Agresi Israel-AS Terhadap Iran dan Retorika Kosong Para Pemimpin Negara Timur Tengah

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Amerika Serikat (AS) kembali menunjukkan keahliannya; menyulut perang besar berkat hasutan Israel. Namun, seperti yang telah berlangsung di banyak episode, berpotensi gagal mengakhirinya dengan baik.
Presiden AS Donald Trump lewat akun media sosialnya, kemudian melalui pernyataan resmi di Gedung Putih pada 21 Juni 2025 waktu setempat, menyebut militer AS telah menyerang tiga fasilitas nuklir di Iran; Fordow, Natanz, dan Esfahan.
Agresi militer AS yang diperintahkan Trump tetap dilakukan meski Tulsi Gabbard, Director of National intelligence yang mengutip data Badan Intelejen AS, manyatakan tak ada bukti bahwa Iran mengembangkan senjata nuklir. Pemimpin Agung Iran Ali Khamenei, kata Tulsi Gabbard pada Maret 2025, juga tak memiliki otoritas terhadap program nuklir Iran.
Hal serupa belakangan juga dinyatakan Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) Rafael Grossi, yang menegaskan tidak ada bukti Iran berupaya mengembangkan senjata nuklir.
Namun AS memang tak butuh bukti apapun. Seperti saat George Walker Bush memerintahkan agresi terhadap Irak dengan alasan senjata pemusnah massal, AS hanya perlu melayangkan tuduhan tak berdasar untuk melancarkan agresi militernya ke wilayah kedaulatan Iran.
"She's wrong," kata Trump di Bandara Morristown, New Jersey, pada 19 Juni 2025 waktu setempat. Pernyataaan Trump itu merujuk pada pertanyaan wartawan soal pernyataan Tulsi Gabbard bahwa tidak ada bukti Iran mengembangkan senjata nuklir.
Trump juga tidak memedulikan aspirasi rakyatnya. Dalam jajak pendapat yang digelar YouGov dan The Economist, 60% warga AS menolak campur tangan negara itu dalam konflik Iran-Israel.
Hanya 16 persen responden dalam jajak pendapat itu yang mendukung keterlibatan militer AS. Sedangkan 24 persen lainnya mengaku tidak tahu atau belum menentukan sikap.
Survei tersebut digelar pada 13–16 Juni 2025 dengan melibatkan lebih dari 1.500 responden dari seluruh AS.
Baca Juga: Adu Misil di Timur Tengah, Harga Minyak Wajar Menguji US$ 80 sebarel
Serangan retorika Erdogan hingga Abdullah
Kini, tampaknya Iran akan tetap menghadapi agresi AS dan Israel sendirian. Beberapa jam setelah AS menyerang tiga fasilitas nuklirnya, Iran meluncurkan gelombang serangan rudal ke wilayah pendudukan Israel di Tel Aviv, merujuk pemberitaan Sky News pada 22 Januari 2025.
Dukungan berupa aksi balasan paling banter muncul dari proksi Iran di berbagai wilayah Timur Tengah. Milisi pro-Iran tersebar di sejumlah negara di kawasan tersebut. Mulai dari Houthi di Yaman, Hizbullah di Lebanon, serta milisi Syiah di Suriah dan Irak.
Sementara negara-negara di Timur Tengah, seperti biasa, tampaknya akan tetap bertindak sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Bukan atas dasar prinsip yang lebih besar; ukhuwah islamiyah atau ikatan persaudaraan antara sesama muslim.
Kekalahan dari Israel dan sekutunya di Perang Enam Hari yang meletup pada 5–10 Juni 1967, jatuhnya pemimpin negara Islam di Libya dan Irak akibat intrik Israel-AS, dan Arab Spring pada 2010-2012 yang juga tak lepas dari campur tangan Israel-AS, menyunat nyali para pemimpin negara-negara Timur Tengah.
Alih-alih berada dalam posisi berseberangan, kebanyakan dari mereka memilih bergandengan tangan dengan AS, yang otomatis secara langsung atau tidak langsung, membuatnya menjadi sekutu Israel.
Salah satu buktinya, ada sembilan negara Timur Tengah yang merelakan wilayahnya menjadi pangkalan militer AS. Mulai dari Arab Saudi, Turki, Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab, Irak, Suriah, Bahrain, hingga Oman.
Keberadaan pangkalan-pangkalan militer ini memastikan kepentingan AS-Israel di kawasan Timur Tengah tetap terjaga selama beberapa dekade ke belakang hingga bertahun-tahun mendatang.
Baca Juga: Tensi Geopolitik Memanas, Fluktuasi Komoditas Energi Tinggi
Persekutuan dengan AS-Israel yang nyata, membuat pernyataan dan gestur para pemimpin negara Timur Tengah di berbagai kesempatan tak lebih dari sekadar buaian yang meninabobokan.
Tengok saja Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang selama ini terbukti hanya menjadi singa ompong yang rajin mengaum dan menggigit lewat retorikanya yang tajam. Namun, tidak disertai tindakan nyata dari Ankara, termasuk untuk mengakhiri genosida di Gaza dan Tepi Barat, Palestina.
Sementara Mesir praktis menjadi salah satu pendukung utama pemusnahan penduduk Gaza dengan menghalangi masuknya bantuan kemanusiaan ke kamp konsentrasi terbesar di dunia tersebut.
