KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Selama lima tahun terakhir (2016-2020), Badan usaha Milik Negara (BUMN) terus menumpuk utang. Pada tahun lalu, total kewajiban perusahaan pelat merah mencapai Rp 6.710 triliun atau meningkat 9,6% dibandingkan tahun 2019.
Ditambah hantaman pandemi Covid-19, tumpukan utang menyebabkan sejumlah BUMN tergopoh-gopoh berjalan. Ambil contoh, utang PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) yang jatuh tempo per Mei 2021 sebesar Rp 70 triliun atau US$ 4,9 miliar dari total utang senilai Rp 140 triliun.
Kemudian utang PT Perkebunan Nusantara (Persero) yang mencapai Rp 43 triliun. PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) juga memiliki utang Rp 40 triliun. Belum lagi utang PLN per 30 Juni 2021 tercatat mencapai Rp 643,86 triliun, kemudian utang Pertamina yang mencapai Rp 600 triliun.
Di saat utang bertumpuk, kontribusi BUMN ke negara pun terlihat minim. Misalnya, pada tahun lalu, BUMN hanya menyumbang laba bersih senilai Rp 41 triliun, atau merosot 75,60% dibandingkan 2019. Pendapatan korporasi pelat merah juga menyusut 15,72% year-on-year (yoy) menjadi Rp 1.957 triliun pada 2020.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengemukakan, total liabilitas BUMN yang senilai Rp 6.710 triliun itu masih harus dirinci. Dia membeberkan, sekitar 31% dari total liabilitas tersebut merupakan utang pendanaan. Artinya, utang pendanaan BUMN sampai tahun lalu mencapai Rp 2.080 triliun.
"Kemudian hampir 47% merupakan dana pihak ketiga sektor perbankan, sisanya merupakan pendanaan utang usaha dan utang lain-lain," kata Arya saat dihubungi KONTAN, Kamis (23/9).
Menurut dia, tingkat utang BUMN masih tergolong sehat dari sisi perusahaan. Secara kolektif, BUMN memiliki rasio utang pendanaan terhadap total modal di bawah 45%. "Rasio ini masih terjaga selaras dengan rasio sejenis untuk perusahaan-perusahaan investment grade," ujar dia.
Setiap BUMN pun memiliki strategi dan roadmap dalam pengelolaan utangnya. Oleh sebab itu, dia mengklaim utang BUMN masih dalam kategori aman dan tidak mengkhawatirkan. "Kan biasa namanya bisnis punya utang, sepanjang utangnya untuk pengembangan bisnisnya," ucap Arya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai kinerja perusahaan tidak bisa hanya dilihat dari besaran utang. Perlu juga mencermati ekuitas, total aset, serta piutang BUMN. Hal terpenting, kata dia, bisnis yang dijalani BUMN tetap berjalan.
"Kalau utang BUMN saat ini saya nggak khawatir, operasinya kan masih berjalan. Kalau sudah kayak Evergrande baru itu persoalan, usahanya udah nggak jalan, utang ribuan trilun, dan itu hanya satu perusahaan lho. Ini kan total seluruh BUMN," ujar Piter.
Utang BUMN seperti PT PLN dan BUMN Karya sebagian juga berasal dari penugasan pemerintah. Kendati begitu, mereka memiliki aset yang besar. Kehadiran Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Investment Authority (LPI/INA) bisa menjadi angin segar untuk pendanaan dan membiayai proyek strategis, khususnya bagi BUMN Karya. "Masalahnya kan di likuiditas. Jadi istilahnya duitnya belum berputar. Kalau duitnya sudah berputar, persoalan utang ini masih dalam koridor yang aman," ujar Piter.
Dalih minta PMN
Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov justru melihat, pemanfaatan utang BUMN perlu diidentifikasi. "Pak Erick (Menteri BUMN) juga sudah menyampaikan kemarin, dari utang yang dulu ada potensi korupsi terselubung," kata dia kepada KONTAN, kemarin.
Jangan sampai, ujung-ujungnya tumpukan utang BUMN malah membebani negara. Misalnya dengan terus meminta kucuran Penyertaan Modal Negara (PMN). Padahal, struktur utang di APBN pun terus meroket. "Jadi dari utang BUMN ini pemerintah sebetulnya perlu memperhitungkan risiko sistemik, terhadap fiskal, perbankan, bagaimana efek dominonya," ungkap Abra.
Ini Artikel Spesial
Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan atau membeli artikel ini.