KONTAN.CO.ID - Tahun lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan Indonesia Composite Bond Index (ICBI) sama-sama tumbuh, masing-masing sebesar 6,2% dan 8,6%.
Pertumbuhan positif juga tercatat dalam tiga tahun terakhir. IHSG tercatat naik 22,94%, sementara ICBI 36,04%. Lalu, selama lima tahun belakangan, kenaikan IHSG dan ICBI masing-masing mencapai 25,82% dan 53,54%.
Kinerja saham yang kuat dalam tiga dan lima tahun terakhir berkat pemulihan pasca pandemi Covid-19. Selain itu, kebijakan trading halt saat IHSG turun 5% serta auto rejection asimetris membantu menahan penurunan harga saham lebih dalam selama pandemi. Tambah lagi, saham-saham penawaran umum perdana (IPO) yang melejit turut menopang kinerja IHSG, khususnya pada 2023.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri, banyak tantangan yang pasar saham juga obligasi hadapi di 2023. Alhasil, juga ikut memengaruhi kinerja reksadana campuran, dengan portofolio campuran pasar uang, obligasi, saham.
Baca Juga: Gairah Reksadana Saham Telah Kembali
Felisya Wijaya, Investment Specialist Sucor Asset Management (AM), mengatakan, tantangan tersebut di antaranya tren kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed, yang membuat outflow dana investor asing, baik di instrumen saham maupun obligasi, sebagai langkah flight to safety. Kemudian, ada pula tantangan pemulihan pasca pandemi.
"Selain itu, eskalasi perang dagang China dan AS juga menyebabkan penurunan ekspor Indonesia, akibat tarif yang lebih mahal atas produk China," kata Felisya.
Pengaruh negatif
Lalu, akhir 2023, tensi politik domestik semakin tinggi menjelang Pemilu 2024. Investor juga wait and see kondisi politik Indonesia.
"Dari sisi obligasi, kenaikan tingkat suku bunga sepanjang 2022 hingga 2023 turut berdampak pada penurunan harga obligasi secara keseluruhan. Selain itu, operation twist oleh BI (Bank Indonesia) juga memberikan pengaruh negatif terhadap obligasi khususnya tenor pendek," ujar Felisya.
Tahun 2024, Gema Kumara Darmawan, Chief Investment Officer Samuel Aset Manajemen (SAM) meyakini, return reksadana campuran berpeluang mencetak hasil yang positif. Pasalnya, reksadana "gado-gado" ini punya fleksibilitas tinggi dalam melakukan alokasi aset, antara saham, obligasi, dan pasar uang. Ini membuatnya bisa menyesuaikan porsi alokasi aset sesuai dengan arah pergerakan pasar yang dinamis.
Cuma, ia mengingatkan, ada potensi risiko dari global dan regional. Misalnya, perlambatan ekonomi China berlangsung lebih lama dan lebih buruk. Lalu, ekspektasi penurunan suku bunga pada semester kedua tahun ini tidak terjadi, harga minyak mentah dunia naik signifikan yang memicu kenaikan inflasi secara global, dan terjadi credit event.
"Sementara dari sisi domestik, apabila terjadi pelemahan nilai tukar rupiah, yang memicu arus dana asing keluar," imbuh Gema.
Yuk, simak strategi jawara reksadana campuran mengacu hasil penilaian PT Infovesta Utama berdasarkan return per Desember 2023.
- Sucorinvest Premium Fund (SPF)
Sejak 2020, Felisya mengungkapkan, strategi dari SPF adalah fokus pada alokasi obligasi jangka pendek hingga menengah. Sehingga, ketika terjadi pemangkasan suku bunga di 2021 dan bertahan di level rendah 3,5%, obligasi mendukung performa SPF.
Di sisi lain, walau porsi ekuitas hanya di kisaran 15%-20%, pemilihan saham diuntungkan kenaikan harga saham energi yang ditopang lonjakan harga komoditas seperti batubara.
"SPF juga tidak memiliki saham-saham berbasis teknologi, sehingga penurunan yang terjadi pada saham-saham tersebut tidak berdampak pada kinerja SPF," sebut dia.
Strategi lainnya, melakukan alokasi pada efek-efek yang menghasilkan volatilitas lebih rendah dari tolok ukurnya dalam jangka panjang, dengan potensi kinerja menarik. Contoh, menginvestasikan sebagian besar dana pada efek bersifat utang (obligasi/sukuk) dengan tenor pendek hingga menengah, yang punya potensi risk-return menarik.
Untuk efek ekuitas, strateginya adalah menerapkan metode high conviction yang berfokus pada pencarian alpha. Yakni, pada saham-saham yang memenuhi filosofi investasi dari Sucor AM dan memiliki potensi pertumbuhan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Felisya mengungkapkan, strategi ke depan untuk SPF juga akan sama. "Dari sisi pasar obligasi, kami menilai, masih terdapat hal yang perlu diperhatikan, mengingat The Fed masih membutuhkan waktu lebih untuk memberikan kepastian akan pemangkasan suku bunganya, meskipun sudah tidak terdapat potensi kenaikan suku bunga yang akan dilakukan oleh The Fed maupun BI," ungkapnya.
Baca Juga: Melihat Bagaimana ACES Terapkan Eco-Friendly dari Kantor hingga Konsumen
Sementara untuk Sucorinvest Anak Pintar (SAP), strategi yang Sucor AM terapkan adalah secara aktif menyesuaikan beta portofolio dan manajemen durasi serta rotasi sektor untuk menciptakan peluang pada perubahan siklus pasar. Dengan pengaturan beta secara aktif, SAP mampu mencari alpha dengan mengoptimalkan alokasi aset secara taktis.
Selain itu, SAP mengalokasikan porsi efek bersifat utang pada obligasi korporasi jangka pendek hingga menengah yang memiliki potensi risk-return menarik, historis yang relatif stabil. Tapi, di sisi lain memberikan potensi kinerja yang ciamik.
"Kami masih menerapkan strategi serta pemilihan asset yang sama untuk SAP di tahun ini, di mana terdapat potensi pemangkasan suku bunga acuan di 2024. Sehingga, kami terus secara aktif menerapkan alokasi secara strategis dan manajemen durasi untuk memaksimalkan kinerja portofolio," beber Felisya.
- SAM Cipta Sejahtera Campuran
SAM Cipta Sejahtera mencatatkan kinerjanya yang baik untuk periode satu tahun. Menurut Gema, faktor utama di balik kinerja yang baik reksadana ini adalah alokasi aset dan pemilihan efek yang tepat sepanjang 2023.
Pemilihan efek di tahun lalu yang menyumbangkan kinerja positif SAM Cipta Sejahtera Campuran antara lain saham small-medium cap. Lalu, pemilihan durasi yang tepat pada instrumen obligasi.
"Dalam memilih instrumen investasi, kami memperhatikan empat kriteria, yaitu sektor yang prospektif, valuasi relatif aset/efek, tata kelola yang baik (GCG), dan likuiditas efek itu di pasar," ungkap Gema.
Tetapi, di 2024, ada sedikit perubahan dalam alokasi aset. Kecenderungannya 50:50 pada aset berbasis saham dan obligasi atau pasar uang. Sedang di 2023, alokasi aset mayoritas pada aset berbasis saham dengan porsi 60%-70%.
"Kami melihat, porsi alokasi 50:50 saat ini merupakan pilihan yang bijak untuk mendapatkan potensi imbal hasil yang optimal disertai dengan perhitungan risiko yang terukur," jelas Gema. ***