Ragam Peluang Pembiayaan Hijau untuk Pelaku Usaha, Yayasan Juga Masyarakat Adat
Salah satu sumber amunisi menjalankan bisnis adalah pembiayaan alias kredit. Biasanya lembaga yang mengucurkan pembiayaan adalah perbankan, perusahaan investasi, pemerintah atau jasa keuangan. Rata-rata, pembiayaan biasanya bertujuan money oriented alias kinerja profitnya.
Semakin tinggi kinerja profitnya, maka semakin besar peluang mendapatkan pembiayaannya. Memang tak ada yang salah, namun masih ada peluang lain dalam mendapatkan pembiayaan. Salah satunya adalah, pembiayaan hijau atau pembiayaan iklim untuk aktivitas bisnis yang baik bagi lingkungan.
Sejatinya, pembiayaan iklim sudah lama dilakukan negara maju. Namun, saat Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP21) di Paris tahun 2015 lalu, komitmennya meluas. Negara maju dan negara berkembang ikut berkomitmen mengatasi dampak perubahan iklim.
Mereka sepakat menahan laju kenaikan suhu bumi hingga di bawah 2 derajat celcisus. Caranya dengan mencegah dan mengurangi pelepasan gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan oleh kegiatan manusia.
Seperti negara lainnya, Indonesia ikut kesepakatan Paris dan mengumumkan komitmen menurunkan emisi GRK tahun 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan dan kerjasama negara maju.
Untuk implementasinya, mulai 2016 Kementerian Keuangan membuat skema pembiayaan publik untuk pengendalian perubahan iklim di Indonesia. Hasil hitungannya, sejak 2016 sampai 2022, pemerintah sudah membelanjakan Rp 569 triliun atau US$ 37,9 miliar untuk pembiayaan iklim ini (lihat tabel).
Namun di awal-awal, aliran dana pembiayaan iklim lebih banyak digunakan untuk sektor energi dan transportasi yang diselenggarakan lembaga pemerintahan. Maklum, sektor energi adalah salah satu sumber GRK terbesar di Indonesia, karena pembangkit listrik banyak dari batubara.
Setelah 2018, pembiayaan iklim mengarah ke sektor publik secara lebih luas, termasuk untuk industri kendaraan listrik. Selain itu, pemerintah juga membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), yang bertugas menarik dana dan komitmen iklim global ke Indonesia.
Lembaga ini akan mengumpulkan komitmen pendanaan dari bilateral, multilateral atau lembaga pembiayaan global yang ingin berkontribusi menurunkan GRK di Indonesia. Joko Tri Haryanto, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) bilang, komitmen pembiayaan itu ada yang berbentuk pinjaman dengan bunga khusus, ada yang berbentuk sumbangan, ada yang berbentuk hibah.
Selain itu ada juga dalam bentuk perdagangan jual beli emisi karbon. "Nah, salah satu cara menarik dana-dana global itu adalah lewat pembentukan organisasi semacam BPDLH, yang menampung dan menyalurkan dana itu," kata Joko.
Pendanaan BPDLH
Pembentukan BPDLH dilakukan karena persoalan administratif. Joko bilang, jika melalui mekanisme penyaluran dana pakai APBN, maka penarikan dana hingga distribusi pembiayaan dari dana akan ikut aturan APBN. "Sementara si pemilik dana tidak mau karena jika pakai APBN, penyalurannya tidak fleksibel," kata Joko.
Tak banyak yang mengetahui, kalau Indonesia memiliki lembaga yang bertugas menyalurkan dana untuk program iklim. Programnya mulai dari pengelolaan dana untuk kepentingan lingkungan hidup, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan perikanan, dan lainnya.
Sampai Maret 2024, lembaga yang dibentuk Kementerian Keuangan tahun 2019 ini sudah mengelola dana US$ 1,615 miliar atau setara Rp 25,84 triliun. Separuh dana berbentuk hibah senilai US$ 844 triliun, dalam bentuk pinjaman senilai Rp 4,2 triliun dan dalam bentuk sumbangan senilai US$ 500 juta.
Joko bilang, sumber pendanaan BPDLH berasal dari berbagai pihak. Mulai dari komitmen bilateral, multilateral, lembaga internasional, swasta dan lembaga filantropi dari berbagai negara. Sumber lainnya adalah, dana hasil dagang karbon yang digunakan untuk mempercepat perdagangan karbon dan pengendalian emisi GRK.
Meski sudah ada karbon yang terjual, Joko bilang, BPDLH masih memiliki stok karbon yang tervalidasi mencapai US$ 593 juta. "Ini potensi pengembangan jasa lingkungan Indonesia dari tahun 2013 sampai 2020 yang sudah bersih, siap untuk dicarikan pembeli atau kompensasinya," jelas Joko.
