kerja dengan karyawannya. Maklum UU ini dianggap lebih memihak perusahaan dalam hubungan kerja dengan karyawannya.