Berita Special Report

Siasat Startup Menjaring Investor Sebelum Menjadi Unicorn

Sabtu, 02 Februari 2019 | 23:15 WIB
Siasat Startup Menjaring Investor Sebelum Menjadi Unicorn

Reporter: Dian Sari Pertiwi, Lamgiat Siringoringo | Editor: Dian Pertiwi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bagi perusahaan startup pendanaan jadi bahan bakar untuk melanjutkan perjalanan bisnis. Tanpa bahan bakar itu, tak mungkin startup seperti Tokopedia, Traveloka, Bukalapak dan Go-Jek bisa menjelma jadi perusahaan unicorn dengan valuasi puluhan triliun rupiah. Unicorn merupakan istilah untuk perusahaa teknologi bervaluasi lebih dari US$ 1 miliar.

Tapi, sebelum menjadi unicorn mereka harus berdarah-darah meyakinkan investor untuk menanamkan modalnya. Bahkan, salah satu unicorn sama sekali belum memiliki produk saat pendanaan tahap awal (seed funding) masuk.

Willson Cuaca, Co-Founder & Managing Partner East Ventures bilang di awal East Venture menyuntik Traveloka, unicorn dengan taksiran valuasi senilai Rp 61 triliun itu belum memiliki produk sama sekali.

“Waktu itu Ferry (CEO Traveloka) kontak saya, katanya mau pulang ke Indonesia dan mau buat Traveloka, produknya saat itu belum ada sama sekali,” kata Willson kepada Kontan, beberapa waktu lalu.

Meski baru tahap ide, potensi bisnis penjualan tiket travel domestik cukup menjanjikan.

Dua tahun sebelum Traveloka mendapat pendanaan, ada startup unicorn lain yang kesulitan meyakinkan investor menanamkan modalnya. Dia adalah Tokopedia. Meski penetrasi internet cukup masif, namun ekosistem e-commerce dan sistem pembayaran belum ada. Kondisi ini membuat ide membangun marketplace tak mampu menarik minat investor.

William Tanuwijaya, CEO Tokopedia harus mendatangi satu per satu kandidat investor potensial, dimulai dari bos tempatnya bekerja.  Sang bos memperkenalkan William kepada rekan bisnisnya. “Saya mencoba pitching tentang ide Tokopedia, namun kondisi saat itu belum seperti sekarang, di mana perusahaan teknologi dianggap sebagai bisnis yang menjanjikan,” kata William kepada Tabloid Kontan.

Beruntung, pada tahun 2010 pasar Indonesia mulai terekspos saat Yahoo mengakuisisi situs Koprol. Di tahun yang sama, Tokopedia juga mendapat suntikan seed funding dari East Venture.

Willson menyebut saat itu East Venture mengontak William secara langsung dan tertarik menanamkan modalnya di Tokopedia. Co-founder East Venture lainnya, Batara Eto dan Taiga Matsuyama yang berbasis di Jepang melihat potensi Tokopedia, seperti mereka melihat Rakuten.  

“Karena belum ada yang kenal East Venture, jadi saya waktu itu email William langsung. Waktu kita masuk ke Tokopedia, transaksi dia per bulan baru 100 transaksi,” kata Willson.

Meski Willson selalu bilang founder atawa pendiri startup sebagai pertimbangan utama dalam menanamkan modalnya, namun potensi e-commerce dan marketplace di negara berpenduduk 250 juta jiwa ini cukup menjanjikan. Di tahun 2010, penetrasi dan perkembangan internet sangat bagus. Jumlah pengguna internet saat itu sudah mencapai 22 juta orang.

Setahun berselang, investor lain terus berdatangan menyuntik Tokopedia. Di tahun 2011 ada CyberAgent ikut menanamkan modalnya. Setahun berselang, ada Beenos dan disusul Softbank. Puncaknya, di tahun 2014 Tokopedia mulai dipercaya mendapat investasi sebesar US$ 100 juta dari Softbank dan Sequoia Capital.

