Yang Penting Hemat
![Yang Penting Hemat](https://foto.kontan.co.id/2zE1TutmwRNXnz4a9sMV0dSLkDY=/smart/2024/05/21/1199975159.jpg)
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menjalankan efisiensi anggaran dengan memangkas belanja negara hingga Rp 306,69 triliun. Langkah berani ini patut mendapat acungan jempol karena tujuannya menghilangkan belanja negara yang dianggap boros.
Namun pada praktiknya, pemangkasan dana belanja yang mencapai 8,4% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 menimbulkan banyak dampak negatif. Mega proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) berpotensi mangkrak karena anggaran diblokir. Hal itu dikonfirmasi langsung oleh Menteri Pekerjaan Umum, Dody Hanggodo.
Di luar proyek infrastruktur, kinerja aparatur sipil negara (ASN) pun berpotensi terganggu akibat efisiensi biaya operasional kantor.
Pasalnya, efisiensi tersebut memotong banyak dana belanja seperti alokasi bahan bakar minyak (BBM) untuk pejabat pimpinan, alokasi anggaran daya listrik-air-telepon, hingga hilangnya operasional mobil jemputan pegawai.
Memang, penghematan anggaran adalah langkah baik yang harus dijalankan pemerintah, Namun, penghematan anggaran harus berlangsung secara proporsional dan tidak mendadak agar semua instansi pemerintah bisa melakukan penyesuaian. Janganlah asal potong anggaran dengan prinsip "yang penting hemat".
Di sisi lain, penghematan anggaran tidak bisa dilakukan di tingkat bawah. Efisiensi anggaran harusnya dilakukan dari atas dengan restrukturisasi birokrasi di pucuk pimpinan yang tentunya memiliki gaji lebih besar dibandingkan PNS bawah.
Agar hemat anggaran, Presiden seharusnya melakukan perampingan birokrasi. Namun kenyataannya, struktur kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran sangat gemuk dengan menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 48.
Keberadaan wakil menteri juga harus ditinjau ulang. Saat ini ada 55 wakil menteri yang gaji dan tunjangannya beda tipis dengan menteri.
Lalu, setiap menteri juga memiliki staf ahli dan staf khusus, maksimal masing-masing 5 orang. Dengan demikian, ada ratusan staf ahli dan staf khusus di Kabinet Merah Putih.
Padahal, di setiap instansi pemerintah sudah ada direktur jenderal (dirjen) dan direktur yang memang telah ahli di bidangnya. Sudah menjadi tugas Dirjen dan direktur untuk bekerja sesuai instruksi menteri, tak perlu lagi staf .
Pemborosan anggaran seperti ini harusnya juga dihindari bukan!