Saham PGN (PGAS) Auto Reject Bawah, Tersengat Sengketa Pajak Rp 3,06 Triliun
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akibat kekalahan sengketa pajak senilai Rp 3,06 triliun, harga saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) auto reject bawah (ARB) di hari pertama perdagangan bursa tahun 2021. Di menit awal perdagangan sesi I Senin (4/1), harga saham PGAS anjlok ke posisi Rp 1.540 per saham, alias turun 6,95% dari penutupan akhir tahun lalu.
Hal ini besar kemungkinan terkait kekalahan PGAS dalam sengketa pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di tingkat Mahkamah Agung (MA). PGAS berpotensi membayar pokok sengketa pajak senilai Rp 3,06 triliun ditambah denda lantaran Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tahun 2019 silam.
Terhadap hal tersebut, PGAS juga belum membentuk pencadangan dalam laporan keuangan per 30 September 2020. Alasannya, pada saat penyusunan laporan keuangan 30 September 2020, PGAS masih memiliki keyakinan dapat memenangkan perkara tersebut.
Dalam keterbukaan informasinya kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), Rachmat Hutama Sekretaris Perusahaan PGAS menyatakan, keyakinan PGAS dapat memenangkan perkara tersebut didasarkan atas Pengadilan Pajak telah mengabulkan seluruh permohonan perseroan pada angka 1.d yang didukung dengan penegasan DJP melalui:
1. Surat DJP Nomor: S-470/WPJ.19/KP.0307/2009 tanggal 19 Agustus 2019 yang menegaskan bahwa bahwa gas bumi yang dijual Perseroan merupakan barang hasil pertambangan yang tida dikenai PPN.
2. Surat DJP Nomor : S-2/PJ.02/2020 tanggal 15 Januari 2020 yang menegaskan bahwa kegiatan mengalirkan gas bumi dalam rangka penjualan gas bumi kepada pelanggan merupakan satu kesatuan kegiatan menyerahkan gas bumi yang tidak dikenai PPN.
3. Tagihan pajak atas sengketa yang sama untuk periode tahun 2014-2017 telah dihapus oleh DJP.
Perseroan, lanjut Rachmat, memperoleh informasi adanya putusan PK melalui website MA pada tanggal 18 Desember 2020 setelah Laporan Keuangan Perseroan per 30 September 2020 disampaikan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Saat ini, Perseroan sedang mengevaluasi dan menyiapkan upaya hukum yang akan ditempuh yang pelaksanaannya akan dilakukan setelah menerima Salinan Putusan PK secara resmi sesuai prosedur yang ditetapkan UU Mahkamah Agung," tulis Rachmat, Rabu (30/12).
Selain sengketa pada angka 1 di atas, PGAS juga memiliki sengketa pajak dengan pokok perkara yang sama yaitu perbedaan penafsiran ketentuan PMK terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi untuk periode tahun 2014-2017.DJP menerbitkan 48 SKPKB dengan total nilai sebesar Rp 3,82 triliun.
Upaya yang telah dilakukan oleh Perseroan adalah mengajukan upaya keberatan kepada DJP atas penerbitan 48 SKPKB periode tahun 2014-2017 tersebut, dengan hasil DJP mengabulkan seluruh permohonan keberatan Perseroan dan membatalkan tagihan dengan total nilai sebesar Rp 3,82 triliun tersebut.
Dengan penegasan dari DJP melalui surat nomor S-2/PJ.02/2020 tanggal 15 Januari 2020 tidak akan terjadi dispute atas PPN gas bumi untuk periode ke depan dan diharapkan dapat menguatkan upaya-upaya hukum lebih lanjut atas sengketa tahun 2012-2013.
Kronologis perkara hukum
Keterbukaan informasi PGAS itu bermula saat BEI mengirimkan surat bernomor S-08051/BEI.PP2/12-2020 tanggal 23 Desember 2020. Dalam suratnya, BEI meminta meminta penjelasan atas surat PGAS sebelumnya bernomor 038400.S/HM.01.00/COS/2020 tanggal 18 Desember 2020 perihal laporan informasi atau fakta material. Atas surat BEI tersebut, manajemen PGAS memberikan kronologi munculnya perkara hukum, fakta material tersebut.