Sekarang, Tokopedia telah dikunjungi lebih dari 90 juta pengguna internet. “Transaksi yang terjadi di platform kami sudah menjangkau 93% kecamatan di Indonesia,” kata Priscilla Anais, CEO Office Manager Tokopedia.

Setali tiga uang, Bukalapak juga mengalami hal yang sama dengan Tokopedia. Berdiri di tahun 2010 Bukalapak hanya sebuah situs yang punya peran seperti iklan baris. Belum ada sistem pembayaran di sana. Berawal dari lima pelapak, setahun berselang ada 10.000 pelapak menjajakan barang dagangannya di sana.

“Saat itu kami mencari dana dengan cara bootstrap, situasinya sangat susah sekali jadi pakai dana sendiri dulu,” kata Fajrin Rasyid, co-founder Bukalapak.

Para pendiri Bukalapak yang merupakan teknisi IT mencari cara untuk menjaga marketplace ini tetap bernafas. Caranya, dengan menggarap proyek sampingan. Rasyid bilang tim di Bukalapak mendapat uang dari proyek pembuatan website perusahaan.

“Kami dapat investor pertama kami Batavia Incubator itu awalnya karena pitching pembuatan website, saat itu kami juga sebutkan portofolio produk yang sudah kami buat, termasuk Bukalapak,” kata Rasyid.

Berjodoh, perusahaan asal Jepang ini justru tertarik dengan model bisnis Bukalapak yang belum ada di Indonesia. Maklum, di Jepang marketplace sudah lebih dikenal. Setelah dapat investor pertama, Bukalapak mulai memisahkan antara tim yang menggarap proyek pembuatan website dengan tim yang fokus mengembangkan Bukalapak.

Setahun berselang, Bukalapak diperkenalkan dengan Gree Investor oleh Batavia Incubator. Dari Gree, Bukalapak mengantongi pendanaan seri A dengan nilai yang tak disebutkan. “Waktu itu yang jelas sudah kelihatan bahwa Bukalapak jalan, meski belum ada payment tapi produknya sudah terbentuk dan sudah ada puluhan ribu pedagang,” kata Rasyid.

 

Jaga keseimbangan

Menjadi unicorn bukan perkara mudah bagi perusahaan-perusahaan rintisan ini. Mereka harus mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan para pemodal dengan visi dan misi perusahaan.

Rasyid, co-founder Bukalapak menyebut pihaknya selalu mengacu pada kesepakatan yang telah dibuat antara kedua belah pihak. “Term dan agreement-nya diperhatikan betul karena itu mengikat, jadi kalau PIC di pihak investornya ganti bisa saja gayanya berubah tapi kita balik lagi mengacu pada agreement yang ada,” kata Rasyid.

Selain mengacu pada agreement, perusahaan juga harus jujur mengungkapkan kondisi perusahaan. Baik dalam keadaan untung maupun rugi. “Kalau target tercapai itu bagus, tapi kalau tidak tercapai harus jujur jangan bilang tecapai supaya bisa sama-sama solve problem,” katanya.

Saat ini, lebih dari 3 juta pedagang bergabung di Bukalapak. Sejak tahun 2010, Bukalapak telah menggelar enam kali pendanaan. Nilai pendanaan terakhir Seri D yang berhasil dikantongi Bukalapak mencapai US$ 50 juta.

Begitu juga dengan Tokopedia. Mengutip Crunchbase, perusahaan ini telah berhasil menggalang dana sebanyak sembilan kali dengan nilai US$ 2,4 miliar. Meski berhasil disuntik banyak investor, marketplace dengan 5 juta pedagang ini menyebut tak kesulitan menjaga keseimbangan kepentingan investor dengan visi dan misi perusahaan.

“Kami memiliki basis pemegang saham yang sangat suportif dan sepenuhnya mendukung misi, strategi manajemen, kepemimpinan dan rencana bisnis kami. Tentu ini sebuah kemewahan yang tidak dimiliki setiap perusahaan,” kata Priscilla.

 

 

 

 

 

 

 

 

Terbaru