Setop Bancakan BUMN

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Revisi Undang-Undang (UU) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) resmi disahkan DPR, Kamis 2 Oktober 2025. Pembaruan ini menjadi harapan besar agar pengelolaan BUMN lebih profesional, bukan untuk lahan bancakan tim sukses.
Salah satu poin penting UU BUMN baru adalah adanya ketentuan larangan rangkap jabatan menteri dan wakil menteri di kursi direksi, komisaris dan dewan pengawas BUMN. Ini sesuai amanat Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 228/PUU-XXIII/2025. Rangkap jabatan menjadi batu sandungan BUMN berkembang lebih pesat. Pasalnya, kursi petinggi perusahaan pelat merah itu menjadi ajang bancakan tim sukses pemenang Pemilu/Pilpres. Sering kali, pihak yang mendapat jabatan di BUMN tak memiliki kompetisi terkait perusahaan tersebut.
Tentu masih banyak yang ingat, seorang gitaris band rock menjadi komisaris Telkom. Belum lama ini, seorang terpidana kasus pencemaran nama baik Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi komisaris ID Food.
Poin penting revisi UU BUMN lainnya adalah perubahan status Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan (BP) BUMN. Pemerintah menilai transformasi ini akan memperkuat fungsi pengawasan, mengurangi konflik kepentingan, dan meningkatkan kinerja BUMN sebagai penopang ekonomi nasional. Namun, bukannya memangkas lapisan pengambilan keputusan, transformasi ke BP BUMN bisa menambah kerumitan administrasi. Badan pengaturan biasanya membentuk unit-unit teknis baru, yang berpotensi memperpanjang rantai birokrasi dan memperlambat respons BUMN terhadap dinamika pasar. Kepala BP BUMN akan mendapatkan kekuasaan yang besar atas perusahaan pelat merah dengan total aset lebih dari Rp 16.500 triliun. Jumlah tersebut hampir mencapai lima kali lipat nilai APBN 2025 yang sebesar Rp 3.621,3 triliun.
Jika mekanisme check and balance tidak diperkuat, konsentrasi kewenangan yang besar pada satu posisi bisa memunculkan gaya kepemimpinan yang otoritarian. Risiko ini semakin nyata jika transparansi dan mekanisme pengawasan eksternal, baik dari DPR maupun lembaga audit, tidak berjalan optimal.
Transformasi Kementerian BUMN menjadi BP BUMN sejatinya adalah langkah berani. Namun, tanpa mitigasi risiko yang cermat, transformasi ini justru bisa menimbulkan masalah baru: birokrasi yang lebih rumit, kekuasaan yang terpusat, hingga kinerja BUMN yang tidak kunjung membaik.