Tak Pantas Memimpin
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketakutan dan trauma akibat air bah yang menelan rumah-rumah masih dirasakan jutaan warga di Sumatra. Ratusan ribu warga juga harus berjuang setiap hari untuk mencari sesuap nasi dan mendapatkan tempat tidur yang layak karena harta bendanya hilang akibat bencana.
Namun seorang kepala daerah yang seharusnya berdiri di garis paling depan, malah meninggalkan rakyatnya berjuang sendirian di tengah bencana dahsyat. Bupati Aceh Selatan justru pergi umrah bersama keluarga -- tanpa izin, tanpa tanggung jawab, dan tanpa rasa malu. Keputusannya meninggalkan rakyat di tengah krisis memicu kemarahan publik dan menjadi simbol nyata kegagalan moral seorang pemimpin.
Kepala daerah adalah jabatan politik, dipilih oleh rakyat, disumpah di hadapan negara, dan mengemban kewajiban hukum yang sangat jelas. Merujuk Pasal 67 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewajiban kepala daerah yang paling fundamental: melindungi, melayani, dan menyejahterakan masyarakat.
Pada saat bencana, kewajiban tersebut menjadi prioritas utama. Seorang pemimpin boleh salah dalam strategi, namun tidak boleh absen. Ia boleh lelah, tetapi tidak boleh lari dari kewajiban. Ia boleh berdoa, tetapi tidak boleh meninggalkan rakyat demi kenyamanan pribadi.
UU 23/2014 bukan sekadar rangkaian pasal formal, tetapi kontrak moral yang menjamin bahwa kekuasaan disertai tanggung jawab. Tindakan meninggalkan wilayah saat status tanggap darurat berlaku bukan sekadar kesalahan administratif, tetapi pengkhianatan moral terhadap sumpah jabatan.
Dalam perspektif UU 23/2014, tindakan tersebut memenuhi syarat pemberhentian melalui beberapa aspek, yakni melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban melindungi masyarakat, melanggar larangan melakukan perjalanan tanpa izin dan meninggalkan tugas, hingga perbuatan tercela yang mencoreng martabat jabatan. Pemimpin yang meninggalkan rakyat saat bencana bukan hanya gagal secara administratif. Ia telah gagal menjadi manusia.
UU 23/2014 memberikan mekanisme pemberhentian kepala daerah melalui usulan DPRD, proses di Mahkamah Agung, dan kewenangan Pemerintah Pusat jika DPRD gagal menjalankan fungsi. Pemecatan kepala daerah bukan hanya urusan prosedural. Ini adalah pesan moral yang membangun deterrent effect. Negara harus memberi sinyal bahwa jabatan publik bukan tempat berkongsi kepentingan, tetapi tugas berat yang harus dipikul dengan kesetiaan.
