KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah masih bergerilya mencari sumber pembiayaan untuk sejumlah program ambisius yang menelan anggaran jumbo. Ambil contoh, program tiga juta rumah yang jelas butuh pendanaan besar. Pemerintah sampai harus minta bantuan Bank Indonesia (BI) untuk menyokong pembiayaan program perumahan tersebut. Caranya, kelak BI akan membeli surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah untuk mendukung program ini di pasar sekunder.
Kenapa sampai menggandeng bank sentral yang notabene tugasnya mengelola moneter bukan fiskal? Ya karena APBN tidak mencukupi untuk membiayai pembangunan tiga juta rumah. Terlebih, APBN juga tersedot untuk program andalan Presiden Prabowo Subianto lain yang juga butuh anggaran besar. Seperti program makan bergizi gratis. Belum lagi dengan kehadiran Danantara, sebuah badan investasi pemerintah, yang juga butuh dukungan pendanaan tidak sedikit untuk kebutuhan investasi.
Di sisi lain, penerimaan negara belum optimal alias masih terbatas. Itu sebabnya, pemerintah gencar memangkas anggaran yang hasilnya direalokasikan untuk mendanai program-program yang butuh dana besar tadi.
Masalahnya efisiensi anggaran ini sebetulnya tak benar-benar mengurangi bujet belanja negara. Hanya merealokasi anggaran. Jadi sama saja. Dus, dengan penerimaan negara utamanya penerimaan pajak yang masih seret, ditambah tekanan utang jatuh tempo tahun ini yang mencapai Rp 800,33 triliun, membuat ruang fiskal menjadi terbatas. Alhasil, risiko fiskal menjadi ancaman yang mengintai.
Defisit anggaran pun potensial membengkak dari target. Meningkatnya risiko fiskal itu pula yang mendasari bank investasi Amerika Serikat (AS) Goldman Sachs menggunting peringkat aset investasi di Indonesia. Goldman Sach meramalkan, defisit APBN 2025 bakal menembus 2,9% dari produk domestik bruto (PDB). Jauh dari target APBN 2025 yang sebesar 2,53% PDB.
Ancaman kenaikan risiko fiskal ini tak boleh diabaikan. Sebab bagaimanapun, APBN adalah jangkar ekonomi negara. Kredibilitas APBN mencerminkan pula pengelolaan fiskal sehingga harus hati-hati penggunaannya. Jika sembrono, ugal-ugalan mengutak-atik dan mengelola fiskal, sudah pasti bakal merusak kredibilitas APBN. Dan bahayanya akan meruntuhkan kepercayaan investor termasuk para pemodal asing.
Apa yang terjadi di pasar keuangan belakangan ini, tekanan jual asing yang besar, bukan semata faktor eksternal. Tapi juga cerminan kekhawatiran soal keberlangsungan fiskal Indonesia. Jadi, jangan dibuat main-main soal pengelolaan APBN ini.