Ribuan aktivis kemanusiaan dari 50 negara yang membawa bantuan kemanusiaan dihalangi aparat keamanan Mesir untuk melintasi Gerbang Rafah, Perbatasan Mesir-Gaza.
Global March to Gaza yang mencapai puncaknya pada 15 Juni 2025 berakhir anti-klimaks, seiring penahanan dan deportasi aktivis keluar dari Mesir.
Dua hari kemudian, tepatnya pada 17 Juni 2025, Abdullah II bin Al-Hussein, Raja Yordania menyampaikan pidato di hadapan anggota parlemen Uni Eropa selama sidang formal di Strasbourg, Prancis.
Dengan bahasa Inggris yang fasih dan kalimat yang terkadang menyentuh hati, Raja Abdullah berbicara soal konflik Israel-Iran, krisis di Timur Tengah, bantuan kemanusiaan kepada Gaza, genjatan senjata, dan diplomasi Yordania.
Namun, dunia mengetahui dengan pasti bahwa Yordania menembak jatuh sejumlah drone Iran yang hendak menyerang Israel. Namun di sisi lain, membiarkan pesawat-pesawat tempur Israel melintas bebas di wilayah udaranya untuk membombardir wilayah Iran.
Yordania mengambil peran sebagai pagar pelindung bagi Israel setelah meneken Perjanjian Damai Wadi Araba dengan Negeri Zionis pada 26 Oktober 1994.
Sebagai imbalannya, kerajaan yang miskin sumber daya alam itu telah menerima bantuan ekonomi dan militer miliaran dolar dari AS.
Sementara Israel memasok 50 juta meter kubik air minum per tahun kepada Yordania. Merujuk laporan Reuters pada 2023, volume pasokannya meningkat dua kali lipat pada akhir 2021.
Baca Juga: Setiap Warga Amerika Kini Jadi Target! Peringatan Keras Iran Usai Serangan AS
Bisa kalau bersatu dan punya nyali
Negara-negara Timur Tengah sejatinya punya kekuatan lebih dari sekadar retorika, untuk mengimbangi hegemoni AS-Israel di kawasan tersebut. Tak perlu sampai ikut angkat senjata, yang bisa membuat perang kian meluas, namun lewat kekuatan ekonomi.
Dari perang dagang mereka mestinya belajar, AS bisa bertekuk lutut dan terpaksa duduk di meja perundingan oleh China yang berani melawan tarif impor sepihak.
Pada pertengahan Mei 2025 Trump melawat ke sejumlah negara Timur Tengah. Di Arab Saudi, kedua negara menandatangani kesepakatan penjualan senjata senilai US$ 142 miliar.
Arab Saudi juga berkomitmen untuk menginvestasikan US$ 600 miliar di AS, di berbagai bidang, seperti teknologi, energi, dan mineral.
Di negara kaya minyak lainnya, Uni Emirat Arab (UEA), Trump berhasil mengamankan kesepakatan bernilai US$ 200 miliar, yang salah satunya mencakup investasi di AS.
Sementara Qatar meneken kesepakatan ekonomi dan pertahanan senilai lebih dari U$ 243 miliar. Termasuk pembelian pesawat komersil dari Boeing dan sistem anti-drone dari Raytheon. Ini tidak termasuk komitmen investasi Qatar di AS senilai US$ 1,2 triliun.
Kunjungan Trump tak lepas dari agenda besarnya untuk mendorong roda ekonomi di dalam negeri AS, guna mewujudkan "Make America Great Again" (MAGA).
Negara-negara kaya Timur Tengah, menjadi opsi yang paling potensial untuk digandeng, sebab MAGA memang tak mudah diwujudkan hanya dengan sumber daya AS sendiri.
China yang sebetulnya punya potensi dana investasi besar, jelas sebuah opsi yang mustahil dalam kondisi terkini.
Uni Eropa, sekutu dekat AS juga jeri dengan kelakuan sepihak Trump yang mengobarkan perang tarif terhadap produk mereka.
Di front pertempuran ekonomi inilah, kartu as sejak awal sejatinya bisa dimainkan. Tanpa perlu meletupkan senjata, satu kesatuan sikap akan membuat Trump memiliki lebih banyak pertimbangan sebelum memutuskan untuk ikut langsung menginvasi wilayah kedaulatan Iran.
Meski sudah terlambat, negara-negara Arab yang bersatu masih punya peluang mengambil bagian penting dengan memainkan kekuatan uangnya untuk meredakan tensi konflik di Timur Tengah.
Lagipula, sudah saatnya negara-negara Timur Tengah berhenti terpecah belah, mau diadu domba, dan dipermainkan lewat sentimen perbedaan ideologi, kepentingan, serta dikotomi Sunni-Syiah.
Untuk menghadapi potensi ancaman Israel yang didukung AS dan sekutu baratnya, tak cukup hanya mengisi arsenal dengan senjata produksi dalam negeri, seperti retorika Erdogan. Iran sudah melakukan itu; mereka bisa melawan tapi sulit menang jika dikeroyok dan hanya bertarung sendirian.
Sejarah membuktikan Israel dan AS tidak akan pernah berhenti merusak stabilitas dan mengganggu kedaulatan negara lain yang tak mau mengikuti kehendak mereka.
Setelah Libya dan Irak dibikin porak poranda, Palestina dianeksasi, Lebanon diinvasi, dan Iran diagresi, tak ada jaminan bukan negara Anda yang jadi sasaran berikutnya.