KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memasuki semester kedua 2025, belum banyak berita positif di ranah industri manufaktur. Yang terbaru adalah pengenaan tarif impor resiprokal untuk produk Indonesia sebesar 32% oleh Presiden Donald Trump.
Jika tarif impor tinggi itu tidak berubah, beberapa sektor industri dalam negeri yang banyak mengekspor ke Amerika Serikat (AS) tentu akan terpukul. Industri minyak sawit atau CPO salah satunya. Dengan tarif impor 32%, CPO Indonesia akan kalah bersaing dengan CPO Malaysia yang hanya dikenai tarif 25%.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) telah memperkirakan, bahwa tarif impor baru itu akan membuat ekspor CPO ke Amerika turun sekitar 15%-20%. Pangsa pasar CPO Indonesia di AS yang mencapai 85% akan tergerus.
Kondisi ini tentu akan memberi tekanan tambahan terhadap industri manufaktur di dalam negeri. Padahal, selama ini, industri CPO merupakan salah satu industri berbasis komoditas yang relatif tahan banting karena harganya belum banyak terkoreksi. Nasib industri CPO jauh lebih baik ketimbang industri berbasis komoditas tambang seperti batubara dan nikel yang terpukul penurunan harga. Catatan saja, sumbangan industri CPO sekitar 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Sebelumnya, pelemahan industri manufkatur dalam negeri juga terekam dalam indeks PMI Manufaktur yang masih berada di zona kontraksi 47,4 bulan Mei lalu. Indeks di bawah 50 menandakan manufaktur tidak melakukan ekspansi produksi.
Pelemahan pertumbuhan kredit bank juga bisa menjadi pertanda bahwa ekspansi dan kinerja sektor manufaktur tertahan. Di luar itu, tentu saja, tren pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih terjadi menjadi bukti lain yang tak terelakkan. Jika “blusukan” ke korporasi, kita akan menemukan bahwa strategi “efisiensi” tengah populer.
Memang, tarif 32% itu belum final. Masih ada ruang negosiasi sampai hari ini (waktu AS). Namun, gula-gula yang ditawarkan Pemerintah Indonesia kepada AS agar memperoleh tarif impor lebih murah berpotensi menimbulkan komplikasi lain.
Misalnya soal janji membeli produk AS senilai US$ 34 miliar atau sekitar Rp 544 triliun. Di dalam negeri, siapa yang akan membeli produk-produk impor asal AS itu? Banyak pengamat dan ekonomi khawatir daya beli masyarakat yang lemah dan pebisnis yang sedang dalam mode efisiensi tak cukup kuat menyerapnya. Asal tahu saja, selama ini, pangsa pasar produk impor asal AS di Indonesia hanya 5,1%!