KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Yield surat utang negara (SUN) kembali naik terkerek sentimen negatif yang terjadi belakangan ini. Meski begitu, investor dapat memanfaatkan tren tersebut untuk masuk pasar obligasi.
Mengutip Bloomberg, yield SUN seri FR0078 yang menjadi seri acuan tenor 10 tahun bertengger di 7,94% pada Selasa (7/5). Padahal, per 5 April yield SUN 10 tahun sempat menyentuh 7,54% merupakan level terendah di tahun ini.
Praktis, yield SUN 10 tahun kemarin telah menyamai level di akhir tahun lalu. Saat itu, yield SUN 10 tahun juga berada di level 7,94%.
Senior VP & Head of Investment Recapital Asset Management Rio Ariansyah menilai, tren kenaikan yield SUN mulai terjadi sejak akhir April lalu. Hal ini sejalan dengan tren pelemahan rupiah terhadap dollar AS.
Kondisi kian pelik setelah di awal Mei, isu perang dagang antara AS dan China kembali memanas. Ini terkait, Presiden AS Donald Trump yang melontarkan ancaman akan menaikkan bea impor terhadap produk China dari 10% menjadi 25% setara US$ 325 miliar.
"Meningkatnya tensi perang dagang membuat banyak investor global menjauhi aset-aset berisiko, tak terkecuali obligasi pemerintah Indonesia," ujar Rio, Selasa (7/5).
Keputusan The Federal Reserves saat FOMC yang mempertahankan suku bunga acuan AS belum mampu menstabilkan pergerakan yield SUN.
Tak selamanya negatif
Head of Fixed Income Fund Manager Prospera Asset Management Eric Sutedja mengatakan, tren kenaikan yield SUN tak selamanya menjadi pertanda negatif bagi pasar obligasi Indonesia.
Justru, ketika yield SUN 10 tahun kembali menyentuh level 7,94% atau setara dengan level akhir tahun lalu, kesempatan investor untuk memburu SUN di pasar primer ataupun sekunder pun menjadi terbuka. Sebab, investor bisa memperoleh SUN dengan harga lebih murah dari biasanya, tapi dikompensasi dengan tingkat kupon tinggi.\
Ditambah lagi, SUN merupakan instrumen likuid sehingga harga dan yield lebih mudah berubah dari waktu ke waktu. Dengan begitu, Eric menyarankan, investor untuk tetap berani masuk ke pasar obligasi pemerintah. "Kalau menunggu sampai kondisi pasar pulih, harga SUN mungkin sudah naik banyak," kata dia, kemarin (7/5).
Rio merekomendasikan investor untuk membeli SUN kendati kondisi pasar masih belum stabil. Bahkan, tidak masalah bagi investor untuk mengambil seri-seri bertenor panjang. Misalnya saja, FR0079 yang akan jatuh tempo pada tahun 2039.
Selain harga SUN tenor panjang sedang murah, potensi kenaikan harga seri tersebut juga lebih tinggi ketimbang seri bertenor pendek. "Rata-rata harga SUN tenor panjang dalam kondisi pasar yang normal bisa sampai 3%-4%. Sedangkan tenor pendek maksimal biasanya hanya 2%," terang Rio.
Kendati demikian, saat yield SUN masih bergerak volatil. Rio menyarankan agar investor tetap diversifikasi portofolio dengan membeli seri-seri dari berbagai tenor.
Eric juga memandang seri-seri SUN di atas lima tahun masih menarik untuk dikoleksi investor. Sebab, selisih atau spread yield SUN antara seri bertenor pendek dengan tenor panjang tergolong lebar.
Kemarin, SUN seri acuan tenor 5 tahun atau FR0077 berada di level 7,47% . Artinya, terdapat spread sebesar 0,47% dengan SUN seri acuan 10 tahun di 7,94%. "Secara historis rata-rata selisih hanya sekitar 0,25%," tutur Eric.
Terlepas dari itu, para analis meyakini tren kenaikan yield SUN masih akan terjadi secara jangka pendek. Rio berpendapat, selama isu perang dagang belum mereda, sangat mungkin yield SUN 10 tahun menembus ke 8%.
Namun, potensi kenaikan tersebut akan dipengaruhi pergerakan rupiah. "Kalau rupiah belum bisa menembus di atas level Rp 14.300, seharusnya peluang yield SUN untuk ke level 8% agak terbatas," jelas Rio.