Lewat keterbukaan informasinya hari ini, Rachmat menyatakan PGAS memiliki perkara hukum yaitu sengketa pajak dengan DJP atas transaksi tahun pajak 2012 dan 2013 yang telah dilaporkan di dalam catatan Laporan Keuangan 31 Desember 2017 dan seterusnya. Adapun pokok sengketa sebagai berikut:
a. Sengketa tahun 2012 berkaitan dengan perbedaan penafsiran dalam memahami ketentuan perpajakan yaitu PMK-252/PMK.011/2012 (“PMK”) terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi.
b. Sengketa tahun 2013 berkaitan dengan perbedaan pemahaman atas mekanisme penagihan Perseroan. Pada Juni 1998 Perseroan menetapkan harga gas dalam US$/MMBTU dan Rp/M3 disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang Rp terhadap US$, yang sebelumnya harga gas dalam Rp/M3 saja. DJP berpendapat porsi harga Rp/M3 tersebut sebagai penggantian jasa distribusi yang dikenai PPN, sedangkan Perseroan berpendapat harga dalam US$/MMBTU dan Rp/M3 merupakan satu kesatuan harga gas yang tidak dikenai PPN.
c. Atas sengketa pada huruf a dan b diatas, DJP menerbitkan 24 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan total nilai sebesar Rp. 4,15 Triliun untuk 24 masa pajak.
d. Selain sengketa pada huruf a dan b di atas, juga masih terdapat sengketa Perseroan dengan DJP untuk jenis pajak lainnya periode tahun 2012-2013 melalui penerbitan 25 SKPKB dengan total nilai sebesar Rp 2,22 Miliar.
Proses upaya hukum yang telah diajukan atas penetapan 49 SKPKB adalah :
i. Pada tahun 2017, Perseroan mengajukan upaya hukum keberatan, namun DJP menolak permohonan tersebut.
ii. Selanjutnya, pada tahun 2018, Perseroan mengajukan upaya hukum banding melalui Pengadilan Pajak dan pada tahun 2019 Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan banding Perseroan dan membatalkan ketetapan DJP atas 49 SKPKB.
iii. Atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, pada tahun 2019, DJP mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung.
Atas upaya pengajuan PK oleh DJP untuk 49 SKPKB pada angka 1 saat ini terdapat 30 Putusan MA dalam website MA yang menginformasikan permohonan PK yang diajukan DJP telah diputuskan dikabulkan dengan nilai sengketa Rp 3,06 triliun, namun Perseroan belum menerima salinan Putusan MA sesuai prosedur yang ditetapkan dalam UU Mahkamah Agung.
Terkait keterbukaan informasi ini, KONTAN mencoba menghubungi Rachmat. Rachmat menjelaskan, sesuai dengan sengketa pajak tahun 2014-2017, PGAS sudah dinyatakan menang dengan tidak dikenakan PPN. "Sehingga kalau melihat kasusnya, seharusnya hasil (keputusan kasus pajak 2012-2013) sama dengan 2014-2017," tutur Rachmat kepada KONTAN, Rabu (30/12).
Kasus pajak tahun 2014-2017 PGAS memang tidak sampai PK di Mahkamah Agung karena dengan acuan PMK yang sama, sudah jelas tidak dikenakan PPN. "Menurut kami, karena kasus yangg terakhir (2014-2017) sudah clear tidak terkena PPN, maka ini akan dijadikan acuan untuk putusan PK," imbuh Rachmat. Namun ternyata hasil keputusan MA berbicara lain.
Ke depan, lanjut Rachmat, PGAS akan berkoordinasi DJP untuk corporate action dan hal-hal yg berpotensi dengan pajak.
Lantas bagaimana menyikapi tagihan senilai Rp 3,06 triliun dalam putusan MA tersebut? Rachmat menyatakan masih menunggu salinan resminya. "Untuk pembayaran masih di-review lagi dengan memperhatikan kondisi keuangan korporat," tandas Rachmat.
Sebagai catatan, dalam laporan keuangan PGAS 30 September 2020, posisi kas dan setara kas PGAS sebesar US$ 1,19 miliar. Adapun jumlah aset PGAS tercatat senilai US$ 7,50 miliar dengan nilai ekuitas sebesar US$ 3,24 miliar dan liabilitas sebanyak US$ 4,26 miliar.