Penerima manfaat dari BPDLH itu adalah lembaga penelitian seperti kampus, koperasi, lembaga usaha, masyarakat dan lembaga pemerintahan. Joko bilang, pengucuran dana bisa dilakukan jika yang mengajukan dana tersebut berusaha melakukan usaha mitigasi dan adaptasi iklim.
Sampai Maret, BPDLH sudah menyalurkan pembiayaan US$ 110 juta, setara Rp 1,7 triliun untuk Kalimantan Timur. Pembiayaan itu dilakukan setelah Kaltim berhasil menurunkan emisi karbon dengan mempertahankan dekarbonisasi dan melestarikan lingkungan dengan cara mencegah deforestasi dan degradasi hutan.
Adapun sumber dana BPDLH untuk Kaltim berasal dari program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD)+ dan program Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Oleh Pemprov Kaltim, dana digunakan untuk pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan, peningkatan kapasitas institusi, dan juga sumber daya manusia.
Yang menarik, pendanaan yang dikucurkan ke Pemprov Kaltim juga mengalir ke level terkecil seperti pemerintahan kabupaten, desa dan komunitas termasuk perusahaan yang ikut berpartisipasi dalam program tersebut. "Pendekatannya jurisdiction approach, supaya pemerintah dengan swasta, serta masyarakat jadi satu kelompok yang kemudian BPDLH akan memberikan pelayanannya," kata Joko
Selain Provinsi Kaltim, daerah yang berhasil menuai pembiayaan iklim itu adalah Jambi sebesar US$ 70 juta. Adapun Jambi menuai pembiayaan global setara lebih dari Rp 1 triliun itu dilakukan setelah Jambi membuat proyek biocarbon.
Sama dengan Kaltim, Jambi juga mendapatkan pembiayaan karena berhasil menjaga tutupan hutannya. "Jika kita bisa mencegah adanya hutan yang terbakar, maka kita akan mendapatkan manfaat dari program tersebut. Kalau hutan kita jaga, manfaatnya dirasakan oleh masyarakat global," kata Joko yang mengisahkan cerita sukses di Kaltim dan Jambi.
Joko menjelaskan, secara keseluruhan pembiayaan iklim sudah disalurkan oleh BPDLH senilai US$ 450 juta. Ini belum termasuk pendanaan baru yang bisa diperoleh dari nilai karbon proyek baru yang sudah diidentifikasi BPDLH yang nilainya mencapai US$ 593 juta.
Selain dana pembiayaan skala besar proyek pengurangan GRK, BPDLH juga menyalurkan dana filantropi yang bentuknya hibah dan juga bantuan. Dana ini biasanya berasal dari lembaga filantropi seperti Bill Gates Foundation, Melinda Gates Foundation, Ford Foundation, Bezos Foundation, Rockefeller Foundation dan lainnya. "Dana-dana ini berasal dari orang kaya yang kebingungan menghabiskan duitnya," terang Joko.
Adapun karakter pembiayaan berupa hibah yang dilakukan filantropi ini lebih banyak untuk program yang ada di grassroot atau level tapak dari masyarakat. Pendanaan inilah yang bisa dimanfaatkan komunitas dan penggiat lingkungan di Indonesia. "Kalau pendanaan dari filantropi ini, mereka senang masuk ke masyarakat tapak, perhutanan sosial, masyarakat hukum adat," jelas Joko.
Adapun untuk proyek hibah, Joko bilang sudah menyalurkannya ke kelompok masyarakat yang paling terpinggirkan dan juga masyarakat hukum adat, termasuk juga riset-riset terapan yang dilakukan oleh kampus dan universitas di Indonesia, baik universitas tier I maupun tier II yang banyak ada di daerah.
BPDLH juga punya mekanisme dana bergulir untuk sektor usaha terkait iklim, baik itu pertanian, perkebunan, kehutanan dan lingkungan dengan komitmen Rp 4,21 triliun.
Insentif dari APBN
Pemerintah juga memiliki peran dalam pembiayaan hijau melalui mekanisme Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Noor Syaifudin, Analis kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan bilang, ada mekanisme insentif fiskal seperti tax holiday, tax allowance, bebas uang masuk mesin ramah lingkungan, termasuk mobil listrik.
Selain mobil listrik, industri lain berpeluang mengakses insentif hijau tersebut. "Contohnya bisa ajukan kemudahan bea masuk impor mesin yang lebih ramah lingkungan," kata Noor.
Dalam catatan Kemenkeu, kebutuhan dana mitigasi dan adaptasi iklim di Indonesia sampai 2030 mencapai Rp 4.0002 triliun atau Rp 307,88 triliun per tahun dan baru terealisasi Rp 43,57 triliun per tahun. "APBN baru memenuhi sekitar 14% pendanaan aksi mitigasi per tahunnya," kata Noor lagi.