KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lonjakan transaksi aset kripto di Indonesia semakin sulit diabaikan. Data Bappebti mencatat, sepanjang 2024 nilai transaksi menembus Rp 650,61 triliun, naik hampir empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Fenomena ini jelas mencerminkan gairah masyarakat, dari kelas menengah hingga anak muda daerah, untuk ikut serta. Kelas-kelas trading kripto marak diikuti, komunitas-komunitas trader kripto ramai terbentuk, dan kisah sukses beredar cepat. Ada cerita Indra yang mampu mengembangkan Rp 1 juta menjadi Rp 35 juta dalam 1,5 tahun. Tersiar juga kabar Imam yang menggandakan modalnya lima kali lipat hanya dalam enam bulan.
Namun, di balik kisah manis tersebut, ada pertanyaan besar bagi perekonomian. Berbeda dengan bursa saham (dana investor akhirnya menopang ekspansi perusahaan) uang yang diperdagangkan di kripto cenderung "parkir" dan hilir mudik antar dompet digital.
Regulasi Bappebti memang mewajibkan 70% dana nasabah tetap likuid, untuk mengantisipasi risiko penarikan massal mengingat trader kripto umumnya berorientasi jangka pendek. Tapi konsekuensinya, dana ratusan triliun rupiah ini tidak banyak berkontribusi pada aktivitas produktif.
Situasi ini menjadi relevan ketika ekonomi nasional tengah menghadapi tantangan. Pertumbuhan PDB masih ditopang konsumsi rumah tangga, yang belakangan cenderung melandai. Di sisi lain, pemerintah juga mendorong investasi, hilirisasi, dan pembiayaan UMKM untuk menjaga momentum pembangunan. Ironis bila di tengah kebutuhan pendanaan produktif, dana masyarakat justru terkonsentrasi dalam dompet spekulasi kripto.
Agar dana raksasa itu tidak menjadi kuburan likuiditas, jalan keluarnya bisa ditempuh lewat tokenisasi aset riil. Dengan mekanisme ini, aset nyata seperti emas, karbon, hingga hasil panen bisa diubah menjadi token digital yang dapat diperdagangkan ala koin kripto.
Bagi para trader, tokenisasi tetap menawarkan ruang spekulasi karena harga bisa naik turun. Namun berbeda dari koin murni spekulatif, tokenisasi menyuntik manfaat langsung bagi sektor riil. Dengan begitu, gairah spekulasi masyarakat bisa diarahkan untuk ikut menopang pembangunan ekonomi, bukan sekadar berputar di ruang digital.
Gelombang kripto tidak bisa dihentikan. Tantangannya adalah memastikan triliunan rupiah likuiditas ini tidak sekadar menjadi uang menganggur.