Serahkan Sertifikasi ke Profesional, Pemerintah Disarankan Fokus Sebagai Regulator

JAKARTA. Lambat laun, suka atau tidak suka, tren perusahaan berkantor di green building atau gedung hijau yang ramah lingkungan akan menjadi tren di Indonesia. Apalagi, pemerintah Indonesia telah mengumumkan akan memenuhi net zero emisi karbon maksimal pada tahun 2060. Untuk mewujudkannya, pemerintah tak bisa berjalan sendiri tanpa melibatkan pelaku usaha penghasil karbon.
Untuk menjalankan komitmen itu, pemerintah saat ini sedang menggodok kebijakan pajak karbon. Artinya, perusahaan akan menghasilkan karbon akan dikenakan pajak. Nah, karbon yang dimaksudkan adalah emisi karbon dioksida yang dikeluarkan perusahaan. Semakin karbon yang dihasilkan, semakin besar pajak yang dibayarkan.
Maka itu, perusahaan lambat laun akan berusaha mengurangi emisi karbonnya, baik itu emisi karbon dari penggunaan energi listrik gedung, maupun emisi dari operasional gedungnya termasuk emisi karbon dari sampahnya. "Jika pajak karbon berlaku, maka green building menjadi solusi karena banyak mengurangi jejak emisi karbon," kata Wiza Hidayat, CEO Ecobuild kepada KONTAN.
Menurut Wiza, rata-rata penurunan konsumsi energi dalam implementasi green building bisa 30%. Penurunan konsumsi listrik itu juga akan menurunkan jejak karbon dari perusahaan. Begitu juga penghematan air dari penerapan green building yang akan mengurangi jejak karbon dari perusahaannya.
Tiyok Prasetyo Adi, International and Government Relation Director Green Bulding Council Indonesia (GBCI) berharap agar pemerintah fokus sebagai regulator dalam green building ini. "Sebagai regulator, sebaiknya mempersiapkan rambu-rambu dan standar green building," kata Tiyok. Adapun saat ini, pemerintah berperan sebagai regulator juga sebagai operator karena ikut mengeluarkan sertifikasi Bangunan Gedung Hijau (BGH). Tiyok menyarankan, sertifikasi diserahkan saja ke profesional. "Sebab saat ini banyak konsultan green building asing juga beroperasi di Indonesia," kata Tiyok.